Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi, Ketika Beda Sama dengan Salah

14 Juli 2015   14:07 Diperbarui: 14 Juli 2015   14:14 5174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden Jokowi sering membuat heran banyak orang. Sebagian menganggap bahwa beliau tidak pantas menjadi Presiden. Fadli Zon sudah secara terbuka mencaci pemerintah dengan dua istilah, sirkus dan warung kopi.

Saya sangat setuju bahwa memang tidak biasa rakyat sipil dan bukan pimpinan partai bisa menjadi Presiden di republik ini. Kurus, tidak ganteng, ndeso, dan logat kental. Semua kriteria ini jauh di luar persepsi masyarakat tentang pejabat yang biasanya gagah atau setidaknya gemuk dan logatnya nasional. Namun semua faktor tersebut pasti enggan dipermasalahkan karena secara otomatis menunjukkan rendahnya kualitas berpikir seseorang.

Ada kriteria sangat berbeda dan ketara yang tidak biasa dilakukan oleh Presiden RI. Berikut ini beberapa hal yang sering menjadi titik kritik yang digunakan untuk membodoh-bodohi masyarakat.

1. Tidak merencanakan secara matang. Semua orang tau bahwa Jokowi dalah tipe Presiden yang sangat responsif. Dari begitu banyak agenda kepresidenan, beliau masih punya waktu untuk mendengar suara rakyat dan meresponnya dalam sebuah kebijakan.

Pengungsi Sinabung dan korban lumpur Lapindo yang terlantar sejak zaman SBY langsung mendapat respon dari Jokowi. Grasi tahanan Papua juga langsung diberikan. Terpidana narkoba yang dibiarkan tanpa kejelasan dan menumpuk tanpa respon pada zaman SBY juga langsung dijawab oleh Jokowi.

'Penyakit' tidak merencanakan secara matang ini pun sempat mendapat point negatif. Contoh saja saat BBM langsung dinaikkan dan diturunkan tanpa persetujuan DPR. Perpres anggaran kendaraan yang kemudian ditarik kembali dan JHT yang minta direvisi dalam hitungan hari. SBY pun pernah mencabut perpres berobat gratis pejabat, namun karena DPR dikuasai pemeritah, semua sepakat bungkam dan rakyat hanya fokus menuntut, bukan mencaci dan mengatakan tidak pantas seperti sekarang. Kalau sekarang pimpinan DPR sendiri yang secara tersirat mengatakan bahwa Jokowi tidak pantas menjadi Presiden (pemerintahan warung kopi).

2. Tidak politis. Dosa selanjutnya adalah Jokowi menjawab tanpa perencanaan. Apa yang ada di pikirannya saat itu, itulah yang dijadikan jawaban pada insan pers. Jadilah jawaban apa adanya "saya tidak baca Perpres yang itu" membuat media sosial riuh.

Salahnya lagi, Jokowi tidak seperti mantan Presiden sebelumnya yang tidak mau diwawancarai langsung oleh wartawan. Di manapun Jokowi berada, beliau selalu mau menjawab apapun pertanyaan wartawan, termasuk pertanyaan tidak penting seperti "sudah makan belum Pak?" Tapi nilai positifnya beliau begitu dekat dengan wartawan yang juga rakyatnya.

Sekilas ini agak mengkhawatirkan. Para pengamat menganggap hal seperti ini tidak perlu terjadi dan Presiden tidak boleh salah lagi. Tapi begitulah Jokowi, saat saya diundang ke istana, beliau bercerita bahwa memang kenyataanya tidak semua berkas dibaca oleh Presiden. Sebab ada banyak sekali berkas, kalau harus dibaca semua maka beliau hanya akan duduk di kantor sepanjang hari membaca berkas dan menandatanganinya.

Jawaban spontanitas dan tanpa kemasan itu memang sangat-sangat tidak biasa. Jika dibandingkan dengan Presiden sebelumnya, saya sangat setuju ini adalah kesalahan. Namun saya lebih bangga memiliki Presiden yang mau spontan menjawab, tidak seperti Pak Mantan yang 'batal' datang ke Kick Andy karena beliau tidak mendapat bocoran pertanyaan yang akan diajukan. Atau tanyakan saja pada Pak Mantan, saat beliau mencabut perpres berobat gratis pejabat, saya yakin beliau juga tidak baca. Tapi apakah beliau jujur? NO. Tentu saja itu momentum untuk meningkarkan elektabilitasnya dan menjawab "saya mendengar suara rakyat."

3. Rendahnya penyerapan anggaran. Ini adalah dosa paling mudah diterima logika rakyat sebagai kesalahan fatal. Jika jawaban spontanitas dan tanpa perencanaan masih sangat bisa diampuni atau bahkan diapresiasi, namun tidak untuk masalah rendahnya penyerapan anggaran. Hal ini bisa digunakan sebagai senjata oleh para elit untuk menemukan pembenaran bahwa Jokowi lemah dalam kepemimpinan, gagal, tidak bekerja maksimal dan sebagainya

Permasalahan penyerapan anggaran sudah menjadi masalah pribadi Jokowi sejak dulu. Juga terjadi pada Ahok yang ditinggalkannya sebagai gubernur Jakarta.

Saat menjabat sebagai gubernur, Jokowi-Ahok hanya mampu menyerap anggaran sebesar 30%. Sementara sekarang saat menjadi Presiden, pemerintah hanya menyerap di bawah 40% dari APBN. Jelas saja ini sebuah kegagalan karena seharusnya pemerintah mampu menyerap sebanyak mungkin demi perubahan dan perbaikan dalam rangka mensejahterakan rakyat.

Namun kita juga patut berpikir, jika serapan anggaran APBD Jakarta hanya 30% mengapa bisa terjadi banyak perubahan? Banyak waduk disulap sedemikan rupa, perumahan yang layak dan transportasi massal yang sudah berevolusi. Sebuah perubahan besar yang tidak kita lihat pada kepemimpinan Foke.

Pilihannya menjadi menarik, kita mau penyerapan 100% tapi minim pembangunan infrastruktur dan perbaikan atau penyerapan di bawah 50% tapi banyak perubahan? Silahkan dijawab sendiri.

Ahok pun saat ini tertular virus rendahnya penyerapan anggaran. Dalam beberapa talkshow beliau sering mendapat pertanyaan soal rendahnya penyerapan anggaran.

"Logikanya gini, anda punya uang, apa harus habis semua? Kursi, lemari, televisi yang masih bagus diganti. Dibuang. Kita beli lagi yang baru. Beli yang paling mahal supaya duit kita habis. Anda mau yang seperti itu? Ya kalau kita masih tersisa banyak ya bagus dong. Kalau saya sih senang. Saya simpan. Pertanyaanya, kita ini fokus pada menyerap anggaran atau memperbaiki dan meningkatkan fasilitas serta kesejahteraan publik? Coba saya tanya!" Begitu kira-kira ucapan Ahok saat ditanya oleh Najwa Sihab tahun lalu.

Jokowi dan Ahok adalah pemimpin yang sangat berbeda dengan pemimpin sebelumnya. Sikapnya yang seperti itu harus menghadapi kritik dan suara sumbang dari politisi dan elit yang tidak bisa lagi bermain proyek. Rakyat akan dengan mudahnya menerima bahwa rendahnya penyerapan anggaran merupakan salah satu faktor kegagalan. Padahal kenyataanya tidak sesederhana itu.

4. Blusukan. Mayoritas rakyat Indonesia sudah memiliki persepsi bahwa blusukan adalah pencitraan. Blusukan biasanya dilakukan saat masa kampanye atau saat pejabat ingin kembali bertanding pada periode selanjutnya.

Begitu Jokowi tampil sebagai pemimpin yang sering blusukan dan menyapa rakyat, orang menganggap bahwa itupun pencitraan. Saat menjadi gubernur DKI, Jokowi aktif blusukan ke berbagai tempat. Setelah menjadi Presiden pun beliau masih sering blusukan.

Dari 4 point tidak biasa inilah kemudian Jokowi dinilai salah dan tidak pantas menjadi Presiden. Padahal jika kita mau sedikit saja berpikir, saya yakin kita sepakat bahwa seperti inilah sosok Presiden yang benar.

Betul bahwa pemerintah tidak merencanakan secara matang, tapi rakyat sudah lama menunggu dan hanya diberi perencanaan. Kita sepakat bahwa Presiden harus tegas dan zero mistake, tapi kita tau tidak akan ada Presiden yang seperti itu. Kalaupun ada, itu pasti karena beliau mampu menutupi kesalahan dengan bahasa politis dan diplomatis. Lalu kita baru akan sadar bahwa ada banyak kesalahan setelah Presiden tersebut menjadi mantan. Contoh: SBY. 

Saya setuju bahwa rendahnya penyerapan anggaran adalah kesalahan. Tapi coba lihat pemeritahan SBY, serapan tinggi namun minim perubahan, tentu sangat logis kalau kemudian banyak menterinya terjerat korupsi. Jadi kalau masih menggunakan faktor penyerapan anggaran sebagai alat untuk menyerang pemerintahan, saya rasa mereka adalah politisi yang sedang bekerja (menebar propaganda) atau kalangan elit yang selama ini makmur dari proyek intangible yang 'sukses' menyerap anggaran.

Sementara soal blusukan, saya sepakat bahwa apa yang dilakukan Jokowi cukup mengkhawatirkan. Paspampres sering dibuat kewalahan karena Presiden ke tujuh ini mengunjungi tempat-tempat di luar rencana dan tempat yang sudah steril. Tapi kalau hanya blusukan sesuai tempat yang sudah disediakan, ada kemungkinan tempat tersebut sudah diatur atau diskenariokan. Mungkin inilah mengapa SBY tidak pernah memberi respon pada korban lumpur Lapindo dan pengungsi Sinabung. Karena beliau mengira mereka baik-baik saja.

Kalau blusukan dikategorikan sebagai pencitraan. Bagaimana dengan blusukan sepanjang tahun? Masih disebut pencitraan? Ya tidak masalah. Saya secara pribadi sangat yakin bahwa rakyat Indonesia tidak bodoh-bodoh amat dalam menilai mana yang pencitraan dan mana yang memang ingin mengerti kondisi rakyatnya. 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun