Â
"Journalism is what maintains democracy. It is the force for progressive social change."
- Andrew Vachss --
Media (pers) tidak akan pernah terpisahkan dari dunia jurnalistik. Bahkan, media merupakan produk dari jurnalistik itu sendiri. Entah produk itu benar atau salah, tidak dapat kita nilai, karena benar salah hanya berhenti hingga ranah ilmu pengetahuan. Baik atau buruk? Itu soal persepsi.Â
Lagi-lagi, persepsi sang produsen berbeda dengan kita sebagai penikmat untaian kata yang ia tuliskan. Pers juga tidak akan lepas dari kehidupan demokrasi dari suatu negara yang menjunjungnya sebagai sistem ketatanegaraannya.Â
Dikala demokrasi memberikan ruang bebas-beraturan terhadap kehidupan bernegara, pers secara otomatis turut mengikuti arus angin untuk keluar dari kubangan totalitarianisme.
Demokrasi. Benar, Indonesia merupakan negara kesatuan dengan ideologi pancasila dan sistem ketatanegaraan demokrasi. Pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Begitu ucap Pericles saat pertama kali memperkenalkan "demokratia" sebagai "government that rule by the people" di Athena pada 507 SM.Â
Pertanyaanya, apakah hadirnya kebebasan pers/media di Indonesia sebagai negara demokrasi membangun jembatan menuju masyarakat yang makin demokratis, atau justru mendirikan tangga menuju kehancuran? Media atau pers yang bebas meniscayakan para pegiat media massa, bahkan publik untuk menuliskan segala peristiwa yang terjadi tanpa kontrol dan mekanisme pengawasan dari pemerintah. Inilah kebebasan pers dalam demokrasi!
Sayangnya, cita-cita luhur kebebasan pers di Indonesia kini tengah berada tepat di ujung tanduk jurang kelam. Tempo.co pernah merilis artikel yang mengkritisi penyalahgunaan dan keberpihakan berbagai media yang ada di Indonesia. Dengan tajuk "7 Media yang Dituding Berpihak dan Tendensius". Ini memalukan! Menciderai demokrasi! Tunggu dulu, apakah ini salah? Tidak.Â
Jika kita menggunakan terminologi yang sama mengenai suatu kebebasan, maka para pemilik media dan elemen-elemen yang ada di dalamnya juga berhak mempergunakan kebebasan mereka dalam mengelola media untuk bertendensi kepada kepentingan tertentu. Ini rasional.Â
Rasio murni masing-masing penggiat media tidak terelakkan akan selalu terjembatani oleh kepentingan yang berpengaruh pada tindakan teknis mereka, memihak kepada siapa.
Tetapi sudah ada undang-undang kode etik pers? Benar. Kode etik hanya berlaku secara quod scripsi, scripsi. Sejauh ia tertulis dalam peraturan. Namun, apakah peraturan itu akan berlaku dalam realita agaknya tidak mungkin, mengingat keberadaan pers dalam iklim demokrasi tidak akan mampu bersifat netral, walaupun ia mengatasnamakan diri netral.Â