Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Karena Adat Terlalu Tua untuk Ditentang

2 Agustus 2015   08:01 Diperbarui: 12 Agustus 2015   07:12 3296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Kompas.com

Beberapa tahun yang lalu saya sempat dibuat miris oleh sebuah kejadian, menurut hukum nalar dan naluri yang saya anut hal tersebut cukup tidak wajar. Selama beberapa bulan seorang teman sering mengajak saya jalan-jalan sekedar minum kopi atau beli roti. Momen terpentingnya sebenarnya ada pada saat kami sedang berada di mobil, dalam perjalanan. Dia akan bercerita dan saya menjadi konsultan yang harus menanggapi.

Si teman (lelaki) ini sedang dalam hubungan cinta yang cukup complicated. Dia dengan kemampuan finansial yang jauh lebih baik dari saya pada saat itu rupanya masih harus dibuat pusing juga karena masalah uang. Bukan soal living cost seperti sewa rumah belum bayar atau anggaran makan sudah habis, melainkan soal mahar.

"Ya kamu bayar saja lah, selesai urusan" jawabku.

"Orang tuaku ga setuju kalau caranya seperti itu. Malah nyuruh cari yang lain"

"Ya udah cari yang lain"

"Hahaha....ya nggak gitu. Aku harus tanggung jawab sama anak orang"

Masalahnya adalah orang tua pihak perempuan sudsh menetapkan 'tarif' untuk melepas anaknya. Nominalnya cukup fantastis, 150 juta rupiah, dan itu sama sekali di luar biaya pernikahan yang harus ditanggung bersama antara keluarga lelaki dan perempuan. 150 juta tersebut murni untuk si orang tua. Gila? Emang!

"Mana minggu depan mereka mau main ke sini" ucapnya gusar.

"Saya temenin ntar, gampang"

Seminggu setelahnya keluarga calon mertuanya si teman ini pun datang dengan dua anaknya. Mereka berencana liburan di Singapore untuk beberapa hari. Sepanjang perjalanan, setiap kami menemani mereka sekeluarga, kami sudah seperti supir dan pemandu wisata. Dicuekin!

Hingga akhirnya tibalah momen di mana kami duduk bersama, si teman ini menceritakan kondisi keuangannya, sambil menunggu makanan pesanan sampai. Teman saya sangat terbuka dan apa adanya, bahwa memang secara pribadi (tanpa melibatkan orang tua) dia tidak mampu untuk memenuhi syarat yang pernah dibahas sebelumnya.

"Ya kan kami membesarkan Hawa (nama samaran) ini nggak gratis, jadi tolong dimengerti," jawab calon mertua lelaki dengan senyum dinginnya.

Saya yang sebelumnya sangat tidak percaya dengan cerita si teman, saat itu harus mengakui bahwa itu memang nyata, bukan rekayasa. Pertanyaan meragukan seperti; kok bisa? Masa orang tua gitu? Dan seterusnya sudah resmi terjawab.

Masalahnya adalah orang tua teman saya tidak setuju dengan akad dan tarif seperti itu, tidak ada aturannya dalam Islam. Namun jika teman saya mau membayar sendiri, dia masih tidak punya uang sebanyak itu. Inilah cerita tidak lucu orang yang mampu secara finansial namun masih juga bermasalah dengan uang.

Orang tua teman saya memegang teguh prinsip dan tidak mau diperas, semetara calon mertuanya memegang teguh adat, kebiasaan atau entah apa namanya. Solusi paling terakhir sebenarnya adalah move on, putus. Namun tanpa penjelasan dan tanpa diceritakanpun saya sudah tau masalahnya. "Saya harus tanggung jawab." Ada yang bisa menerjemahkan kalimat ini? Yup, mereka sudah melakukan sex berkali-kali.

Saya tidak tau kabar selanjutnya bagaimana karena terakhir terlibat berkonflik dengan Hawa, lalu semua sosmed teman saya ini dikuasai, kamipun tak pernah berinteraksi lagi. Jadi ya sudah.

Semalam, ada orang yang juga cerita soal temannya. Kasusnya mirip, juga soal adat. Pada sebuah suku di Indonesia, dalam adat pernikahannya ada yang namanya uang belanja untuk istri, 50 juta. Nominal yang diberikan ini adalah simbol untuk menunjukkan eksistensi dan mengedepankan budaya malu. Jadi semakin tinggi status sosial si perempuan, nominalnya pun harus lebih tinggi. Lucunya, jika tidak mampu membayar sebesar itu, dia ditawarkan untuk menikahi adiknya. Aih, apakah cinta bisa dengan mudah dialihkan?

Adat Terlalu Tua untuk Ditentang

Adat dan budaya lahir jauh sebelum kita lahir. Mereka sudah ada bertahun-tahun dan nyaris menjadi keyakinan. Dia terlalu tua untuk ditentang.

Saya jadi teringat dengan teman yang sebelum menikah harus melancarkan soft diplomasi dengan calon mertuanya. Menyetujui syarat dirinya harus mau berdomisili di rumah mertua karena alasan anak perempuan satu-satunya. Namun setelah menikah, setahun setelahnya dia berhasil memboyong mertuanya untuk ikut pindah, dengan alasan pekerjaan.

Saya juga teringat dengan nenek-nenek yang masih satu desa, duduk mendekat setengah berbisik, sangat serius "kamu kalau mau nikah, jangan mendadak, kabari jauh sebelumnya."Rupanya ini pun soal adat. Katanya, di beberapa daerah di Madura dan Jawa, ada adat gotong royong setengah investasi. Katanya, dulu orang tua saya menyumbang banyak untuk pernikahan anaknya, berupa sembako, karena orang Madura sangat faham bahwa mata uang rupiah menyusut tiap tahunnya. Jadi jika saya ingin menikah, orang yang pernah orang tua saya bantu/sumbangi di masa lalu harus mengembalikan, minimal sama atau setimpal. Kalau tidak, mereka akan kena sanksi sosial.

Jika Jalan Lurus Mentok, Perlu Sedikit Memutar

Teman saya yang berhasil membawa mertuanya untuk pindah sebenarnya patut ditiru. Saya sangat yakin bahwa semuanya sudah dia rencanakan dengan sangat matang, jadi persetujuannya untuk tinggal di rumah mertua sebenarnya hanya kebohongan yang terstruktur Haha.

Semalam saat seseorang itu bercerita tentang temannya dan uang belanja 50 juta, saya pikir itu masih bisa diakali. Jika uang tersebut untuk belanja dan diberikan pada istri, ya berikan saja. Tapi si istri harus dinego dulu agar mau mengembalikan 50 jutanya setelah proses pernikahan adat berlangsung. Toh selanjutnya tugas suami memang memberi nafkah dan itu pasti lebih dari 50 juta jika dihitung semuanya.

Sementara nenek yang nampak risau itu saya tenangkan, saya bisa atur untuk beri uang dan beliau bisa beli barang untuk dibawa ke rumah. Toh pada akhirnya barang tersebut memang untuk saya. Soal masa lalu dan adat, ya sudah itu urusan privacy yang tak perlu orang lain tau. Yang penting tidak ada sanksi sosial.

Meski memang soal adat ini erat kaitannya dengan gengsi, harga diri dan sejenisnya. Seperti cerita teman saya dan Hawa, mereka bukan tidak mampu, hanya enggan menurunkan ego. Andai orang tuanya mau membayar 150 juta, selesai. Sebab saya yakin orang tua Hawa juga sudah melalukan 'survey' kemampuan.

Begitu juga dengan cerita uang belanja istri 50 juta, skenario saya bisa saja berjalan mulus. Tapi si perempuan pasti harus meyakinkan dirinya sendiri bahwa yang dilakukannya tidak salah. Dia harus lepas dari rasa bersalah telah membohongi banyak orang, terutama orang tuanya sendiri.

Lalu soal nenek, mungkin dia harus sedikit mau menurunkan egonya. Rela menundukkan harga dirinya, sekalipun hanya saya yang tau.

Di Mana Bumi Dipijak, Di Situ Langit Dijunjung

Tak peduli setebal apa buku yang pernah kita baca atau dalil-dalil agama yang begitu kaut, jika sudah berhadapan dengan adat setempat, maka kita harus menimbang resiko dan manfaatnya dengan sedikit mengenyampingkan teori serta dalil yang kita yakini. Selama adat yang ada tidak bertentangan dengan syariah, maka yang perlu diperbaiki hanyalah niat.

Uang belanja istri 50 juta itu andai dibayarkan secara fatamorgana, katakanlah begitu, sebenarnya tidak ada yang dibohongi. Sang suami tetap dinyatakan komitmen memberi uang belanja 50 juta, hanya saja dengan cara kredit.

Sementara si nenek yang sepertinya sudah kurang mampu, ya diniatkan saja sudah lunas. Ibarat berhutang, jika yang memberi hutang sudah menganggap lunas ya tidak ada lagi masalah yang perlu diselesaikan.

Namun yang sulit memang jika kedua pihak tidak ada yang mau 'mengalah' seperti contoh teman saya dan Hawa. Nah soal dua pihak tidak mau mengalah ini, saya ada sedikit cerita penutup tentang 'adat' menikah di Malaysia di mana kedua pihak sama-sama menyepakati.

Di Malaysia, setiap perempuan itu dinilai dari tingkat pendidikannya. Semakin tinggi pendidikan perempuan, maka semakin mahal lah mahar dan uang hantarannya. Dari beberapa cerita teman saat berdomisili di sana, untuk lulusan sarjana itu di kisaran (setara) 100-150 juta rupiah. Sementara untuk lulusan master, sekitar 200-250 juta. Lalu Phd tentu saja di atas itu.

Dalam adat yang seperti itu, jangan heran jika pasangan muda-mudi harus mengajukan pinjaman ke bank sebelum melangsungkan pernikahan. Selain mendapat restu dari kedua orang tua, mereka juga harus dapat restu dari bank. Itu sudah biasa. Setelah menikah mereka akan membayar kredit perbulan hingga lunas. 

Lengkap ya solusinya? Hehe. Awalnya diberi pengertian, jika tidak memungkinkan lanjut dengan jalur negosiasi. Masih mentok? Coba lakukan soft diplomasi hingga sedikit mengakali. Namun jika memang sudah tidak ada jalan lain, maka terpaksalah mengimpor adat Malaysia, mohon restu bank. Tapi apapun itu semua harus dipertimbangkan, diukur dengan resiko dan manfaatnya.

Pesan moralnya, apapun alasannya, jangan lalukan seks sebelum menikah karena itu akan sangat memberatkan kita jika terbentur dengan adat yang tidak bisa kita penuhi.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun