Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar dari China, Singapura, dan Malaysia

3 Oktober 2014   16:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:32 1081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perdana Mentri Mahati Muhammad menyampaikan gagasanya pada forum UMNO (nama partai pemerintah sampai saat ini) pada tahun 1982. Beliau justru berpendapat bahwa Malaysia akan mencapai puncak kejayaan pada angka penduduk 70 juta. Target tersebut diprediksi akan dicapai dalam kurun waktu lebih dari 100 tahun.

Beliau berpendapat bahwa jumlah penduduk di Malaysia sangatlah kecil, mengingat luas wilayah mereka adalah 334,000 Km sementara penduduknya pada saat itu berada pada kisaran 15 juta jiwa. Dibandingkan dengan negara tetangganya yakni Thailand, dengan luas wilayah 514,000 Km memiliki jumlah penduduk 50 juta jiwa.

Meski begitu, Mahathir tidak serta merta langsung mengkampanyekan secara massif agar masyarakat 'memproduksi' anak lebih banyak dari sebelumnya. Tak ada slogan stop dua anak, atau tiga anak lebih baik seperti yang dilakukan oleh Singapura. Beliau lebih terfokus pada sumberdaya dan sarana yang dibutuhkan guna menjawab pertambahan penduduk.

Pemerintah melalui JKK (Jumlah Kadar Kesuburan) kemudian membuat beberapa prediksi serta paket yang harus dilaksanakan berdasarkan persentase pertumbuhan. Mereka memperhitungkan jika pertumbuhan penduduk mencapai 4%, maka 70 juta jiwa akan dicapai pada tahun 2045. Perhitungan ini dibuat bertingkat, berikut konsekuensi yang harus diterima oleh Malaysia.

Untuk itu, pemerintah berhitung tentang sumber daya yang dibutuhkan agar pertumbuhan penduduk tidak menjadi bencana. Maka dari itu pemerintah mempertimbangkan ketersediaan makanan, perumahan, pekerjaan, kesehatan, air serta penggunaan tenaga minyak dan gas.

Meskipun tidak ada larangan batasan memiliki anak, namun pemerintah secara tidak langsung sudah memiliki megaplan untuk merekayasa secara alami dan bertahap agar pertumbuhan penduduk menjadi searah dengan prediksi dan antisipasi pemerintah.

Setidaknya ada dua rekayasa yang saya ketahui sejak berada di Malaysia (2009-2013), yaitu:

1. Kursus pernikahan

Kursus pernikahan ini menjadi kewajiban bagi setiap pasangan sebelum menikah. Dibuktikan dengan adanya sertifikat. Kursus ini menjadi mata kuliah kategori wajib negara pada setiap universitas yang ada, selama satu semester. Biasanya mata kuliah ini ada pada ujung semester saat calon sarjana atau diploma dimungkinkan untuk menikah pasca kelulusanya.

Bagi yang tidak kuliah, bisa mengambil kursus di luar universitas yang diadakan oleh JAWI (Jabatan Agama Islam Wilayah Persekutuan) yang nantinya sertifikat tersebut sama persis seperti yang didapat di universitas, dikeluarkan oleh JAKIM (Jabatan Agama Kemajuan Islam Malaysia).

Dalam kursus ini tentunya akan ada banyak arahan dan pelajaran untuk membina keluarga yang berkualitas, dengan harapan nantinya output mereka benar-benar memberikan kontribusi kepada negara. Biaya yang lumayan mahal dan program kursus yang cukup panjang bisa menjadi alasan seseorang menunda untuk menikah. Dan kalaupun sudah memiliki sertifikat, maka kemungkinan memiliki kesadaran dan pengetahuan seputar keluarga serta regenerasi berkualitas bisa menjadi lebih baik ketimbang tidak sama sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun