Mohon tunggu...
Albert Tarigan
Albert Tarigan Mohon Tunggu... -

penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jejak Hitam di Pintu Akhirat

22 Maret 2011   06:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:34 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Soalnya kita enggak dapat gaji. Jadi kita Cuma dari itu aja.”

“Kan ada subsidi dari Pemda 300 ribu:”

“Apaan enggak pernah ada. Saya dari tahun 1992 di sini enggak pernah dapat. Paling cuma tiga bulan sekali dipanggil dibagi, itu pun enggak 300 ribu.”

Suami Elida sebenarnya dimakamkan dengan sistem tumpang bersama dua orang anaknya. Saat menggunakan jasa penggali kubur Februari lalu, ia terpaksa mengeluarkan biaya tambahan sebesar 500 ribu karena si penggali sempat keliru menggali makam milik orang lain. Biaya itu digunakan untuk mengganti batu nisan yang rusak saat proses penggalian.

Langit makin mendung dan hembusan angin berubah dingin. Saat rintik-rintik hujan mulai berjatuhan saya menyambangi Marloh sihombing, seorang pegawai swasta, yang belum lama ini mengebumikan anggota keluarganya di Joglo. Kepada saya, Marloh mengaku sebenarnya ia keberatan dengan pungutan liar tersebut. Tetapi, masyarakat seperti tak punya pilihan lain selain menerima. Secara psikologis, Marloh juga malas berdebat dengan petugas atau calo pemakaman karena sedang berduka dan menghormati kerabat mereka yang meninggal.

“Kan enggak mungkin juga kalau gara-gara itu kita komplain dan enggak jadi dikuburin,” katanya.

“Kalau sedang berduka cita kita tidak memikirkan biaya, dimintanya segitu ya kita bayar juga,” kata Istri Marloh menambahkan.

Beberapa anggota masyarakat yang saya temui juga menyampaikan cerita yang sama. Banyak yang mengaku tidak tahu peraturan pemerintah mengenai retribusi pemakaman. Oleh karena itu, kerap terdengar harapan agar pemerintah melakukan sosialisasi, misalnya dengan menempel pengumuman di kantor pengelola pemakaman atau di areal pemakaman.

“Sudah kita tempel,” kata Wargo saat dikonfrimasi.

Saat akan meninggalkan Joglo, saya berjalan hati-hati agar tidak menginjak makam. Jalan untuk pengunjung di tempat ini kian menyempit karena dipakai untuk pemakaman. Begitu menginjakkan kaki di luar kompleks pemakaman, saya menerawang ke sekeliling namun sama sekali tak menemukan sosialisasi yang dimaksudkan Wargo.

Saya beruntung, sebelum angkat kaki lebih jauh, bertemu dengan penggali kubur yang tercatat resmi di kantor pengelola Joglo. Ia mengaku bernama Piih. Pemakaman Joglo tercatat memiliki 19 orang penggali makam, di luar itu masih terdapat 60 orang lainnya yang tak tercatat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun