Saya terbangun ketika hawa dingin terasa semakin menyengat dan suara masjid sudah mengudarakan sola-sola, menandakan waktu maghrib akan datang. Cukup lama saya tertidur.
Segera reflek saya mengambil handuk yang masih tertata didalam tas. Mandi sore itu hanya sebatas wacana, karena lantai kamar mandi saja dinginnya sudah menusuk dari telapak kaki sampai ujung rambut.
Apalagi setelah mencoba untuk menyentuh air yang rasanya bisa mengkerutkan apa yang bersentuhan dengannya, menambah keyakinan saya untuk tidak  mandi.
Alhasil hanya wudhu yang yang saya lakukan, itupun setelah wudhu, badan rasanya menggigil hebat. Mental saya jatuh sejatuh-jatuhnya menghadapi serangan hawa dingin di tempat ini.
Selesai Sholat Maghrib, saya mencoba keluar berjalan-jalan di sekitar tempat ini, yang cukup ramai oleh penjual-penjual makanan. Kebanyakan yang berjualan disini bukan orang asli Dieng, para pendatang yang memanfaatkan ramainya tempat wisata perpaduan alam dan budaya.
Untuk harga saya kira masih wajar, seperti kebanyakan tempat wisata, tidak sampai menggetok. Bahkan ketika saya masuk ke dalam toko yang menjual jaket, harganya hanya berkisar 100 ribu -- 200 ribu saja, itupun sudah dapat merk import dan kualitas barangnya juga tidak main-main.
Anda tahu sendirilah jika harga murah, merek impor itu pasti thrift. Tidak mengapa, tidak ada yang tahu anda pakai jaket bekas impor.
Setelah mendapatkan jaket yang kami mau, walaupun dingin menerpa, kami tetap berjalan, mencari kehangatan dengan makan Bakso dan Mie Ayam. Tak terasa, kami sudah masuk wilayah Dieng Banjarnegara.
Selesai menyantap mie ayam dan bakso yang harganya wajar ini, kami meneruskan perjalanan. Cerahnya langit malam merestui kami untuk berjalan-jalan di kawasan lembah kaldera dieng ini.