Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Hidup yang Fluktuatif

5 Agustus 2015   19:32 Diperbarui: 5 Agustus 2015   19:32 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sekitar tahun 2008, mungkin saya dan keluarga adalah orang pertama yang memiliki motor matic. Untuk hal ini, terjadilah cerita lucu dan sedikit memalukan.

Bank BNI yang sebelumnya sudah mengutus stafnya untuk datang ke rumah, kemudian benar-benar memanggil saya untuk datang ke kantor cabang terdekat, Prenduan. Maka saya datanglah dengan perasaan riang gembira, karena menurut info sebelumnya nomer rekening saya terpilih sebagai penerima hadiah satu unit motor matic.

Pagi menjelang siang saya datang berboncengan dengan seorang teman, rencananya nanti pulangnya kami akan sama-sama mengendarai motor. Setelah menemui beberapa staff, tanda tangan beberapa dokumen dan foto-foto, maka tibalah acara penyerahan motor.

Rasa bahagia yang sebelumnya mendominasi perasaan, mendadak berubah kebingungan yang cukup lucu. Pasalnya, motor tidak bisa hidup. Teman saya pun dibuat kebingungan karena tak berhasil menghidupkan, beberapa orang yang lewat juga ikut bingung sejenak sebelum melanjutkan perjalanannya. Waktu itu sudah siang dan terik. Daripada bingung, maka terpaksa meminta supir di rumah untuk datang membawa pikup guna mengangkut motor.

Esok harinya saya hubungi teman yang bekerja sebagai mekanik perusahaan motor. Sore beliau datang dan melihat kondisi motor. Lalu bak peri yang berhasil mengatasi permasalahan dengan mudah, motor pun hidup. Breeeem. Dia tertawa-tawa.

"Iya ini motor matic, kalau mau menyalakan harus tahan rem" ucapnya. Maka terbayanglah pengalaman hari sebelumnya yang cukup lama kepanasan dan mengangkat motor ke atas mobil pikup. Hahaha.

Saya kurang tau alasan BNI memberikan hadiah, mungkin karena lalu lintas nominal rupiah yang cukup sibuk, mungkin juga murni undian. Yang jelas itu adalah momen sangat menyenangkan, sekaligus memberi pengetahuan baru tentang hadirnya motor matic.

Namun kehidupan itu berputar. Sungguh. Empat tahun setelahnya, 2012, mungkin bisa dibilang adalah masa paling kritis dalam hal ekonomi dan keuangan. Beberapa perusahaan seafood masuk ke Madura dan mengacak-ngacak harga bahan mentah. Pengusaha satu persatu tumbang, sementara nelayan berpindah-pindah mencari harga paling mahal. Singkatnya perusahaan saya libur, tutup sejenak menunggu hingga kondisi pulih, para karyawan juga diistirahatkan.

Meski perusahaan libur, kebutuhan hidup sehari-hari tidak ikut libur, semua harus dibiayai. Dua anak di pesantren dan dua kakaknya di universitas. Kredit barang dan sebagainya tetap jalan perbulan. Sementara modal sudah habis total, lebih parah lagi karena uang yang dipinjam partner bisnis tidak dibayar.

Pilihan satu-satunya adalah mencari jalan baru. Maka berjalanlah saya dari satu bank ke bank yang lain, memohon pinjaman. Lucunya, hampir semuanya menolak. Haha. Bahkan bank yang dulu cukup sering berkunjung ke rumah menawarkan pinjaman pun ikut menolak. Mungkin hidup memang sejahat ini kawan.

Setiap hari pasca pengajuan pinjaman menjadi hari-hari penuh penolakan. Mungkin mereka tahu bahwa usaha saya sudah ambruk. Namun akhirnya pinjaman dari BNI ternyata diluluskan. Entah karena alasan staf BNI kurang jeli, atau memang nama saya tercatat sebagai nasabah yang cukup diperhitungkan. Yang pasti saya bersyukur. Modal segar, usaha baru dan memulai dari awal. 

Kadang rencana tidak selalu berjalan mulus. Begitu juga dengan yang saya rencanakan saat itu. Bukannya memulihkan ekonomi dan membayar lunas tagihan kredit, malah menumpuk hutang baru di BNI dengan jumlah yang luar biasa membuat pening kepala.

Di tahun berikutnya saya sudah tidak mampu membayar bulanan. Debt collector berkali-kali datang, bergantian dengan debt collector kredit motor. Bedanya BNI dengan perusahaan kredit adalah bahasa dan emosi, BNI lebih santai nyaris tanpa keluhan.

Setelah sebulan gagal bayar, akhirnya staf yang biasa datang ke rumah berganti dengan yang lebih senior. Sifatnya bukan menagih, melainkan mencari jalan keluar. Entah itu menambah hutang sebagai modal baru atau mengecilkan jumlah setoran bulanan.

Mengecilkan jumlah setoran? Nah ini menarik. BNI berusaha menjaga nasabahnya agar tidak terkena blacklist dari BI. Setidaknya harus ada setoran, jika 3 bulan berturut-turut tidak ada setoran, maka otomatis blacklist. Lalu disepakatilah nominal yang sangat-sangat rendah, hanya 50% dari jumlah awal. 

Hari terus berjalan, bulan berlalu dan tahun tanpa terasa sudah dilewati. Krisis ekonomi keluarga benar-benar membuat frustasi. Saya mungkin bisa makan apa saja, bahkan cukup nasi putih, asal kenyang. Namun anak-anak harus tetap sekolah dan tidak perlu tau soal ini, kecuali yang tertua, dia sensitif sekali soal usaha, hutang bank dan sekitarnya.

2014, Kondisi memburuk, tentu saja setoran yang sudah dipangkas itupun kembali tidak mampu dibayar. Staf senior BNI kembali berkunjung ke rumah. Saya pikir apakah akan ada pangkasan lagi? Rasanya tidak mungkin. Dan benar saja, sore itu mereka datang sebagai tamu, tidak dengan pakaian dinas resmi, murni silaturrahim. Setelah basa-basi sejenak, beliau ini (dua orang) mengingatkan soal pembayaran tertunggak. Lalu saya pun menjelaskan bahwa keadaan sudah semakin tidak memungkinkan. Hampir semua link dan usaha baru sudah ditempuh, namun memang sudah tidak bisa lagi. Buntu.

Mendengar cerita seperti itu, salah satu dari staf BNI ini balik menjelaskan bahwa blacklist tidak bisa lagi diundur jika memang saya melanggar. Tidak ada lagi dispensasi atau diskon. Tak lama setelah itu, nama saya sudah masuk daftar hitam. 

Terlepas dari catatan perjalanan yang sangat menantang ini, alhamdulillah semua hutang ke BNI sudah terbayarkan. Usaha yang sering gagal itupun menemukan taqdir yang baru dan kini saya sudah nyaris pulih.

Jujur saya tidak tau apakah catatan kecil ini memiliki arti bagi pembaca atau tidak, namun bagi saya ini adalah pelajaran yang luar biasa. BNI memberi hadiah saat saya sama sekali tidak terlalu mengharapkannya, karena saat itu sudah memiliki 2 motor. BNI juga hadir saat saya betul-betul mengharapkan diluluskannya pinjaman. Maka tidak berlebihan rasanya jika sedikit cerita ini saya tulis sebagai tanda terima kasih atas hadiah motor dan pinjamannya. 

Terima kasih juga atas dispensasi serta keramahan para staf yang tidak seperti debt collector, sekalipun saya tau mereka pasti jengkel (ini kalau bisa BNI Sumenep tolong kasih bonus). Hehe. Terima kasih telah menjadi bagian dari cerita penting perjalanan hidup saya. Semoga di ulang tahun yang ke 69 ini terus menjadi bank yang melayani masyarakat dengan baik.

*Saya dalam tulisan ini adalah Ayah saya.

 

Sebagai Alifurrahman/Alan Budiman, saya berharap agar BNI Remittance di Kuala Lumpur bisa terus dimaksimalkan. Di Malaysia itu (2014) ada 2 bank Indonesia yang buka cabang, salah satunya BNI. Kebetulan saya diterima di bank yang lain, namun intinya visi mereka sama, memudahkan para tenaga kerja asal Indonesia.

Saya tau program ini tidak hanya ada di Malaysia, namun di beberapa negara yang terdapat banyak WNI nya. Namun khusus Malaysia, sepertinya perlu sedikt saya beri masukan. Penting untuk diketahui bahwa orang Indonesia di negara tetangga tersebut mencapai lebih dari 1,5 juta jiwa. Sementara yang terdata resmi hanya ratusan ribu.

Dari mana saya dapat data itu? Saya dapat dari perusahaan telekomunikasi Malaysia, untuk kepentingan penelitian informal. Angka tersebut bisa saja lebih sedikit, namun selisihnya tidak akan terlalu jauh dari itu. Ini tercatat karena semua pengguna telpon seluler di Malaysia wajib menyertakan Identitas resmi, kalau pendatang bisa paspor. Sekalipun visa mati, tetap bisa daftar.

Masalahnya adalah, mayoritas mereka merupakan pendatang ilegal. Sampai sekarang pemerintah belum mampu mengatasi ini. Bank BNI harus berani membuat terobosan agar bisa merangkul semua mereka, sekalipun ilegal. Uang yang mereka kirim selama ini selalu melalui money changer dengan rate luar biasa mencekik. Selain itu tidak terlalu aman juga.

BNI harus memetakan kantong-kantong WNI dan masuk menjadi bagian dari mereka. Contoh kecil saja soal pengiriman uang. Setiap pekerja minimal sekali dalam sebulan mereka mengirimkan uang ke Indonesia.

Meski bekerja di Remittance selain BNI, namun saya faham ada sesuatu yang belum terhubung antara bank dan pekerja. BNI harus mendekati orang-orang penting (anggaplah RT) di setiap wilayah untuk menjadi agen informal, namun tetap ada fee nya. Jika mereka sudah didekati dan dirangkul, maka target mendapat nasabah tak perlu penjelasan lagi. Salahnya, sepengetahuan saya, karena teman saya bekerja di BNI, dua bank Remittance ini lebih menargetkan mendapat nasabah baru. Sementara pekerja orang Indonesia masih kurang tertarik soal itu. Sebab mereka biasa mengelola secara manual. Namun soal pengiriman uang, mereka sangat-sangat membutuhkan. Nah harusnya BNI lebih memfokuskan pada hal ini. Soal strategi dan sebagainya, saya rasa bank sudah memiliki tim yang solid.

Sebagai Alifurrahman/Alan Budiman yang pernah berada di tengah-tengah mereka, saya ikut mendoakan semoga pada akhirnya semua WNI tidak lagi menggunakan money changer yang hanya menguntungkan orang dan kerajaan Malaysia.

Sekali lagi selamat ulang tahun BNI yang ke 69, terus berbagi dan berprestasi untuk negeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun