Toh, aku tak sesedih bahkan yang kubayangkan sendiri. Meski kuakui, peristiwa ini salah satu momen yang paling membuatku jera jika dibandingkan dengan yang sebelum-sebelumnya.
Tapi dunia terus berputar, siang-malam, mendung-cerah dan aku harus melanjutkan perjalanan ini meski di luar sedang mendung!
Ya... awan hitam tampak menggantung di langit saat aku membuka mata dan menoleh ke luar dari kamar berukuran tiga kali tiga meter di rumah Melda. Kamar sedikit pengap karena kurang ventilasi, juga bocor karena si pemilik belum sempat membetulkan. Sudah pukul 08.30.
”Selamat pagi Po....selamat pagi Brenda..”
Aku menyapa dua ekor anjing peliharaan Melda. Si kecil berbulu hitam bernama Popo yang diadopsi Melda sejak bayi karena tak tega melihat ia akan dibuang oleh pemiliknya. Popo bahkan harus diberi susu dengan dot agar dapat bertahan hidup dan tumbuh menjadi anjing yang sangat cerewet seperti sekarang ini. Ia suka menggonggongku, lalu bersembunyi di kolong kursi saat aku mendekat. Menggonggong lagi. Sembunyi lagi. Kemudian lari kesana-kemari.
Sementara si sulung Brenda berwarna kecokelatan mirip pemeran Hatchiko.
”Mau minum apa,” tanya Melda.
”Teh manis hangat”
AWAN hitam terus menemani perjalanan kami ke Ubud pagi ini. Aku hanya mengenakan kaos dan celana pendek serta dibalut jaket tipis. Sebagai antisipasi hawa dingin saat mengendarai motor, aku melingkarkan syal hitam kiriman dari Maumere. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu setengah jam, kami akhirnya tiba juga dan langsung menuju Tegalalang untuk memotret persawahan terasering yang menjadi salah satu objek wisata di daerah itu.
Namun, belum setengah jam kami menikmati pemandangan, hujan rintik-rintik jatuh juga. Kami berteduh di cafe di pinggir persawahan. Melda memsan teh, aku memesan lemon tea.
”Tehnya kok basi ya,” kata Melda
”Mahal amat sih..enggak enak pula.”