Kami tertawa sebentar lalu mengambil beberapa foto lagi. Saat kembali duduk, aku bercanda dan berkata, ”Nen kal min pergaunjai bibi ah nak, la kal kuakap lit oratna. Tah bagi pergaunjainah ngenca perukurennaa ah.”
”Hwakakakakkakakkakaaaaa....” Melda terpingkal-pingkal, aku juga.
Sudah siang, perut mulai keroncongan karena tak sarapan pagi. Kami bergegas ke Murni Cafe di Ubud, sekitar 50 meter dari Blanco Museum. Memasuki tempat ini mengingatkan aku pada Gumati Café di Bogor, konsepnya sama. Pengunjung makan dengan latar belakang pemandangan alam dan mendengar gemericik air sungai. Bedanya barangkali hanya pada menu, Murni menyediakan masakan khas Eropa, Asia dan Bali sementara Gumati spesialis masakan Sunda.
Tidak ada yang spesial dengan tempat yang kami kunjungi. Tapi pepatah yang mengatakan, kadang proses lebih penting daripada hasil, benar-benar terjadi. Karena bagiku, humor spontan serta kekonyolan-kekonyolan kami di sepanjang jalan justru jauh lebih seru, lucu, membekas dan tetap membuatku tersenyum-senyum sendiri jika mengingatnya kembali.
Belum ada tanda-tanda hujan akan reda sementara hari sudah sore. Setelah sempat berteduh, kami akhirnya nekat menerobos hujan karena harus kembali ke Denpasar. Aku kedinginan dan paginya bangun dengan kondisi demam, pusing dan meriang. Nah, ini dia.
**********
"Tttttiiiiingggg....untuk persahabatan dan kesuksesan, amiiiiiinn."
Siang baru saja berlalu berganti malam saat kami tos sebelum menikmati segelas White Wine di Cafe Grand Istana Rama Hotel, Kuta. Suanasa jalan raya masih ramai, pejalan kaki lalu-lalang dari dan menuju cafe atau hotel yang tersebar di sepanjang jalan, sementara lainnya ada juga yang menuju pantai untuk menikmati malam.
Suasana cafe bergaya minimalis ini tak terlalu ramai. Di depan kami hanya ada 4 perempuan bule yang asyik ngobrol dan cekakak-cekikik. Sesekali salah satu dari mereka bangkit berdiri dan berjoged saat menyukai lagu dan musik yang didendangkan band lokal yang tampil live malam ini. Tiap malam cafe ini menampilkan pertunjukan langsung baik band atau disk jockey dan seringkali penuh.
"Yuk melantai," kataku menggoda Melda. Itu hanya gurauan karena tak ada tempat melantai di sini.
"Sepertinya liburan kita kali ini kurang seru karena mendadak. Lain kali kita harus ke tempat yang lebih bagus. Lombok, mungkin," katanya.
Barangkali Melda benar. "Tapi aku senang dengan liburan ini. Tapi ide ke Lombok seru juga. At...taaaauuuu, hhmm..ke Phuket, kayaknya Air Asia sering promo tuh, bisa-bisa biaya ke sana lebih murah."
Aku mengangkat gelas dan mengarahkan ke dia untuk tos lagi, "Untuk cita-cita ke Phuket."