Tindakan komunikatif berdasarkan kepada adanya proses komunikasi intersubektif, komunikasi yang bersifat timbal balik demi mencegah terjadinya instrumentalisasi individu atau kelompok tertentu, dari situlah akan lahir saling pengertian dan kesepakatan. Titik tekannya terfokus pada komunikasi yang berakhir pada kesepakatan.
Dari uraian tersebut, teori tindakan komunikatif berdampak secara luas khususnya ke ranah publik dan menghasilkan gagasan selanjutnya tentang demokrasi dilberatif.
Demokrasi deliberatif bertolak dari bahasa latin deliberatio yang berarti menimbang-nimbang secara rasional atau musyawarah secara terbuka. Yang artinya setiap individu atau kelompok tertentu melakukan musyawarah dan diskursus rasional secara egaliter untuk menentukan hukum, kebijakan, dan orientasi kehidupan bersama.
Untuk mewadahi demokrasi deliberatifnya, Habermas mengandaikan suatu ruang publik yang netral tanpa intimidasi apapun untuk dijadikan sarana diskursus rasional antara berbagai elemen masyarakat. Khususnya antara yang sekuler dan yang religius.
Nantinya hasil diskursus ruang publik ini terhubung sedemikian rupa dengan ruang publik formal yaitu pemerintahan demi menciptakan suatu tatanan politik yang legitim.Â
Akhirnya beban psikologis yang diterima kaum beragama tidak begitu besar jika mereka diikutsertakan di ruang publik, malah terjadinya suatu keadaan saling memahami antara yang sekuler dan yang religius atau dalam istilah Habermas disebut post sekuler.
Hanya saja dalam konteks post sekuler ini, agama ditantang untuk melakukan rasionalisasi dan univerlisasi bahasa keagamaannya, itulah syarat yang harus dilalui untuk tampil di ruang publik. Kaum sekuler pun dituntut untuk tidak memandang rendah mereka yang beragama, dituntut untuk tetap dalam keadaan saling menghargai.
Agama dituntut untuk mencoba merespon isu-isu yang terjadi, dinamis dengan perubahan zaman, dan tidak hanya mengurusi dimensi kerohanian.
Doktrin komprenhensif yang dimiliki agama sejatinya mudah untuk melakukan diskurus rasional di ruang publik, namun yang kerap menjadi hambatan adalah ketika agama tergelincir menuju pikiran-pikiran sempit yang tidak menghargai keragaman. Karena tidak lain salah satu tujuan universalisasi agama adalah untuk menghargai keberagaman tadi, agar agama bisa dipahami oleh semua individu termasuk mereka yang tidak beragama.
Yang menjadi kebingungan dan kebuntuan bagi saya adalah, bentuk ruang publik seperti apa yang ideal untuk mengadakan diskursus rasional antara yang sekuler dan yang religius?
Kemudian bagaimana menghubungkannya dengan ruang publik formal agar menghasilkan hukum dan kebijakan negara yang legitim? Apalagi bukan menjadi rahasia lagi bahwa tak jarang penguasa enggan untuk mendengar nalar kritis dari masyarakatnya.