Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar dari China, Singapura, dan Malaysia

3 Oktober 2014   16:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:32 1081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kursus pra nikah juga ada di Singapura dengan program yang hampir sama. Namun bedanya, di Singapura pasangan datang secara bersamaan. Sementara di Malaysia sudah menjadi mata kuliah wajib sebagai syarat kelulusan, sehingga banyak pasangan yang sudah mengantongi surat izin menikah setelah lulus.

2. Usia minimal perempuan untuk menikah

Pada tahun 2000 sudah ditetapkan usia minimal pernikahan pertama bagi perempuan adalah 25.1 tahun. Sebelumnya sejak tahun 1980 usia minimalnya adalah 23.5 tahun.

Hal ini juga secara tidak langsung memperlambat angka pertumbuhan penduduk, sebelum pemerintah siap menampung 70 juta jiwa pada tahun 2100 dengan segala fasilitas dan sarana yang memadai.

Meski begitu, pemerintah tidak menjelaskan bahwa ini guna menahan lonjakan pertambahan penduduk agar masyarakat tetap tenang dan bisa memilih untuk memiliki anak berapapun yang mereka mau. Strategi inilah yang saya rasa dimaksud oleh Mahatir sebagai kontrol dan rekayasa pertumbuhan penduduk secara sederhana dan alami. Karena meskipun ada kewajiban kursus menikah serta batasan minimal usia pernikahan pertama pada perempuan adalah 25.1 tahun, pemerintah tetap memberi bonus bagi keluarga yang memiliki 5 anak dan bagi pasangan yang menikah muda (25 tahunan).

Indonesia tentu tidak bisa meniru China dan Singapura yang sangat otoriter kepada rakyatnya. Rasanya, tidak akan ada undang-undang seperti itu yang akan dikeluarkan oleh DPR karena berpotensi menimbulkan perlawanan. Lagipula China dan Singapura terbukti bermasalah setelah menerapkan kebijakan membatasi jumlah anak pada satu keluarga.

Melihat kesuksesan Malaysia yang secara tidak langsung menahan laju pertumbuhan penduduk tanpa larangan atau slogan-slogan kampanye, rasanya ini bisa juga diterapkan di Indonesia.

Kalaupun BKKBN 'terlanjur' mengkampanyekan "Dua anak cukup", rasanya hal tersebut bisa diteruskan mengingat jumlah rakyat Indonesia jauh lebih banyak dari Malaysia, sehingga pengelolaanya pun sangat rumit. Lagi pula kampanye ini hanya akan menyentuh sebagian masyarakat, sementara sebagianya lagi akan memilih memiliki anak sebanyak mereka mau. Jadi kemungkinan sirkulasi dan pertumbuhan penduduk bisa berkembang secara alami melalui cara ini, sebagai pengganti dari penetapan usia minimal pernikahan pertama perempuan seperti yang dilakukan oleh Malaysia. Atau bisa juga menerapkan undang-undang yang sama, selain untuk memperlambat pertumbuhan juga guna meminimalisir kecelakaan kehamilan jika si perempuan belum cukup matang.

Selanjutnya, untuk sertifikat wajib sebagai syarat sah menikah resmi di Indonesia rasanya akan membebankan masyarakat yang masih berpendapatan rendah, jika biaya yang dikenakan cukup mahal. Untuk itu, mata kuliah kursus pernikahan di tingkat universitas sepertinya perlu ada. Dan bagi masyarakat yang tidak kuliah, tetap wajib mengikuti kursus pernikahan. Bisa dengan ceramah atau kuliah singkat sebelum kedua pasangan resmi menjadi suami istri, tentunya dengan biaya yang terjangkau atau gratis. Dengan ini diharapkan akan lahir keluarga yang lebih berkualitas, berapapun jumlah anaknya.

Terlepas dari angka-angka jumlah penduduk, pemerintah seharusnya lebih memperhitungkan sarana prasarana pendukung untuk menampung jutaan rakyatnya. Karena bagaimanapun, jumlah penduduk yang besar = pasar yang potensial. Jika kita bisa menekan barang dan kuantitas impor, maka sebenarnya negara sangat diuntungkan.

Malaysia sendiri sedang bersiap menyambut 70 juta warganya. Saat ini mereka sedang berhitung kebutuhan masyarakat, melalukan pembangunan infrastruktur besar-besaran, namun tetap menjaga dan memfasilitasi petani serta nelayan guna meminimalisir jumlah impor kebutuhan pokok masyarakat. Mereka juga terus berinovasi di bidang tekhnologi. Proton sebagai perusahaan mobil nasional terus berkembang pesat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun