Siang terik ini saya mampir di sebuah warung, didepan sebuah perumahan yang sangat sederhana. Dibawah pohon talok yang rindang, dengan dinding anyaman bambu, saya memesan segelas kopi hitam.
Saya duduk di kursi yang juga terbuat dari bambu. Menyapa beberapa teman yang sudah duluan ngopi disitu. Belum lama saya duduk, di kursi sebelah, seorang kakek-kakek tampak berdiri mencari uang hasil ngamennya yang terjatuh tercecer dilantai.
Saya dan seorang teman ikut membantu memungut ketika tampak dia menyerah mencari karena keterbatasan pandangan matanya. Saya menemukan 500 rupiah, teman saya menemukan 500 rupiah. Dan beliau sangat berterimakasih ketika saya mengembalikan uangnya.
Sangat berarti uang seribu rupiah yang terjatuh. Sehingga dia berusaha mengambilnya kembali. Walaupun harus "grayah-grayah" ketika mengambil tadi.
Saya kemudian duduk disampingnya sebuah ukulele tua menjadikan kami berjarak.
"matursuwun sanget nggih mas"ucapnya kepada kami berdua. "ngeten niki kulo eman nek ical, lha sing maringi kulo pun berusaha, mosok kulo icalne" ucapnya. Menegaskan bahwa uang tersebut sangat berarti baginya. Namun bukan nominalnya, lebih untuk menghargai pemberian orang lain.
Saya mendapatkan pelajaran tersirat dari kakek, hargailah pemberian orang lain entah besar atau kecil, sedikit atau banyak, ikhlas atau tidak ikhlas.
"mboten ngeses mas, sampun sepuluh tahun mandeg" jawabnya, ketika saya tawarkan rokok. Kemudian dia menjelaskan kenapa berhenti merokok, ternyata karena ketika mengamen sering terbatuk-batuk sehingga oleh para pendengarnya diminta berhenti merokok.
Transmigran yang Bertransformasi
Lelaki itu menyebut dirinya Mbah Jen, seorang duda karena cerai mati berusia 83 Tahun. Keseharian hidup bersama anak lelakinya yang menjadi satpam di sebuah pertokoan, di kota kelahiran Gus Dur ini.
"tahun 80-an kulo tumut transmigrasi teng aceh" ujarnya lagi. "nandur karet kathah"jelasnya lagi. "lho kok wangsul enten nopo?" tanya saya. "lha teng mriko usum GAM, bingung, nek mboten tumut kulo ditembak GAM, tapi nek tumut kulo dibedhil tentara" menjawab pertanyaan saya.
Perang ternyata menimbulkan masalah, termasuk untuk pihak yang sebenarnya tidak tahu menahu tentang tujuan perang tersebut.
Dia kembali tidak punya apa-apa, kembali jadi pengangguran karena semua hartanya ditinggalkan di tanah transmigrasinya. Â Beruntung masih ada rumah peninggalan orang tua untuk berteduh keluarganya sekembali dari transmigrasi.
Beliau memang bukan potret seorang tranmigran yang sukses. Jadi tidak bisa memamerkan harta kepada tetangga-tetangganya.
Setelah beberapa lama menjadi pengangguran dengan hobi dan kebisaan yang dimilikinya, bermain ukulele, beliau mulai ngamen untuk menghidupi keluarganya. Dari rumah kerumah kadang bermain diperempatan lampu merah.
Kadang bermain sendirian kadang bersama temannya. Beliau bermain pada genre keroncong, sesuai seleranya sesuai usianya.
Hasil mengamen di kota penyangga Ibukota Provinsi Jatim ini cukup untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, walaupun tidak berlebih. Sekedar untuk mebiayai kehidupan sehari-hari dan membayar anaknya sekolah hingga lulus jenjang SMA.
"ngamen sak angsale, kadang suwidak(60 ribu) kadang nggih seket, (50rb) kangge nyangoni putu-putu"jawabnya. Di hari senjanya ini beliau mengamen hanya untuk mengisi hari dan mencari kesibukan. Sudah tidak ada lagi yang perlu dihidupi, anak-anaknya sudah berkeluarga dan sudah mandiri.
"bojo kulo pun mboten enten" gumamnya lirih. Â Istri beliau sudah terlebih dahulu meninggalkannya beberapa tahun yang lalu.
"biasanya teng mriki kulo kalih konco-konco tapi niki sepi mas" ujar beliau sambal menyeruput kopi susu. Selain mengamen, beliau juga berkumpul bersama teman-temannya untuk jaming. Itu pulalah yang membawanya berada di perumahan yang berada di puncak gunung yang konon pada jaman dulu merupakan gerbang Majapahit sebelah barat ini.
Jarak Rumahnya dengan tempat ini sangat jauh dan perlu tenaga ekstra jika jalan kaki. "kulo pados nunutan, mangke biasane wangsule diteraken" menjawab keheranan saya.
"njenengan taksih sehat mbah" puji saya. "Alhamdulillah, nggih namung watuk niku riyin sakjoke mandek ngrokok pun mboten" seolah menyindir. Saya tanggapi sambil senyum dan meneguk kopi yang sudah mulai dingin.
"nggih diterimo mawon diparingi tiyang, matursuwun, sak pinten-pinten disyukuri" jawabnya ketika saya tanya kuncinya hidup cukup dari hanya mengamen.
Dua hal yang berbeda yang saya temui tentang mengamen pada dua orang pengamen beda generasi.
Mas Ikang Fauzi yang pernah saya ceritakan, alat seadanya, beromzet 100 ribu perhari, mengamen di kota terbesar kedua di Indonesia. Hasilnya hanya untuk mencari kesenangan semata. Selain masih muda dan belum mempunyai tanggungan, pergaulanlah yang membuatnya tidak memperoleh apapun dari penghasilannya yang cukup besar.
Mbah Jen, mantan transmigran yang sudah sepuh ini, mengamen untuk menghidupi keluarganya. Berhasil melewati masa-masa sulit hingga mampu membiayai anak-anaknya sampai dewasa dan akhirnya mandiri. Termasuk keluarga miskin yang menerima bantuan dari pemerintah.
Masing-masing orang mempunyai cara pandang sendiri-sendiri, termasuk saya maupun anda. Tidak perlu diperdebatkan mana yang benar mana yang salah. Fokus pada tujuan sepertinya akan lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H