Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Republik Persepsi

17 Februari 2015   23:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:00 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Diakui atau tidak, disadari atau tidak, sebenarnya kita ini bagian dari Republik persepsi. Masih ingat dengan Antasari? Berapa banyak diantara kita yang masih yakin bahwa Antasari tidak bersalah dan hanya menjadi korban dari skenario politik? Saya yakin banyak sekali.

Masih ingat dengan Lutfi Hasan Ishaq? Coba tanya pada kader PKS, apakah mereka mengakui LHI bersalah? Tidak. Mayoritas mereka akan mengatakan bahwa LHI tidak bersalah dan hanyalah korban konspirasi politik.

Baik Antasari dan LHI sama-sama memiliki persepsi baik di mata pendukungnya. Tak peduli hakim sudah mengetok palu, para pendukung tetap akan berdiri di atas seribu satu alasan bahwa yang didukungnya tidak bersalah. Mengatakan hakim tidak adil, hukum bisa dibeli dan sebagainya.

Mungkin sulit untuk menemukan orang yang kontra dengan Antasari (dalam arti menerima dengan sempurna bahwa beliau bersalah), karena persepsi publik tentang antasari sebagai ketua KPK pada saat itu terlanjur baik.

Kondisinya berbeda dengan LHI, tidak susah menemukan orang yang bahagia dengan penangkapan LHI. Karena persepsi publik (di luar kader partai) juga sudah terbentuk.

Pertama, PKS merupakan partai yang mendeklarsikan diri sebagai partai islam dan masyarakat tidak suka. Kedua, masyarakat sangat geram dan sensitif dengan label koruptor. Maka ketika LHI divonis sangat berat oleh hakim, hanya kader PKS lah yang marah dan tidak terima.

Setelah Antasari dan LHI, kini giliran Abraham Samad (AS) dan Budi Gunawan (BG). Di mata mayoritas masyarakat, citra KPK sangat baik. Ini berbanding terbalik dengan POLRI yang memiliki kesan sangat menyebalkan. Maklum, polisi jumlahnya sangat banyak dan tersebar di seluruh pelosok negeri. Polisi langsung bersentuhan dengan masyarakat, sementara KPK hanya menindak para elit. Jadi jika masyarakat tidak suka dengan polisi dan sangat mengagumi KPK, wajar.

Tensi politik meninggi saat KPK secara mengejutkan menetapkan BG sebagai tersangka kasus korupsi. Padahal Presiden baru beberapa hari sebelumnya mengajukan nama BG ke DPR. Mungkin saya tak perlu lagi menjelaskan kronologisnya, mari segera beralih pada persepsi.

BG berhasil memenangkan praperadilan dan hakim menyatakan sprindik KPK terkait BG tidak sah. Tentu saja hasil ini membuat mayoritas masyarakat kecewa. Dari opini cerdas hingga kecaman preman kampung dialamatkan kepada siapa saja yang mereka inginkan.

Saya melihatnya persis seperti kader PKS yang mencak-mencak karena ketua umum partainya dinyatakan bersalah. Tak main-main, Tuhan, kitab suci dan sejarah kenabian dijadikan motivasi dan alasan membela, setidaknya pembelaan untuk kalangan internal partai. Tidak penting bagaimana kecaman masyarakat dikemas, saya yakin pembaca sekalian sudah pernah melihat teman-teman di sosial media menuliskan tentang ini.

Sebaliknya, Abraham Samad ditetapkan sebagai tersangka karena kasus pemalsuan dokumen. Feriani Lim membuat paspor melalui bantuan AS dengan memasukkan namanya ke KK AS. Sekalipun ini adalah kesalahan klasik dan 'lumrah' dilakukan oleh banyak orang, namun valuenya berbeda karena AS adalah ketua KPK saat ini. Hukum tetap hukum. Langkah AS semakin berat karena kasusnya dengan Hasto PDIP belum selesai.

Di sinilah persepsi memainkan perannya. Masyarakat yang terlanjur tidak suka dengan Polri kini mengutuk hukum dan hakim di negeri ini. Tidak peduli Abraham Samad nyata-nyata bersalah secara kode etik dan sudah diakui oleh Thahjo Kumolo, Andi Widjajanto dan pemilik apartemen saat ketiganya dihadirkan di gedung DPR. Seolah inilah kemenangan koruptor. Sama seperti PKS yang mengklaim partai mereka sedang dijatuhkan dan islam di Indonesia dirusak saat LHI dipenjara. Padahal AS dan LHI terkena kasus secara personal, bukan institusi.

Skenario atau Konspirasi

Tidak bisa dipungkiri bahwa ada semacam skenario. Semuanya bisa saja terjadi pada Antasari, LHI, Abraham Samad, Budi Gunawan dan pimpinan serta penyidik KPK. Tergantung dari mana kita melihatnya, dan di persepsi apa kita berdiri saat ini.

Antasari bisa mengklaim ada skenario yang menjebaknya, begitu juga dengan LHI. Abraham Samad dan pimpinan KPK bisa mengklaim ada skenario perlemahan KPK, semetara BG juga bisa mengklaim ada skenario emosi yang dimainkan oleh AS untuk menjeratnya sebagai tersangka. Jika ada orang yang menganggap Polisi mengungkit atau mencari-cari alasan, pasti ada juga yang menganggap KPK bermain licik dengan menetapkan BG sebagai tersangka saat namanya sudah masuk ke DPR.

Dalam kondisi seperti ini, saya jadi teringat dengan salah satu menteri di era SBY yang sempat ngopi dan ngorol santai di Kuala Lumpur. Di kesempatan terpisah saya juga sempat ngobrol dengan anggota DPR periode 2009-2014. Keduanya sepakat, bahwa dalam politik semuanya sah, termasuk penjebakan. Hukum tidak peduli apakah itu penjebakan atau tidak, karena saat kita melakukan pelanggaran, itu tetap pelanggaran dan harus dihukum. Ibarat sedang memancing ikan, jangan salahkan pemancingnya, salahkan saja ikan yang memakain kailnya. Pada bahasan ekstra, kalau ada kasus besar yang tidak diusut, bisa jadi karena ikan yang ingin ditangkap ukuranya lebih besar dari perahu KPK (saat itu kami tertawa terbahak-bahak).

Kail dalam politik nasional bisa berupa perempuan atau uang. Jika saya dalam posisi tertentu dan disodori perempuan atau uang, lalu saya menyerah dan memilih menikmatinya, saya bisa dituduh menerima gratifikasi. Tak peduli apakah itu jebakan atau skenario, karena point pentingnya adalah menerima gratifikasi.

Nah, dari cerita singkat ini saya rasa kita semua bisa mengerti. Terlepas ada tidaknya skenario yang dilancarkan kepada Antasari, Abraham Samad, LHI ataupun BG, itu menjadi tidak penting lagi di mata hukum. Salah ya salah.

Jelas tidak lucu jika kemudian hukum dilawan dengan persepsi. Tapi harus diakui, inilah yang sedang terjadi. Dari akar rumput hingga para pakar kini sedang terbelah menjadi dua kubu yang tidak seimbang. Sekali lagi, atas nama persepsi, kubu yang mendukung dan menghormati hukum akan dianggap pendukung koruptor.

Terserah seberapa kuat opinimu, sebarapa bagus pondasi idealismemu, tidak relevan jika hukum dilawan dengan persepsi. Ini sama seperti opini yang dilawan dengan polisi atau caci maki. Hanya orang yang tidak mampu beropinilah yang kemudian menggunakan jalur hukum atas alasan pencemaran nama baik atau menyerang pribadi penulisnya.

Jika ini tentang hukum, mari dilawan dengan hukum, sekalipun ada motivasi dari persepsi yang sudah terlanjur terbentuk. Misalnya: tidak ingin BG dilantik karena memiliki rekening gendut atau koruptor (meski ini belum bisa dibuktikan di sisi hukum), ingin Antasari dan LHI dibebaskan atau ingin Abraham Samad dilepas.

Lupakan sejenak nama lain, karena yang paling kita inginkan adalah pembatalan pelantikan BG dan agar BG dipenjara. Caranya adalah KPK harus memenangkan di pengadilan sesuai jalur hukum dan menemukan bukti-bukti tak terbantahkan untuk memenjarakan BG. KPK harus berhenti membangun persepsi publik dan menggalang dukungan, karena selain tidak ada gunanya, ini berpotensi menimbulkan pergesekan di kalangan masyarakat.

Namun karena praperadilan sudah dimenangkan BG, saat ini kubu BG mengklaim "jika kasus BG dilanjutkan, pimpinan KPK akan ditangkap karena melanggar hukun." Hal ini benar, namun perlu diluruskan bahwa BG tetap bisa ditangkap oleh KPK dengan sprindik baru, bukan sprindik yang sudah dinyatakan tidak sah oleh hakim.

Dengan hasil ini para pendukung BG juga mengklaim bahwa tidak ada alasan bagi presiden untuk tidak melantiknya. Secara logika ini bisa diterima, karena alasan Presiden menunda pelantikan adalah karena BG ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Namun dari sisi hukum tentu saja Presiden memiliki kewenangan untuk membatalkan, terlepas menang tidaknya BG di praperadilan. Jikapun saat ini BG secara otomatis tidak lagi menyandang status tersangka, Presiden tetap bisa mengajukan pembatalan yang kemudian diajukan pada DPR untuk disidangkan. Bagi yang mengerti undang-undang, saya rasa anda bisa bantu saya untuk sebutkan pasal-pasalnya.

Bagaimanapun komunikasi politik Presiden sudah dilancarkan sejak beliau bertemu pimpinan KMP Prabowo yang mendukung penuh apapun keputusan Presiden terkait BG. Bahkan KMP siap pasang badan jika nantinya Presiden diganggu oleh parpol yang mendukungnya, KIH. Namun ini politik, pasti ada harga yang harus dibayar. Yang tau hanya orang di ring satu.

Sekarang kita tunggu saja kelanjutanya, karena apapun keputusan Presiden (melantik atau tidak melantik BG) tidak bisa diganggu gugat oleh pihak manapun. Meski menurut pengamatan saya, sebenarnya Presiden sudah menjawabnya secara tebuka "ada yang perlu dipertimbangkan. Pada saatnya pasti akan kita putuskan". Soal apa yang sedang dipertimbangkan? Memang tak semuanya bisa diungkap. Biarlah waktu yang menjelaskan. Jika tidak melantik, berarti komunikasi dengan Prabowo dan sinyal pindah ke istana bogor berjalan mulus. Jika tetap dilantik, berarti negosiasi Presiden sudah gagal dan melantik BG adalah alasan terlogis untuk meminimalisir kekacauan rencana pemerintah. Ada juga yang mengaitkanya dengan APBN-P, secara logika ini bisa diterima. Kita tunggu saja. Meski menurut saya, Presiden sudah berusaha maksimal dan apapun keputusanya nanti, saya yakin sudah karena pertimbangan yang matang.

Saya tidak ingin terjebak dengan persepsi. Begitu juga persepsi yang berlandaskan asumsi masa lalu (Megawati), seolah apapun keputusan Presiden karena alasan Mega. Jika Presiden ketujuh ini benar-benar boneka, berarti penenggelaman kapal dam penolakan grasi juga karena perintah Mega? Hehe. Saya lebih suka melihat fakta di masa kini, selanjutnya pembaca bisa menilai saya sesuka hati. Saya oke oke saja.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun