Mohon tunggu...
Albar Rahman
Albar Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Editor, Writer and Founder of sisipagi.com

Sehari-hari menghabiskan waktu dengan buku-buku ditemani kopi seduhan sendiri. Menikmati akhir pekan dengan liga inggris, mengamati cineas dengan filem yang dikaryakan. Hal lainnya mencintai dunia sastra, filsafat dan beragam topik menarik dari politik hingga ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Alam Demokrasi, Kritik dan Suara Nurani

20 Januari 2025   10:25 Diperbarui: 20 Januari 2025   10:25 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alam demokrasi adalah keharusan lahirnya kritik. Karena memang adanya suara lantang akan bunyi keras dari para pemikir, pemerhati, aktivis hingga intelektual yang masih merawat sentimental mereak.

Suara itu lama sudah tak dengar dari kampus ke kampus. Suara kritis itu sebaiknya diterjemahkan oleh penguasa sebagai suara nurani. Untuknya jangan tirani!

HAM dan Kritikus

Sebuah ironi jika negara demokrasi tidak menghargai dan mengejawantahkan kebebasan. Sebuah kritik seringkali dianggap makar.

Baca juga: Alunan Nurani

Banyak kritikus akhirnya harus berhadapan dengan laporan kepolisian. Hal ini sangatlah tidak produktif.

Alam demokrasi secara legal dan perundangan menjamin bahwa Hak Asasi Manusia dilindungi oleh negara. Ketika memang pernah terjadi dan akan terjadi pelanggaran HAM maka ini jadi pekerjaan rumah yang serius bagi sebuah negara dan bangsa.

Biarkan nurani bersuara

Maka mearawat ingatan dan sejarah akan masa lalu begitu penting di alam demokrasi. Alexandra Bhona dalam buku The Politics Memory: Transitional Justice Democratizing Societies, menjelaskan bahwa keberlangsungan sebuah demokrasi itu tentang bagaimana kita merawat sebuah ingatan peristiwa penting yang terjadi. Dalam hal ini termasuk masalah prahara dan pelanggaran HAM yang terjadi sebagai sebuah catatan sejarah penting.

Tentu di setiap negara termasuk di ngeri kita sendiri terjadi banyak pelangaran HAM. Suara kritis di alam demokrasi selalu bunyi dan ada. Pembungkaman rezim kepada mereka yang kritis pun terjadi.

Harapan dari perhelatan Pemilu per 5 tahun

Ada sebuah asa pada penyelenggaraan pemilu misal. Kita hanya bisa berharap setiap di selenggarakan pemilu tiap lima tahunnya. Selalu menghasilkan pemimpin yang benar-benar demokratis.

Tidak ada lagi pembungkaman suara. Mereka yang bersuara harus dipersepsikan sebagai bagian dari anak bangsa yang teramat mencintai negeri.

Tentu setiap anak bangsa beda-beda dalam menampilkan cinta pada negeri baik dengan prestasi maupun menjadi kritis untuk bangunan sebuah peradaban negri yang lebih baik.

Alam Demokrasi yang Sehat

Bung Hatta selalu mengingatkan bahwa di alam demokrasi negeri kita perlu diupayakan sebuah pendidikan politik. Beliau meyakini bahwa dengan pendidikan politik yang baiklah maka demokrasi akan menjadi sehat.

Hatta sejak muda belia kisaran tahun 1916 beliau aktif menghadiri ceramah-ceramah dan pertemuan politik. Inilah pendidikan politik ala Hatta.

Buku Bung Hatta tentang filsafat alam bawah sadar Yunani menempatkan dirinya sebagai politisi yang gemar berpikir. Berpolitik adalah jalan menyampaikan alam pikiran dan gagasan.

Keteladanan Bung Hatta

Ketauladannya Bung Hatta di alam demokrasi mencontohkan untuk tidak menrima pemberian bahkan hadiah dari manapun dari pengusaha manapun. Karena menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia adalah tanggung jawab besar. Berjuang untuk sebuah kemerdekaan bagianya panggilan jiwa yang luhur, tulus lagi suci.

Demikianlah alam demokrasi yang sehat. Berawal dari pijakan pendidikan politik dan keteladan figur-figur alias insan politisi hingga lahirnya alam pikiran dan gagasan. Ke

Pesta Rakyat

Tentu yang namanya pesta akan menghabiskan banyak biaya bahkan tenaga. Dan selalu saja pesta demokrasi itu menguras emosi tiap kita terutama rakyat.

Dari sisi anggaran saja sudah menghabiskan puluhan triliun rupiah. Ini baru satu putaran pemilu, jika dilaksanakan satu penyelenggaraan pemilu maka diperkirakan akan menelan anggaran alias biaya sebesar 25 triliun.

Anggaran dengan biaya yang besar ini sebagai bentuk keseriusan sebuah negara menyelenggarakan pemilu. Aksi praktis dimana perhelatan demokrasi diselenggarakan.

Ketika momen ini disia-siakan akan sangat disayangkan. Mengikuti perkembangan yang ada dengan memantik daya pikir kritis adalah bagian dari keikutsertaan kita di pesta demokrasi ini.

Tidak harus membela sampai mati

Dahulu kita mengadopsi sejarah kepemimpinan yang memakai sistem kerajaan. Ada yang berhasil ada juga yang mengecewakan lagi memilukan.

Kesultanan Aceh Tidore dibawah kepemimpinan Babullah pernah mewarnai kejayaan. Di Jawa kita kenal cerita raja Sima perempuan yang begitu adil dan berani memotong tangan anak kandungnya sendiri ketika melakukan pelanggaran etis.

Sejatinya jika kembali melihat sejarah panjang sebuah perjalanan kepemimpinan. Pernah mengalami kejayaan dengan sistem kerajaan misal.

Yang menjadi pertanyaan besar di benak kita masing-masing. Pada alam demokrasi hari ini, kepemimpinan yang masih jauh dari kata ideal. Haruskah dibela mati-matian? Presiden atau pemimpin terpilih kita kawal bersama kebijakan dengan kebebasan ekspresi masing-masing.

Tetap menjadi Indonesia di alam demokrasi

Pilihan kita bisa berbeda di alam demokrasi. Tetapi tetap menjadi Indonesia adalah keniscayaan.

Apapun cara kita bernegara. Baik di alam demokrasi dan era baru mendatang yang akan mengadopsi cara lain. Satu hal tetaplah menjadi Indonesia.

Sebagai negara dengan alam demokrasi terbesar ke 3 di dunia, jumlah penduduk 280 juta jiwa hingga belasan ribu pulau. Maka ini semua adalah kekayaan.

Belum lagi banyaknya suku yang ada. Semakin kuatlah alasan kita semua untuk tetap menjadi Indonesia di alam demokrasi dewasa kini.

Sebuah Penutup: Melihat Sejarah Kepemimpinan

Melihat sejarah kepemimpinan, kita perlu bertanya apakah kepemimpinan demokrasi hari ini layak dipertahankan dengan mati-matian. Meskipun pilihan kita bisa berbeda, tetap menjadi Indonesia adalah keniscayaan, mengingat kekayaan dan keragaman yang dimiliki oleh negara dengan populasi 280 juta jiwa dan ribuan pulau. Ini adalah tantangan dan tanggung jawab bersama kita di alam demokrasi dewasa ini.

Salam

Saduran. Tulisan ini dimuat dan headline di sisipagi media pada 21 Februari 2024

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun