Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menikah itu "Deal" Paling Rumit

31 Juli 2015   07:27 Diperbarui: 12 Agustus 2015   04:23 4351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Artikel: "Cinta adalah sesuatu yang harus diselesaikan, a problem to solve. Mau tak mau, semuanya harus dimulai sesegera mungkin/Kompas Female 

 

Saya banyak mendengar cerita kisah hidup teman-teman dalam perjalanannya menuju alam pernikahan. Sebuah proses panjang yang luar biasa menguras emosi, materi dan waktu. Di zaman ini, rasanya mustahil, atau kalaupun ada sedikit sekali pasangan yang sekali ketemu langsung klop tanpa beban masa lalu. Setiap hati pasti punya cerita sendiri, yang membedakan hanyalah sebagian menceritakannya, sisanya menguburnya dalam-dalam.

Si lelaki A yang saya kenal memiliki komitmen, terbentur dengan kenyataan bahwa calon mertuanya tidak merestui karena alasan ekonomi. Namun perempuannya memilih tetap bertahan, begitupun teman saya. Beberapa tahun berlalu, kini mereka menikah dan kabar terbaru saya dengar si Istri sedang hamil.

Si perempuan B yang saya kenal lincah, komunikatif serta mandiri, rupanya menyimpan beberapa catatan kelam yang tidak mampu dihapusnya. Dia menceritakannya datar tanpa emosi, sedikit senyum pemanis agar nampak tak terlalu serius. Setelah beberapa tahun berlalu, dia masih sibuk menenangkan hatinya

Si lelaki C saya kenal setia, komitmen tinggi dan cukup mampu mengendalikan nafsu di era seks bebas seperti sekarang memiliki cerita yang lebih ekstrim. Dia sudah beberapa kali ditinggal nikah pacarnya, terakhir dengan temannya sendiri. Saat menceritakan ini, kami membahasnya 2X24 jam tanpa tidur, karena memang waktu itu kami sama-sama lama tidak bertemu.

Si perempuan D pernah menumpahkan cerita pribadinya, mungkin orang akan menyebutnya aib. Kami tak sengaja memiliki waktu yang sama. Senyum dan keceriaanya hanya fatamorgana, kenyataanya dia menyimpan cerita pahit soal penghianatan, keperawanan dan kekerasan. Putus baginya adalah kerugian sekaligus kemerdekaan. Tapi air mata yang mengalir tanpa henti itu menyadarkan saya bahwa: seharusnya saya tidak tau soal ini. Bahu kanan kuberikan, untuk menyandar sejenak. Kini dia sudah menikah.

Si lelaki E berbeda lagi, pernah dia datang dengan dalih kangen. Padahal saya merasa bukan teman tebaiknya. Setelah lama cerita dari ujung utara ke selatan, akhirnya dia menumpahkan sesaknya. Dia menikah karena 'kecelakaan'. Sebuah raut stress yang berhasil membuat saya maklum mengapa dirinya selama beberapa tahun terakhir menjauh dari keramaian sosial media.

Si perempuan F sudah tak terhitung berapa kali menceritakan kisah cintanya. Di balik ledekan terhadap saya yang tak pernah sekalipun menunjukkan perempuan pengisi kekosongan hati, calon pendamping atau apa lah namanya, ternyata ada kisah yang lebih menyesakkan. Dia menjalin hubungan sekian tahun namun sampai sekarang belum jelas kapan akan melangsungkan pernikahan. Atas nama kesetiaan dia bertahan.

Kisah-kisah tersebut saya dengar langsung dari yang bersangkutan. Bukan mengada-ngada. Semua adalah teman-teman yang mungkin mereka menganggap saya cukup tenang menghadapi kegundahan. Ada juga yang terang-terangan menilai bahwa saya tak pernah 'bermasalah' dengan hati, jadi kesimpulan dan komentar saya masih murni tentang keseimbangan nalar serta naluri. Padahal? Haha setiap hati punya ceritanya sendiri.

Selain mereka ini, sebenarnya masih banyak cerita teman-teman lainnya yang nampak tertatih sebelum menyelesaikan 'permainan' dan berakhir di pelaminan. Intinya, sampai sekarang saya tidak menemukan cerita perjalanan yang mudah. Semuanya melewati proses panjang dengan sedih dan gembira. Masalah penerimaan, penyesalan dan pertimbangan membuat saya merenung sangat dalam tentang taqdir.

Di usia 25 tahun ini, di masa remaja yang sangat dinamis, saya merasakan betul betapa perasaan adalah permasalahan yang kompleks. Bahwa cinta adalah sesuatu yang harus diselesaikan, a problem to solve. Mau tak mau, semuanya harus dimulai sesegera mungkin, meski jujur kadang saya merasa bodoh karena tak tau dari mana harus dimulai. Loh kok malah curcol? Haha.

Saya berpikir, beruntung hanya sekali kita melakukan pilihan penting, menjalani proses menemukan taqdir. Menikah. Melakukan pendekatan, diplomasi hingga negosiasi. Andai kita juga disuruh memilih sendiri (dengan dimensi hidup yang direvisi) orang tua atau anak yang ingin dilahirkan, mungkin hidup hanya tentang kegalauan. Beruntung kita semua terlahir karena keputusan Tuhan tanpa dilibatkan untuk memilih sendiri, maka yang terjadi adalah menerima dengan sempurna. Kalaupun ada keluhan, kita mengeluh pada Tuhan, bukan menyesali pilihan. Indah bukan? Nyaris tanpa rasa dilema, tertekan, persiapan, dengan segala logika pertimbangannya seperti saat seseorang hendak menikah.

Lagi asik-asiknya merenung dengan posisi duduk di kursi bus antar kota, tiba-tiba satu pesan BBM masuk seperti petir, jeggeeer!!!

"Gimana kabar adikku?"

"Hahahahaha" saya menoleh kanan kiri setelah senyam senyum sendiri, teringat momen ketahuan memandangi adiknya terlalu lama. Oke, selesai ya intermezonya, hehe.

Kualitas Iman

Harus diakui bahwa kualitas iman seseorang itu ada tingkatannya. Tidak sama. Soal iman ini sangat krusial mewarnai catatan perjalanan seseorang.

Seorang teman yang ibadah dan pengetahuannya tentang agama lebih baik dari saya pernah menyimpulkan bahwa kita hanya butuh mempercayai Tuhan. Masalahnya adalah kita kadang tidak/kurang percaya.

Diapun mulai bercerita tentang gadget terbarunya. Ada rasa sangat ingin memiliki dan ganti gadget karena yang lama sudah dinilai kurang compatible.

"Saya bilang ke Paman yang kebetulan jual handphone, pesan satu. Kalau duitnya lengkap nanti diambil" ucapnya. Dia hanya pesan lewat telpon karena masih belum mudik. Uangnya dari mana? "Ya itu urusan Tuhan, terserah Dia."

Ceritanya, dia ini saat mengajar atau ngobrol dengan warga (dakwah), sama sekali tidak punya tarif. Karena dari pesantren sudah diberi uang transport dan konsumsi. Dikasih ya diterima, tidak diberi apa-apa ya memang sudah seharusnya begitu. Menjelang akhir Ramadhan dia sering mendapat amplop. Begitu hendak mudik, pun beberapa warga ikut memberi amplop. Spontanitas saja. Semua amplop ini dikumpulkan saja tanpa melihat isinya.

Ketika sudah mudik dan sampai di rumah, barulah dia buka satu persatu. Nominalnya fantastis. Setelah itu dia ke toko dan mau menawarkan gadget lamanya.

"Kamu tau berapa Hp lama saya ditawar? Merknya titik-titik" tanyanya menggantung "sama persis, pas, tidak kurang tidak lebih seribu pun jika ditambah uang yang ada dalam kantong saya waktu itu untuk membeli gadget baru pesanan saya." Saya pun tertawa surprise. Wow!

"Masalahnya itu kan iman, kepercayaan atau keyakinan kita pada Tuhan seperti apa? Kamu sering nggak percaya, atau katakanlah ragu doamu dikabulkan, ya to? Sama, aku juga gitu. Kemaren itu cuma praktek aja sebenernya, tapi ternyata benar"

"Kita itu sering berdoa tapi ngasih target, misal tahun ini, bulan depan, minggu depan. Tuhan kok dikasih target? Berdoa ya berdoa saja, cara dan jalannya bagaimana itu urusan Tuhan."

Menikah itu "Deal" Paling Rumit

Seperti yang saya bahas di awal, menikah memiliki tahap pendekatan, diplomasi dan negosiasi. Lumrahnya mertua menanyakan pekerjaannya apa, sekolah di mana, dan seterusnya. Sangat standar, dan pada banyak kejadian, ini menjadi hal yang tidak bisa dicari titik temunya.

Lelaki juga kadang berpikir rumah, kendaraan, pendapatan dan seterusnya. Boleh saja dan malah harus. Tapi kadang hal itu sangat mengganggu keimanan kita pada Tuhan. Ragu.

"Kalau kamu ragu, kan berarti ada masalah dengan keimananmu" sindir teman yang saya ceritakan soal kualitas iman.

Soal iman ini memang agak lucu. Sampai sekarang saat menuliskan ini, saya masih belajar memperbaiki iman ataupun keyakinan. Jadi kalau ada orang mencemooh saya sesat dan kafir, saya tidak marah. Karena mungkin yang mereka katakan itu memang benar. Introspeksi.

Saya kemudian menyimpulkan bahwa jika menikah adalah sesuatu yang harus dimulai dan diselesaikan, mungkin ini ada dua jalur yang bisa ditempuh.

Pertama, belajar dan memperbaiki iman. Berdoa saja dan setelahnya biar urusan Tuhan. Kita tetap menjalani aktifitas seperti biasa sampai ada tanda-tanda.

Kedua, kita mempersiapkan dan berhitung secara logis. Mencari, menargetkan. Sesekali berdoa meski ada rasa ragu.

Di akhir artikel sederhana ini pasti ada yang bertanya "lantas di mana fungsi ikhtiar?" Haha saya juga menanyakan hal ini ke teman saya saat dia bercerita soal handphone tadi.

"Ikhtiar harus. Melalui aktifitas harian itu. Yang lucu kan kita ikhtiar atau berusaha, tapi sudah berhitung duluan. Nanti gaji sekian, potong itu potong ini sisanya sekian. Berarti 5 bulan lagi bisa terbeli. Ini kok kesannya kita lebih pandai dari Tuhan. Kan bisa aja Tuhan kasih kamu sakit di bulan ke 4, habis semua gajimu. Mau apa? Haha."

Selain cerita A,B,C,D,E dan F, namanya deal ya kadang gagal, terpaksa, rugi dan ragu itu biasa. Namun saya yakin ada pasangan yang tiba-tiba menikah. Tanpa proses pacaran, pendekatan, negosiasi ataupun diplomasi. Entah itu di pihak lelaki, perempuan atau malah dua-duanya. Meski sepertinya sulit untuk menemukannya sekarang, tidak sebanyak kisah orang-orang tua yang sekarang sudah berusia 45+.  Mungkin zaman memang sudah merubah banyak hal, termasuk iman.

Mengutip kata mertuanya teman "iyalah, sekarang pulsa udah jadi kebutuhan" hehehe. Mama minta pulsa, ga nyambung blas endingnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun