Cokrojoyo sampai Lirboyo
Sejarah ke-Islam-an di Kediri maupun Desa Lirboyo terdiri dari beberapa fase yang merujuk pada orang-orang tertentu. Pada zaman Sunan Kalijaga, Ki Cokrojoyo atau Sunan Geseng ditugaskan untuk menyebarkan agama ke Kediri. Ciri ajaran Sunan Geseng adalah tauhid dan sasahidan (membaca dua kalimat syahadat). Pada abad 12 M, diutuslah seorang dari Gujarat bernama Sulaiman al-Wasil Syamsuddin atau dikenal sebagai Syekh Wasil Setonogedong. Banyak yang meyakini bahwa beliau adalah ulama besar di zamannya, dan pernah mengkaji Kitab Musyarar atas permintaan penguasa setempat.Â
Makamnya sekarang berada di belakang Masjid Aulia Setonogedong. Di era berikutnya dikenal seorang ulama yang memiliki kesaktian mandraguna dan kebal terhadap senjata tajam, namanya Syekh Abdullah Mursyad.Â
Ada beberapa versi asal muasalnya, ada yang menyebut dia keturunan Majapahit, ada yang mengatakan dia keturunan Syekh Jumadil Qubra yang dimakamkan di Trowulan, ada pula yang meyakini beliau adalah seorang pengembara dari Gujarat. Namun yang pasti bahwa beliau menurunkan silsilah kepada hampir seluruh pesantren di sekitar Kediri. Walaupun memiliki kesaktian, tapi dia tidak menurunkan kesaktian itu kepada keturunannya, karena takut jika keturunannya sakti namun tidak ber-Islam dengan baik. Makamnya ada di Setenolandean, sebelah utara Mrican.
Syekh ini kemudian menurunkan seorang muballigh bernama Syekh Muhammad Ali Ma'lum atau dikenal sebagai Mbah Ma'lum. Pada 1800-an Masehi, Mbah Ma'lum menyusur Kali Brantas dan menemukan tempat yang namanya Banjarmelati karena tanahnya jika dikunyah seperti aroma bunga melati.
Di tempat itu kemudian didirikanlah masjid, yang kemudian menjadi masjid tertua di Kediri. Di kemudian hari seorang keturunan beliau bernama Kyai Haji Sholeh Banjarmelati mendirikan banyak masjid di daerah Kediri dan sekitarnya, karena beliau adalah pedagang kayu yang kaya raya. Kyia Sholeh inilah yang kemudian mengutus menantunya untuk menetap di Desa Lirboyo, menantunya bernama Kyai Haji Abdul Karim.
Kyai Haji Abdul Karim atau biasa disebut Kyai Manab, pada awal berkeinginan mendirikan pondok pesantren Lirboyo memiliki tekad untuk membentuk karakter santri yang shalihin dan 'arifin, khususnya untuk mengikis sifat angkuh sebelum akhirnya bermanfaat di tengah-tengah masyarakat.Â
Awalnya Lirboyo merupakan sebuah desa dalam Kecamatan Mojoroto yang dihuni oleh para penyamun, pembunuh, serta konon jin-jin juga banyak berdiam di tempat ini. Hal ini dikarenakan Desa Lirboyo terlindung oleh rimbunnya pepohonan sehingga sulit terlihat dari kejauhan. Selain itu, sebelum kedatangan para pendiri pondok pesantren, di Desa Lirboyo tidak terdapat pemeluk agama Islam.
Di seantero Jawa Timur terdapat banyak pondok-pondok pesantren tua. Rata-rata umur pondok-pondok tersebut sudah mencapai 100 tahun lebih. Semisal, Pondok Lirboyo yang telah berdiri sejak tahun 1910. Jumlah santri yang tinggal dalam pondok ini mencapai 19.000 sampai 20.000 santri. Sekarang ini pondok Lirboyo telah dikelola oleh generasi ke-empat dari pendiri Pondok yaitu KH Abdul Karim (1856-1954 M).Â
Pondok Pesantren ini masih menggunakan metode pendidikan 'salafiyah' murni. Corak ke-salaf-an dipertahankan seiring banyaknya pondok yang telah memadukan metode belajarnya dengan sistem khalaf atau modern. Kemurnian ini mungkin yang membuat Lirboyo banyak diminati oleh calon santri dari berbagai tempat.
Metode salaf pun tidak memiliki kurikulum yang pasti, karena pembelajaran mengikuti jenjang pengkajian terhadap kitab-kitab yang sudah ada. Kadang pembelajaran menyesuaikan dengan kondisi aktual yang sedang terjadi dalam konteks lokal ataupun nasional.