Lalu ia melanjutkan perkataannya kepadaku: "sebenarnya orang yang kamu kagum selama ini, saya tahu siapa orangnya, orang yang kamu kagumi itu saya. Tapi saya biarkan saja, biarkan kamu mengungkapkan sendiri. Saya agak kecewa karena kamu lama mengungkapkan, kenapa tidak terbuka sejak awal?"Â
Ketika mendengar hal itu, merasa bersalah dan aku minta maaf kepadanya: "Sahabat (Si Senja) aku mohon maaf karena tidak terbuka sejak awal, aku takut untuk gugup, aku takut kamu punya sahabat yang lain, aku takut kamu marah, aku takut kekagumanku ini hanya akan mengganggu dirimu.Â
Akan tetapi setelah aku mendengarkan pernyataan dari mu tadi, aku bersyukur karena mau menerima rasa kagum dariku. Kini aku tidak takut lagi, terimakasih sahabatku (Si Senja), karena telah menerima aku apa adanya, dalam kelemahan dan kekurangan ini.Â
Kamu (Si Senja) telah mengajari aku untuk mengalami keterbukaan dan belajar hidup menerima diri apa adanya. Semoga persahabatan kita ini, menjadi berkat yang saling menguatkan, saling memberi pengharapan antara satu dengan yang lain dalam suka maupun duka. Aku kagum (sayang dan mencintai dirimu)."Â
"Aku ingin memaknai kekagumanku dalam hubungan Persahabatan bersama dengan Si Senja, bukan didasari oleh hawa nafsu. Akan tetapi, suatu hubungan persahabatan yang bijaksana menghadirkan diri untuk secara tulus saling menguatkan dalam perjalanan hidup."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H