Permasalahan penyerapan anggaran sudah menjadi masalah pribadi Jokowi sejak dulu. Juga terjadi pada Ahok yang ditinggalkannya sebagai gubernur Jakarta.
Saat menjabat sebagai gubernur, Jokowi-Ahok hanya mampu menyerap anggaran sebesar 30%. Sementara sekarang saat menjadi Presiden, pemerintah hanya menyerap di bawah 40% dari APBN. Jelas saja ini sebuah kegagalan karena seharusnya pemerintah mampu menyerap sebanyak mungkin demi perubahan dan perbaikan dalam rangka mensejahterakan rakyat.
Namun kita juga patut berpikir, jika serapan anggaran APBD Jakarta hanya 30% mengapa bisa terjadi banyak perubahan? Banyak waduk disulap sedemikan rupa, perumahan yang layak dan transportasi massal yang sudah berevolusi. Sebuah perubahan besar yang tidak kita lihat pada kepemimpinan Foke.
Pilihannya menjadi menarik, kita mau penyerapan 100% tapi minim pembangunan infrastruktur dan perbaikan atau penyerapan di bawah 50% tapi banyak perubahan? Silahkan dijawab sendiri.
Ahok pun saat ini tertular virus rendahnya penyerapan anggaran. Dalam beberapa talkshow beliau sering mendapat pertanyaan soal rendahnya penyerapan anggaran.
"Logikanya gini, anda punya uang, apa harus habis semua? Kursi, lemari, televisi yang masih bagus diganti. Dibuang. Kita beli lagi yang baru. Beli yang paling mahal supaya duit kita habis. Anda mau yang seperti itu? Ya kalau kita masih tersisa banyak ya bagus dong. Kalau saya sih senang. Saya simpan. Pertanyaanya, kita ini fokus pada menyerap anggaran atau memperbaiki dan meningkatkan fasilitas serta kesejahteraan publik? Coba saya tanya!" Begitu kira-kira ucapan Ahok saat ditanya oleh Najwa Sihab tahun lalu.
Jokowi dan Ahok adalah pemimpin yang sangat berbeda dengan pemimpin sebelumnya. Sikapnya yang seperti itu harus menghadapi kritik dan suara sumbang dari politisi dan elit yang tidak bisa lagi bermain proyek. Rakyat akan dengan mudahnya menerima bahwa rendahnya penyerapan anggaran merupakan salah satu faktor kegagalan. Padahal kenyataanya tidak sesederhana itu.
4. Blusukan. Mayoritas rakyat Indonesia sudah memiliki persepsi bahwa blusukan adalah pencitraan. Blusukan biasanya dilakukan saat masa kampanye atau saat pejabat ingin kembali bertanding pada periode selanjutnya.
Begitu Jokowi tampil sebagai pemimpin yang sering blusukan dan menyapa rakyat, orang menganggap bahwa itupun pencitraan. Saat menjadi gubernur DKI, Jokowi aktif blusukan ke berbagai tempat. Setelah menjadi Presiden pun beliau masih sering blusukan.
Dari 4 point tidak biasa inilah kemudian Jokowi dinilai salah dan tidak pantas menjadi Presiden. Padahal jika kita mau sedikit saja berpikir, saya yakin kita sepakat bahwa seperti inilah sosok Presiden yang benar.
Betul bahwa pemerintah tidak merencanakan secara matang, tapi rakyat sudah lama menunggu dan hanya diberi perencanaan. Kita sepakat bahwa Presiden harus tegas dan zero mistake, tapi kita tau tidak akan ada Presiden yang seperti itu. Kalaupun ada, itu pasti karena beliau mampu menutupi kesalahan dengan bahasa politis dan diplomatis. Lalu kita baru akan sadar bahwa ada banyak kesalahan setelah Presiden tersebut menjadi mantan. Contoh: SBY.Â