Mohon tunggu...
Alan Singkali
Alan Singkali Mohon Tunggu... -

aktifis Salemba 10

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jejak-jejak Damai (1): Lirboyo Sang Mata Air

18 Oktober 2017   17:56 Diperbarui: 19 Oktober 2017   01:25 2244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mungkin pengalaman ini akan menjadi salah satu rentang waktu yang paling berkesan. Dari sekian perjalanan yang dilakukan, berada di tengah-tengah ribuan agamawan, selain adalah pengalaman baru juga bisa dikatakan pengalaman spiritual. 

Beberapa waktu yang lalu, mulai tanggal 2 -- 5 Oktober 2017, kami melakukan perjalanan mengunjungi beberapa pondok pesantren di Jawa Timur. Pondok-pondok bercorak Nahdlatul Ulama tersebut antara lain Pondok Ngalah di Pasuruan, Pondok al-Hikam di Malang, Pondok Lirboyo di Kediri, dan Pondok Tebuireng di Jombang. 

Menurut beberapa orang, gaya ala pondok pesantren ini hanya dimiliki oleh kalangan Nahdlatul Ulama yang masih menggunakan metode pendidikan 'salafiyah' (pendidikan berbasis agama) ataupun gabungan salafiyah dengan pendidikan ilmu umum.

Secara umum, di Jawa Timur menurut pandangan awam adalah barometer perpolitikan dan percampuran budaya di Indonesia. Masyarakat Nahdlatul Ulama yang berbasis di pondok-pondok pesantren dapat hidup berdampingan dengan kelompok nasionalis yang direpresentasikan biasanya oleh Kaum Marhaenis. Bahkan kelompok-kelompok minoritas, seperti Kristen, etnis Tionghoa, dan pengamal kejawen di beberapa tempat menghiasi perpaduan budaya dan kehidupan di tengah-tengah masyarakat.

Panjalu dan Kertajaya

Desa Lirboyo merupakan bagian dari Kota Kediri yang terletak di Kecamatan yang bernama Mojoroto. Kota Kediri sendiri hanya memiliki 3 (tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Kota, Kecamatan Pesantren, dan Kecamatan Mojoroto. Lirboyo sendiri berasal dari kata "nir" dan "boyo" yang artinya "selamat dari bahaya". Mungkin hal ini dimaknai karena sebelumnya kawasan ini merupakan kawasan yang dipenuhi macam-macam kejahatan dan angker. Namun kemudian hadir agamawan-agamawan pada berbagai masa yang merubah keadaan menjadi lebih baik atau "selamat".

Menurut sejarahnya, Kediri berasal dari kata dalam bahasa Sanskrit yaitu khadri yang artinya pohon mengkudu (morinda citrifolia sp.). Manfaat pohon ini antara lain digunakan sebagai zat pewarna pada saat mbatik, juga sebagai obat. Luas Kota Kediri sesuai informasi Wikipedia mencapai 63,40 km2 dan Kecamatan Mojoroto mencapai sepertiga dari luas Kota Kediri atau 24,60 km2. Kediri dikenal sebagai Kota Tahu, namun industri yang dominan di kota ini adalah industri gula dan rokok. Di kota ini Gudang Garam mendirikan dan mengembangkan pabrik rokok kreteknya.

Di masa lalu Kediri adalah nama lain dari Kerajaan Panjalu, yaitu salah satu dari dua kerajaan hasil pemecahan Kerajaan Kahuripan oleh Raja Airlangga. Kerajaan Panjalu atau Kediri ini tercatat dalam beberapa prasasti maupun naskah kuno, antara lain Prasasti Sirah Keting tahun 1104 M, Prasasti Ngantang tahun 1135 M, dan kronik Cina berjudul ling wai tai ta tahun 1178 M. Pusat kerajaannya didirikan di Dahanapura (Daha), yang kemudian berganti-ganti diduduki oleh Singhasari dan Majapahit.

Raja pertamanya adalah Sri Samarawijaya dan raja terakhir bernama Kertajaya. Kertajaya bersama Kediri, lalu ditaklukkan oleh Ken Arok yang di kemudian hari mendirikan Kerajaan Singhasari. Kertajaya tumbang karena keangkuhannya ingin disembah oleh para pendeta Hindu maupun biksu Buddha. Para agamawan itupun mencari perlindungan dari Ken Arok, akuwu Tumapel, dan Kertajaya pun dikalahkan.

Keangkuhan merupakan salah satu penyakit kehidupan yang selalu diikuti oleh kehancuran, seperti Kertajaya. Mitologi Yunani menceritakan tentang Narcissus yang sangat angkuh karena ketampanannya hingga akhirnya mati karena tergila-gila akan bayangannya sendiri. 

Kondisi ini merujuk pada tingkat self-esteem yang berlebihan atau bentuk dari ketidakmatangan emosional. Para pemimpin bangsa dan masyarakat kadang terjebak dengan penyakit kehidupan ini. Hal ini kemudian berakibat hilangnya integritas atau komitmen dalam menjadi pengayom masyarakat, diikuti oleh lunturnya amanah dan amanat. Transformasi nilai-nilai kepada calon-calon pemimpin masyarakat dan bangsa ini harus dilakukan secara holistik di dalam lembaga-lembaga pendidikan tradisional maupun modern, baik formal, informal maupun nonformal.

Cokrojoyo sampai Lirboyo

Sejarah ke-Islam-an di Kediri maupun Desa Lirboyo terdiri dari beberapa fase yang merujuk pada orang-orang tertentu. Pada zaman Sunan Kalijaga, Ki Cokrojoyo atau Sunan Geseng ditugaskan untuk menyebarkan agama ke Kediri. Ciri ajaran Sunan Geseng adalah tauhid dan sasahidan (membaca dua kalimat syahadat). Pada abad 12 M, diutuslah seorang dari Gujarat bernama Sulaiman al-Wasil Syamsuddin atau dikenal sebagai Syekh Wasil Setonogedong. Banyak yang meyakini bahwa beliau adalah ulama besar di zamannya, dan pernah mengkaji Kitab Musyarar atas permintaan penguasa setempat. 

Makamnya sekarang berada di belakang Masjid Aulia Setonogedong. Di era berikutnya dikenal seorang ulama yang memiliki kesaktian mandraguna dan kebal terhadap senjata tajam, namanya Syekh Abdullah Mursyad. 

Ada beberapa versi asal muasalnya, ada yang menyebut dia keturunan Majapahit, ada yang mengatakan dia keturunan Syekh Jumadil Qubra yang dimakamkan di Trowulan, ada pula yang meyakini beliau adalah seorang pengembara dari Gujarat. Namun yang pasti bahwa beliau menurunkan silsilah kepada hampir seluruh pesantren di sekitar Kediri. Walaupun memiliki kesaktian, tapi dia tidak menurunkan kesaktian itu kepada keturunannya, karena takut jika keturunannya sakti namun tidak ber-Islam dengan baik. Makamnya ada di Setenolandean, sebelah utara Mrican.

Syekh ini kemudian menurunkan seorang muballigh bernama Syekh Muhammad Ali Ma'lum atau dikenal sebagai Mbah Ma'lum. Pada 1800-an Masehi, Mbah Ma'lum menyusur Kali Brantas dan menemukan tempat yang namanya Banjarmelati karena tanahnya jika dikunyah seperti aroma bunga melati.

Di tempat itu kemudian didirikanlah masjid, yang kemudian menjadi masjid tertua di Kediri. Di kemudian hari seorang keturunan beliau bernama Kyai Haji Sholeh Banjarmelati mendirikan banyak masjid di daerah Kediri dan sekitarnya, karena beliau adalah pedagang kayu yang kaya raya. Kyia Sholeh inilah yang kemudian mengutus menantunya untuk menetap di Desa Lirboyo, menantunya bernama Kyai Haji Abdul Karim.

Kyai Haji Abdul Karim atau biasa disebut Kyai Manab, pada awal berkeinginan mendirikan pondok pesantren Lirboyo memiliki tekad untuk membentuk karakter santri yang shalihin dan 'arifin, khususnya untuk mengikis sifat angkuh sebelum akhirnya bermanfaat di tengah-tengah masyarakat. 

Awalnya Lirboyo merupakan sebuah desa dalam Kecamatan Mojoroto yang dihuni oleh para penyamun, pembunuh, serta konon jin-jin juga banyak berdiam di tempat ini. Hal ini dikarenakan Desa Lirboyo terlindung oleh rimbunnya pepohonan sehingga sulit terlihat dari kejauhan. Selain itu, sebelum kedatangan para pendiri pondok pesantren, di Desa Lirboyo tidak terdapat pemeluk agama Islam.

Di seantero Jawa Timur terdapat banyak pondok-pondok pesantren tua. Rata-rata umur pondok-pondok tersebut sudah mencapai 100 tahun lebih. Semisal, Pondok Lirboyo yang telah berdiri sejak tahun 1910. Jumlah santri yang tinggal dalam pondok ini mencapai 19.000 sampai 20.000 santri. Sekarang ini pondok Lirboyo telah dikelola oleh generasi ke-empat dari pendiri Pondok yaitu KH Abdul Karim (1856-1954 M). 

Pondok Pesantren ini masih menggunakan metode pendidikan 'salafiyah' murni. Corak ke-salaf-an dipertahankan seiring banyaknya pondok yang telah memadukan metode belajarnya dengan sistem khalaf atau modern. Kemurnian ini mungkin yang membuat Lirboyo banyak diminati oleh calon santri dari berbagai tempat.

Metode salaf pun tidak memiliki kurikulum yang pasti, karena pembelajaran mengikuti jenjang pengkajian terhadap kitab-kitab yang sudah ada. Kadang pembelajaran menyesuaikan dengan kondisi aktual yang sedang terjadi dalam konteks lokal ataupun nasional.

Di sekitar pondok Lirboyo pada tahun 1940-an sampai 1960-an memiliki corak demografi yang beragam. Dari sisi politik selain kelompok Nahdlatul Ulama dan kelompok Marhaenis, juga banyak terdapat orang-orang Komunis (PKI). Hal ini diakui langsung oleh para pengasuh pondok. Setelah peristiwa G30S maupun peristiwa sebelumnya yaitu Madiun Affair, banyak dari mereka yang dibantai. 

Namun sesuai dengan doktrin yang diyakini oleh pondok Lirboyo bahwa ada tiga hak yang harus dijaminkan kepada tetangga, salah satunya adalah hak sebagai sesama manusia. Sehingga santri-santri Lirboyo tidak ikut terlibat membantai simpatisan Komunis di sekitaran pondok. Walaupun di masa silam misi land reform PKI banyak juga menyasar lahan milik ulama dan pesantren yang tidak sedikit meninggalkan jejak darah. Namun isu kebangkitan PKI di era sekarang, bagi orang-orang Lirboyo, dianggap sebagai gorengan politik oleh elit saja walau tetap harus terus diwaspadai.

Berdialog dengan para pengasuh Lirboyo memberikan khasanah berpikir baru tentang kehidupan toleransi di dalam lingkungan NU. Hal ini akan menjadi modal dasar untuk membangun komunikasi yang lebih baik dengan semua kelompok, dalam rangka mempertahankan nilai-nilai kebangsaan yang sama-sama kita anut dan yakini.

Sumber:

  • Bahtiar, H. Asep, dkk. Pesantren Lirboyo: Sejarah, Peristiwa, Fenomena, dan Legenda. 2010. (Kediri: Lirboyo Press)
  • Diskusi dengan pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, 4 Oktober 2017.
  • Wikipedia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun