AKU berharap Melda akan memelukku. Ini pertemuan pertama kami dalam lima tahun. Perjumpaan terakhir terjadi saat dia lulus dari satu Sekolah Tinggi Pariwisata Dhyana Pura, Denpasar, saat itu aku masih kuliah di Universitas Jember, Jawa Timur.
Kini banyak hal telah berubah. Dia tumbuh menjadi gadis mandiri -dari dulu memang begitu kukira- dan bekerja di salah satu hotel di Denpasar setelah sempat delapan bulan bekerja di Pulau Bintan. Sementara aku tiga tahun belakangan menggeluti dunia jurnalis di Jakarta.
Namun, ada kesamaan di antara kami ketika bertemu kembali, yaitu jomblo yang patah hati karena hubungan hancur hahaha...(Tidak patah-patah amat sebenarnya). Meskipun, dia mengalami itu kurang lebih dua tahun lalu sementara aku baru merasakannya bulan lalu. Tapi kesamaan ini jugalah yang turut mempertemukan kembali sahabat sejak kecil ini walaupun, aku ke Bali hanya dengan satu tujuan. Bersenang-senang!
DARI ketinggian sekitar tiga ratus meter, Bandar Udara Ngurah Rai tampak seperti titik-titik kuning tak beraturan. Cahaya lampu kekuningan berkilau bak Kunang-Kunang di kegelapan malam. Secara perlahan, ketinggian pesawat Batavia Air yang membawaku terus menurun, tanda kenakan sabuk pengaman dinyalakan dan dari pengeras suara terdengar suara salah satu pramugari bahwa lampu kabin akan dikurangi.
Dan seperti biasa, aku selalu menghadapi pendaratan seperti ini dengan ritual kecil; bersandar tegak di kursi lalu memejamkan mata sebentar, membayangkan malaikat Tuhan menyangga sayap kiri dan kanan pesawat agar menapak landasan dengan selamat. Tapi, alamak! telinga kananku sakit bukan main entah kenapa. Aku pernah membaca di internet orang yang giginya berlubang sebaiknya tak naik pesawat terbang karena akan kesakitan. Kukira sakit telinga ada hubungannya dengan gigiku yang berlubang meski sudah ditambal.
“hoooiiii….kalak adon,” kata Melda saat menyambutku di terminal kedatangan. Ia tampak lebih langsing sekarang, rambut dipotoong pendek dan kulit cokelat manis. Kalak adon adalah ungkapan bahasa Karo yang secara harfiah berarti orang gila. Kami memang sering saling meledek dengan memanggil satu sama lain dengan kalak adon.
“haaaaiii coooo….apa kabar,” jawabku sambil memeluknya erat-erat. Ia tampak kikuk dan berusaha melepas pelukanku. Tapi anehnya, ia kemudian memelukku lagi.
Malam itu, 3 September 2010, kami meninggalkan Ngurah Rai mengendarai Honda Vario dengan tujuan pulang ke rumah. Tapi begitu sampai di kawasan Kuta, kami singgah sebentar untuk ngobrol-ngobrol di pinggir pantai meski sudah pukul sembilan lebih.
Aku sempat mengomentari kekonyolan kami malam itu. Bayangkan, aku masih memakai baju batik, celana panjang katun, pantofel dan ransel besar lalu duduk di atas pasir. Saat berangkat dari Jakarta aku tak sempat pulang ke rumah atau mengganti pakaian di toilet bandara sehingga pakaian yang menempel di tubuh tetap pakaian kerja sewaktu meliput kegiatan Presiden di Istana Negara.
Rasanya tak ada pembicaraan istimewa malam ini di Pantai Kuta. Kami hanya menyinggung beberapa hal lucu di masa lalu saat kami masih SMP -seperti kekonyolan orang-orang dan teman-teman lama-lalu ketawa keras-keras, selebihnya seperti adegan sinetron, menunjuk pesawat yang hendak mendarat di Ngurah Rai karena cahayanya berkelap-kelip, kemudian saling mengajukan pertanyaan tak penting, "itu bintang atau pesawat ya?"
Melda yang menduduki sandalnya untuk menghindari pasir beberapa kali menggeser posisi. Sementara aku sempat mencoba menjepretkan kamera ke arah pantai. Tentu saja hasilnya sangat gelap karena sudah terlalu malam! Sepertinya Melda masih separuh tak percaya kami bertemu dan menghabiskan malam di pinggir pantai. Pertemuan yang terjadi tanpa perencanaan, seolah-olah hanya rentetan dari kejadian lain yaitu patah hati dan libur lebaran.
"Insaaaaap...insaaaaap....aku enggak percaya kita ketemu ni," katanya.