Perang ternyata menimbulkan masalah, termasuk untuk pihak yang sebenarnya tidak tahu menahu tentang tujuan perang tersebut.
Dia kembali tidak punya apa-apa, kembali jadi pengangguran karena semua hartanya ditinggalkan di tanah transmigrasinya. Â Beruntung masih ada rumah peninggalan orang tua untuk berteduh keluarganya sekembali dari transmigrasi.
Beliau memang bukan potret seorang tranmigran yang sukses. Jadi tidak bisa memamerkan harta kepada tetangga-tetangganya.
Setelah beberapa lama menjadi pengangguran dengan hobi dan kebisaan yang dimilikinya, bermain ukulele, beliau mulai ngamen untuk menghidupi keluarganya. Dari rumah kerumah kadang bermain diperempatan lampu merah.
Kadang bermain sendirian kadang bersama temannya. Beliau bermain pada genre keroncong, sesuai seleranya sesuai usianya.
Hasil mengamen di kota penyangga Ibukota Provinsi Jatim ini cukup untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, walaupun tidak berlebih. Sekedar untuk mebiayai kehidupan sehari-hari dan membayar anaknya sekolah hingga lulus jenjang SMA.
"ngamen sak angsale, kadang suwidak(60 ribu) kadang nggih seket, (50rb) kangge nyangoni putu-putu"jawabnya. Di hari senjanya ini beliau mengamen hanya untuk mengisi hari dan mencari kesibukan. Sudah tidak ada lagi yang perlu dihidupi, anak-anaknya sudah berkeluarga dan sudah mandiri.
"bojo kulo pun mboten enten" gumamnya lirih. Â Istri beliau sudah terlebih dahulu meninggalkannya beberapa tahun yang lalu.
"biasanya teng mriki kulo kalih konco-konco tapi niki sepi mas" ujar beliau sambal menyeruput kopi susu. Selain mengamen, beliau juga berkumpul bersama teman-temannya untuk jaming. Itu pulalah yang membawanya berada di perumahan yang berada di puncak gunung yang konon pada jaman dulu merupakan gerbang Majapahit sebelah barat ini.
Jarak Rumahnya dengan tempat ini sangat jauh dan perlu tenaga ekstra jika jalan kaki. "kulo pados nunutan, mangke biasane wangsule diteraken" menjawab keheranan saya.
"njenengan taksih sehat mbah" puji saya. "Alhamdulillah, nggih namung watuk niku riyin sakjoke mandek ngrokok pun mboten" seolah menyindir. Saya tanggapi sambil senyum dan meneguk kopi yang sudah mulai dingin.