Waktu itu, awal bulan september, beberapa bulan yang lalu, saat-saat dimana semuanya bermula dan dimulai suatu lembaran baru, sebut saja itu "sebuah kekaguman".Â
Kekaguman itu berawal dari perkenalan singkat dan percakapan singkat yang mengesankan di media sosial, apa bentuknya media sosial itu? Biarkan aku dan dia saja yang mengetahuinya.Â
Dalam perjalanan waktu, semakin jauh percakapan kami, aku semakin hanyut terpana mengagumi dia. Pada saat itu lembayu senja menyelimuti bumi dan matahari pun mulai melenyapkan cahayanya, seakan-akan dia mengerti ini adalah waktu membiarkan bulan dan bintang bersama-sama menyinari bumi.Â
Peralihan eksistensi ini ternyata memberi aku ruang diselah kesibukan untuk beralih ke peraduan, dan sejenak memiliki waktu khusus dengannya.Â
Saat yang ditunggu-tunggu tiba, bercakap dengan orang yang dikagumi ternyata sungguh menyenangkan. Aku seolah-olah bertemu dalam realitas denganya, jarak dan waktu seakan-akan tak mampu membendung kekagumanku kepadanya.Â
Mungkin seperti inilah suatu ungkapan rasa yang dikiaskan itu, "kuat bagaikan maut lah cinta, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api Tuhan, air banyak tak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak mampu menghanyutkannya. Deru gelomabang sekalipun tak akan mampu menghempaskannya."Â
Ungkapan ini sungguh memberi aku gambaran, ternyata begitu dahsyatnya aku memiliki rasa kagum kepada si dia. Siapakah si dia yang aku kagumi itu? Dialah yang aku sebut "Si Senja" itu.Â
Kiasan ini aku berikan sebagai bentuk kekagumanku kepadanya. Aku bagaikan orang yang menantikan senja di sore hari, "saat matahari setengah berhasrat turun ke peraduan, di remang langit," di sinilah terjadi sebuah momen di mana banyak orang ngobrol santai, menanti dan hanya duduk atau berdiri sambil menikmati cemilan dan secangkir kopi atau teh hangat.
Jika dipikir-pikir, aku seperti orang yang dibodohi kekaguman. Namun pada realitasnya, orang yang menantikan senja di sore hari, bukanlah orang yang dibodohi.Â
Akan tetapi disinilah mereka meluangkan waktunya. Â Dan Sejenak untuk menarik diri menikmati keindahan pemandangan alam yang diciptakan Tuhan.Â
Mereka relaksasi sejenak menenangkan pikiran dari berbagai macam kesibukan dunia, menyadari keberadaanya sebagai manusia yang membutuhkan waktu-waktu sendiri atau menikmati waktu pribadinya. Jikalau demikian, akankah aku merasa dibodohi?Â
Oh tidak-tidak, ini hanyalah sepintas pikiran yang mau mengacaukan kekagumanku kepada Si Senja saja.
Dari sini aku mulai bertanya-tanya, kenapa aku mempunyai perasaan yang begitu besar kepadanya? Kenapa aku seolah-olah terjebak dalam perasaan ini?Â
Apakah kekagumanku itu hanyalah sebuah emosi sesaat? Apakah ini benar-benar kekaguman yang tulus? Apakah Si Senja merasakan hal yang sama dengan diriku? Apakah Si Senja mengetahui bahwa aku mengagumi dia?
Pertanyaan ini terus bergulir di dalam batin ini, entah kenapa, aku terus memikirkan pertanyaan ini. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tinggal tahun saja yang belum.Â
Pertanyaan ini terus aku sadari, aku renungkan setiap saat, ketika aku memikirkan dia. Di samping kekagumanku kepadanya, aku merasa semakin jatuh dalam kebingungan yang hampir kehilangan arah, akan tetapi untunglah si pengagum (aku) disemangati kembali oleh seorang sahabatnya.Â
Sahabat itu mengatakan kepadaku demikian: "Hai kawan janganlah engkau bingung seperti orang galau, setiap pertanyaan pasti suatu saat akan ketemu jawabnya. Biarlah Sang pemberi waktu yang mengatur semuanya, intinya kamu postif tinggking saja, santai saja seperti saya ini." Â
Mendengar pernyataan ini aku seperti tanaman yang disirami air, hingga segar kembali, dengan semangat yang berapi-api aku menjawab sahabat itu, demikian: oke kawan terima kasih sarannya, semoga kamu selalu diberkati dan dicintai oleh orang yang kamu kagumi juga, sembari aku tersenyum.
Seorang filosof besar yaitu Descartes menyatakan demikian: "Aku berpikir maka aku ada". Mungkin sepertinya hal inilah yang terjadi pada diriku, aku berfikir dan bertanya.Â
Aku seolah-olah diajak untuk menemukan hakikat kekagumanku dalam pertanyaan itu. Aku diajak untuk masuk ke dalam ruang diskusi bersama, yaitu dengan diriku sendiri.Â
Maka muncullah sebuah pertanyaan renungan, apakah kekaguman itu? Dari pertanyaan ini, tentu setiap orang akan memiliki perspektif yang berbeda dalam mengartikannya.Â
Bagiku, kekaguman itu ialah suatu rasa yang datang dari ketulusan, didalamnya ada sebuah pengharapan cinta yang mengikat. Hal ini bukan suatu ilusi yang tak bertepi, bukanlah suatu emosi sesaat yang datang sepintas, kemudian pergi. Nah singkatnya seperti inilah makna kekaguman itu, bagi diriku.Â
Ya karena, lama memendam kekaguman, pada akhirnya aku meminta pendapat kepada orang yang aku kagumi itu, kira-kira percakapan kami terjadi demikian:Â
"Begini sahabat, aku saat ini mengalami suatu kekaguman pada seseorang. Dalam perasaan itu aku bergulat, takut untuk mengatakannya. Bagaimana menurutmu, apakah aku harus jujur dengan orangnya?"
 "Sahabat mencintai dan mengagumi itu adalah hal yang perlu disyukuri. Kita adalah manusia yang juga secara manusiawi membutuhkan perhatian bahkan cinta dari seseorang.Â
"Tapi saat itulah kita diajak untuk menerima perasaan kita dan menyadari perasaan kita. Sahabat, ingat keterbukaan itu sangaat perlu untuk akan menghantar kita menuju kepastian. Sebaiknya kamu terbuka saja. Â Kita tidak harus memiliki tapi bisa menjadi sahabat rohani yang saling menguatkan."
"terimakasih sahabat atas saran dan nasehatmu. Betul apa yang engkau katakana bahwa cinta itu harus disyukuri, walaupun membawa diri ini jatuh dalam pergulatan."
Setelah aku melakukan percakapan dengan orang dengan orangnya sendiri, aku mengambil waktu untuk merenung sejenak. Apakah aku harus mengungkapkan yang sesungguhnya atau memilih mengagumi Si Senja dalam diam saja.Â
Dua pilihan ini berada dalam keputusan bebasku, sebagai orang yang mengagumi. Waktuku merenung kira-kira sepuluh hari, untuk menimbang-nimbang sebuah pilihan itu.Â
Dan hingga tiba pada saat yang telah ditentukan, aku memilih untuk jujur mengungkapkan kekagumanku kepada Si Senja. Â
Aku mengatakan kepadanya: "jika boleh jujur, orang aku yang maksud dalam percakapan kemari itu, adalah kamu, aku menaruh kekaguman pada dirimu." Â
Mendengar hal, ia langsung menjawab: "Sahabat, saya berterimakasih kepadamu karena telah mengagumi saya, dan mau mengungkapkannya." Mendengar ungkapan itu, perasaanku bercampur aduk, pada intinya aku mengalami sebuah kebahagiaan yang tak terhingga. Â
Lalu ia melanjutkan perkataannya kepadaku: "sebenarnya orang yang kamu kagum selama ini, saya tahu siapa orangnya, orang yang kamu kagumi itu saya. Tapi saya biarkan saja, biarkan kamu mengungkapkan sendiri. Saya agak kecewa karena kamu lama mengungkapkan, kenapa tidak terbuka sejak awal?"Â
Ketika mendengar hal itu, merasa bersalah dan aku minta maaf kepadanya: "Sahabat (Si Senja) aku mohon maaf karena tidak terbuka sejak awal, aku takut untuk gugup, aku takut kamu punya sahabat yang lain, aku takut kamu marah, aku takut kekagumanku ini hanya akan mengganggu dirimu.Â
Akan tetapi setelah aku mendengarkan pernyataan dari mu tadi, aku bersyukur karena mau menerima rasa kagum dariku. Kini aku tidak takut lagi, terimakasih sahabatku (Si Senja), karena telah menerima aku apa adanya, dalam kelemahan dan kekurangan ini.Â
Kamu (Si Senja) telah mengajari aku untuk mengalami keterbukaan dan belajar hidup menerima diri apa adanya. Semoga persahabatan kita ini, menjadi berkat yang saling menguatkan, saling memberi pengharapan antara satu dengan yang lain dalam suka maupun duka. Aku kagum (sayang dan mencintai dirimu)."Â
"Aku ingin memaknai kekagumanku dalam hubungan Persahabatan bersama dengan Si Senja, bukan didasari oleh hawa nafsu. Akan tetapi, suatu hubungan persahabatan yang bijaksana menghadirkan diri untuk secara tulus saling menguatkan dalam perjalanan hidup."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H