Mohon tunggu...
Albi Abdullah
Albi Abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Ex Philosophia Claritas

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Agama dalam Ruang Publik: Demokrasi Deliberatif dan Post Sekuler

22 September 2020   04:47 Diperbarui: 22 September 2020   05:22 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Adanya modernisasi mengakibatkan jurang pemisah antara kehidupan bersifat dunia dan religi. Bahkan narasi yang dibawa modernitas menyatakan bahwa dengan sendirinya agama akan terpinggirkan dari pergumulan realitas.

Karena agama dipandang sebagai sesuatu yang tidak rasional dibandingkan dengan ilmu-ilmu empiris lainnya, maka lebih baik diprivatisasi atau dipinggirkan.

Diferensiasi antara sesuatu yang duniawi dan sesuatu yang sakral sebenarnya mudah dijumpai di segala aspek kehidupan dewasa ini, hanya saja yang menarik perhatian dan kerap kali menjadi problem adalah diferensiasi agama dan pemerintahan. 

Guna menjaga netralitas negara dari budaya atau agama tertentu, negara menggunakan hukum yang dibuat berdasarkan rasionalitas atau hukum sekuler. Dalam hal ini agama dipandang bukan satu-satunya otoritas yang mengatur karena didasarkan fakta pluralitas dan perbedaan orientasi nilai yang diyakini setiap individu.

Fenomena diferensiasi yang tajam dan privatisasi agama merupakan konsekuensi dari paham filsafat dan politik liberalisme dan ingatan sejarah tentang kondisi eropa yang pernah mengalami suatu keadaan dimana agama terlalu ikut campur dalam segala hal dan menentukan kebenaran.

POST SEKULER DAN DEMOKRASI DELIBERATIF

Akar pembahasan masalah ini dimulai dengan adanya tertib sosial yang berajak dari agama atau pemisahan antara agama dan pemerintah yang lebih dikenal dengan nama sekulerisme. Sekulerisme mengimplikasikan adanya usaha untuk meminggirkan agama dari ruang publik.

Seperti yang telah disinggung sebelummya bahwa agama dengan sendirinya akan hilang dari muka bumi karena sejarah akan bergerak ke arah rasional. Namun nyatanya justru sampai detik ini agama masih tetap ada, jangankan hilang tanda-tanda hilangnya pun tak nampak. Dari fakta tersebut kiranya kehadiran agama dalam ruang publik perlu dilihat kembali

Agama memiliki doktrin komprehensif yang menjadi daya hidup seorang individu termasuk hal yang berkaitan dengan pemerintahan, maka akan timbul suatu beban psikologis jika kaum beragama dipaksa diam dalam urusan pemerintahan.

Hanya saja tetap dalam catatan bahwa agama tidak bisa berselancar bebas begitu saja dalam urusan publik, dengan alasan keharusan netralnya sebuah negara dari ekstrem paham agama tertentu dan yang kedua karena fakta pluralitas. Negara pun harus berani merangkul suara keagamaan demi terciptanya hasil kebijakan yang legitim. Bukan hanya mementingkan suara-suara sekuler.

Seorang filsuf bernama Jurgen Habermas memiliki pandangan solutif terkait penyelesaian antara pandangan sekuler dan religius. Ia menyodorkan gagasannya tentang demokrasi deliberatif. Namun terlebih dahulu akan diuraikan mengenai teori tindakan komunikatifnya. 

Tindakan komunikatif berdasarkan kepada adanya proses komunikasi intersubektif, komunikasi yang bersifat timbal balik demi mencegah terjadinya instrumentalisasi individu atau kelompok tertentu, dari situlah akan lahir saling pengertian dan kesepakatan. Titik tekannya terfokus pada komunikasi yang berakhir pada kesepakatan.

Dari uraian tersebut, teori tindakan komunikatif berdampak secara luas khususnya ke ranah publik dan menghasilkan gagasan selanjutnya tentang demokrasi dilberatif.

Demokrasi deliberatif bertolak dari bahasa latin deliberatio yang berarti menimbang-nimbang secara rasional atau musyawarah secara terbuka. Yang artinya setiap individu atau kelompok tertentu melakukan musyawarah dan diskursus rasional secara egaliter untuk menentukan hukum, kebijakan, dan orientasi kehidupan bersama.

Untuk mewadahi demokrasi deliberatifnya, Habermas mengandaikan suatu ruang publik yang netral tanpa intimidasi apapun untuk dijadikan sarana diskursus rasional antara berbagai elemen masyarakat. Khususnya antara yang sekuler dan yang religius.

Nantinya hasil diskursus ruang publik ini terhubung sedemikian rupa dengan ruang publik formal yaitu pemerintahan demi menciptakan suatu tatanan politik yang legitim. 

Akhirnya beban psikologis yang diterima kaum beragama tidak begitu besar jika mereka diikutsertakan di ruang publik, malah terjadinya suatu keadaan saling memahami antara yang sekuler dan yang religius atau dalam istilah Habermas disebut post sekuler.

Hanya saja dalam konteks post sekuler ini, agama ditantang untuk melakukan rasionalisasi dan univerlisasi bahasa keagamaannya, itulah syarat yang harus dilalui untuk tampil di ruang publik. Kaum sekuler pun dituntut untuk tidak memandang rendah mereka yang beragama, dituntut untuk tetap dalam keadaan saling menghargai.

Agama dituntut untuk mencoba merespon isu-isu yang terjadi, dinamis dengan perubahan zaman, dan tidak hanya mengurusi dimensi kerohanian.

Doktrin komprenhensif yang dimiliki agama sejatinya mudah untuk melakukan diskurus rasional di ruang publik, namun yang kerap menjadi hambatan adalah ketika agama tergelincir menuju pikiran-pikiran sempit yang tidak menghargai keragaman. Karena tidak lain salah satu tujuan universalisasi agama adalah untuk menghargai keberagaman tadi, agar agama bisa dipahami oleh semua individu termasuk mereka yang tidak beragama.

Yang menjadi kebingungan dan kebuntuan bagi saya adalah, bentuk ruang publik seperti apa yang ideal untuk mengadakan diskursus rasional antara yang sekuler dan yang religius?

Kemudian bagaimana menghubungkannya dengan ruang publik formal agar menghasilkan hukum dan kebijakan negara yang legitim? Apalagi bukan menjadi rahasia lagi bahwa tak jarang penguasa enggan untuk mendengar nalar kritis dari masyarakatnya.

Agama sedari awal memiliki pesan pesan kemanusiaan yang universal, yang membuatnya tidak demikian adalah penafsirannya. Apalagi dalam konteks dewasa kini, pesan universal agama berguna untuk mengobati manusia modern yang saling terisolasi antara satu individu dengan individu lainnya.

Gagasan ini tak lain dari upaya untuk mendamaikan dua kutub ekstrem yang berakhir pada adanya rasa saling memahami. Apakah gagasan ini sulit untuk dilaksanakan atau tidak yang jelas ada titik pencerahan antara yang sekuler dan yang religius, lebih jauh kita bisa memaknai terkait posisi wahyu dan akal.

Dan gagasan ini memungkinkan adanya rasa saling menghargai terkait orientasi nilai yang diyakini tanpa harus mengadili.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun