1. Bulak Turi Cilincing, Luas 4000
2. Semper Cilincing, Luas 575.660
3. Tegal Alur I/II Kalideres, Luas 628.826
4. Kampung Kandang Jagakarsa, Luas 229.416
5. Tanah Kusir I/II Kebayoran Lama Luas 519.858
6. Jeruk Purut Pasar Minggu Luas 91.210
7. Pondok Ranggon Cipayung Luas 593.534
8. Pondok Kelapa Duren Sawit Luas 442.921
Selain itu, terdapat dua tempat pemakaman berupa tanah kosong yakni Pegadungan, Jakarta Pusat seluas 65.943 meter per segi dan Rorotan, Jakarta Utara seluas 16.700 meter per segi.
III
KETIKA tengah tawar-menawar harga pemakaman siang itu, tiba-tiba Amir nyeletuk, “kalau ngeliat tukang gali kubur bengong kagak ada kerjaan, jangan mikir oh dia ngarepin orang mati biar ada rezeki,” katanya sembari membetulkan letak topinya dan menatap tajam ke arah saya. Di giginya tampak banyak sisa makanan. Ia sedang makan saat saya datang dan berhenti sementara walau makanannya belum habis untuk berbincang dengan saya. Tanpa minum terlebih dahulu.
Berapa sebenarnya perputaran uang dari kegiatan pemakaman di seluruh Jakarta tiap tahun? dan berapa biaya yang dianggarkan pemerintah untuk pemakaman?
Pada tahun 2000, Dinas Pemakaman memproyeksikan penduduk Jakarta berjumlah 8.385.639 jiwa, rata-rata pelayanan jenazah 100 jiwa per hari atau 36.500 jiwa per tahun. Artinya, tingkat kematian penduduk pada tahun itu adalah 0.44 persen. Lima tahun kemudian, jumlah penduduk meningkat menjadi 8.699.600 jiwa dengan rata-rata pelayananan 110 jenazah per hari atau 40.150 jiwa per tahun. Tingkat kematian juga naik menjadi 0.46 persen. Angka ini kembali naik menjadi 0.50 persen pada tahun 2007. Proyeksi penduduk Jakarta saat itu berjumlah 8.814.000 jiwa dengan rata-rata pelayanan 120 jenazah per hari atau 43.800 per tahun.
Dari ketiga data tersebut, Dinas Pemakaman menarik kesimpulan persentase tingkat pelayanan kematian di Jakarta mencapai 0.46 persen per tahun.
Jika diasumsikan tiap tahun tingkat kematian mencapai 40 ribu jiwa dan orang harus mengeluarkan biaya pemakaman sekira dua juta per satu jenazah, jumlah uang yang beredar mencapai 80 miliar per tahun. Uang ini berasal dari akumulasi retribusi sewa lahan, biaya ambulans, penyewaan tenda, pembuatan batu nisan, pengadaan rumput, pemeliharaan makam dan upah para penggali. Tak mengherankan, pada tahun 2010 saja, Wargo mengatakan retribusi makam yang berhasil dikumpulkan lembaganya mencapai 7,9 miliar rupiah.
Namun, jumlah bersih yang diterima penggali masih gelap karena upah untuk mereka diatur koordinator lapangan atau mandor semacam Indra. Selain itu, proses pergantian penggali makam juga termasuk tinggi karena mereka bebas datang dan pergi.
Leofold Batubara, Kepala Suku Dinas Pertamanan dan Pemakaman Jakarta Pusat menyebut para penggali makam sebagai “pencari nafkah” yang datang silih berganti tanpa ada ikatan resmi dengan pemerintah. Leo berperawakan sedang dan jika sedang semangat berbicara, dialek Bataknya sangat kental dan volume suaranya meninggi.
Ditemui di kantornya yang berjarak kira-kira seratus meter dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman Jakarta Kamis pekan lalu, Leo menjelaskan ihwal perputaran uang sambil mondar-mandir di kantornya yang sejuk . Meski terlihat kurang nyaman, ia tetap menjelaskan dengan antusias. Kata Leo, pemerintah hanya mensubsidi biaya penggalian sebesar 300 ribu per makam. Tiap makam biasanya digarap oleh tujuh sampai delapan orang –di beberapa tempat kami menjumpai ada juga yang hanya dikerjakan oleh 2 sampai 4 orang.
Para penggali kubur tidak mendapat gaji per bulan. Oleh karena itu, harga per paket pemakaman yang ditawarkan mandor untuk penggalian makam baru macam-macam dari 1,2 juta hingga 2,5 juta untuk tambahan penghasilan. “Kita hanya memberikan subsidi. Selebihnya ditanggung masyarakat,” kata Leo.
“Tetapi biaya retribusi yang masuk ke kas pemerintah tetap sesuai tarif yang ditentukan peraturan daerah. Tahun 2010 retribusi dari Suku Dinas Pemakaman Jakarta Pusat mencapai 1,3 miliar.”