Mohon tunggu...
Albert Jehoshua R
Albert Jehoshua R Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Student of Public Policy

Currently as student of public policy, jazz enthusiast, and a part-time traveller.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Media dan Demokrasi (1)

11 September 2018   10:31 Diperbarui: 11 September 2018   10:43 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

           

"Journalism is what maintains democracy. It is the force for progressive social change."

  • Andrew Vachss --

Media (pers) tidak akan pernah terpisahkan dari dunia jurnalistik. Bahkan, media merupakan produk dari jurnalistik itu sendiri. Entah produk itu benar atau salah, tidak dapat kita nilai, karena benar salah hanya berhenti hingga ranah ilmu pengetahuan. Baik atau buruk? Itu soal persepsi. 

Lagi-lagi, persepsi sang produsen berbeda dengan kita sebagai penikmat untaian kata yang ia tuliskan. Pers juga tidak akan lepas dari kehidupan demokrasi dari suatu negara yang menjunjungnya sebagai sistem ketatanegaraannya. 

Dikala demokrasi memberikan ruang bebas-beraturan terhadap kehidupan bernegara, pers secara otomatis turut mengikuti arus angin untuk keluar dari kubangan totalitarianisme.

Demokrasi. Benar, Indonesia merupakan negara kesatuan dengan ideologi pancasila dan sistem ketatanegaraan demokrasi. Pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Begitu ucap Pericles saat pertama kali memperkenalkan "demokratia" sebagai "government that rule by the people" di Athena pada 507 SM. 

Pertanyaanya, apakah hadirnya kebebasan pers/media di Indonesia sebagai negara demokrasi membangun jembatan menuju masyarakat yang makin demokratis, atau justru mendirikan tangga menuju kehancuran? Media atau pers yang bebas meniscayakan para pegiat media massa, bahkan publik untuk menuliskan segala peristiwa yang terjadi tanpa kontrol dan mekanisme pengawasan dari pemerintah. Inilah kebebasan pers dalam demokrasi!

Sayangnya, cita-cita luhur kebebasan pers di Indonesia kini tengah berada tepat di ujung tanduk jurang kelam. Tempo.co pernah merilis artikel yang mengkritisi penyalahgunaan dan keberpihakan berbagai media yang ada di Indonesia. Dengan tajuk "7 Media yang Dituding Berpihak dan Tendensius". Ini memalukan! Menciderai demokrasi! Tunggu dulu, apakah ini salah? Tidak. 

Jika kita menggunakan terminologi yang sama mengenai suatu kebebasan, maka para pemilik media dan elemen-elemen yang ada di dalamnya juga berhak mempergunakan kebebasan mereka dalam mengelola media untuk bertendensi kepada kepentingan tertentu. Ini rasional. 

Rasio murni masing-masing penggiat media tidak terelakkan akan selalu terjembatani oleh kepentingan yang berpengaruh pada tindakan teknis mereka, memihak kepada siapa.

Tetapi sudah ada undang-undang kode etik pers? Benar. Kode etik hanya berlaku secara quod scripsi, scripsi. Sejauh ia tertulis dalam peraturan. Namun, apakah peraturan itu akan berlaku dalam realita agaknya tidak mungkin, mengingat keberadaan pers dalam iklim demokrasi tidak akan mampu bersifat netral, walaupun ia mengatasnamakan diri netral. 

Ini sedikit problematis. Jika media bersikap netral, maka demokrasi tidak akan berjalan sehat. Alternatif-alternatif pilihan terhadap publik akan berkurang dalam sajian berita mereka. Hal ini juga akan berimplikasi pada apatisme dan stagnansi pemikiran publik.

Lantas, bagaimana cara mengendalikan semua ini? Tidak bisa. Media tidak bisa dikendalikan oleh siapapun, termasuk presiden sebagai individu strata tertinggi dalam struktur pemerintahan negara. 

Dengan itu, pengendalian problematis ini harus kita alihkan melalui sudut pandang masyarakat (civil society). Problematika baru lagi-lagi muncul. Jika kita perhatikan, peran media di seluruh negara termasuk Indonesia sejalan dengan perkembangan demokrasi progresif. 

Demokrasi  progresif, dalam istilah Noam Chomsky  menitikberatkan pada dua elemen utama dalam suatu negara: Kaum intelektual dan kaum pandir. Kaum intelektual ialah mereka yang mampu menyerap informasi dan memproses olahan media menggunakan rasionalitas dan kemampuan intelektual yang mereka miliki. 

Sedangkan kaum pandir ialah mereka yang hanya berposisi sebagai penonton dan penikmat sajian-sajian media tanpa menelaah dan meprosesnya secara rasional. Rasional dalam hal ini diartikan sebagai mampu mengolah secara argumentatif dan objektif (membuka pemikiran seluas mungkin).

Yang harus dilakukan adalah pengendalian preventif. Meningkatkan pendidikan politik warga negara. Setiap manusia sebagai makhluk rasional (vernunftiges wessen) sudah seharusnya mampu mengolah setiap informasi yang ia dapatkan. Ibarat menyaring sari buah untuk menyisakan airnya, saringan inilah yang agaknya kini kurang ada di kebanyakan masyarakat Indonesia. Implikasinya? Masyarakat mudah percaya dengan kemunculan berbagai berita yang sebenarnya tidak dapat dipertanggungjawabkan, namun justru malah menjadi perdebatan di publik. 

Kita tidak dapat menghindari problematika media yang telah saya uraikan diatas, namun kita dapat membangun individu-individu dalam masyarakat kita untuk terhindar dari jurang kelam post-truth era, suatu era yang menitikberatkan persepsi subjektif tanpa verifikasi rasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun