Mohon tunggu...
Roeslan Hasyim
Roeslan Hasyim Mohon Tunggu... Editor - Cerpen Mingguan

Penyiar Radio Mahardhika Bondowoso, Pengajar Prodi PSPTV dan Perfilman SMKN 1 Bondowoso

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menempuh Jalan Sunyi

13 April 2021   13:57 Diperbarui: 13 April 2021   14:05 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
wallpaperbetter.com

"Bapak, mohon untuk tidak masuk ke rumah saya ya. Cukup di luar teras, atau kalau bapak tidak keberatan, silahkan bapak di luar pagar saja. Ada gazebo yang disiapkan untuk orang yang biasa singgah sementara. Untuk masalah makan minum, tenang saja, saya yang tanggung setiap hari, selama bapak masih disini." seruku pada seorang bapak dengan wajah keriput, rambut berwarna putih, sebagian abu-abu, mungkin mengalami degradasi warna dari warna hitam ke putih akibat termakan usia.

"Baiklah Nak. Bapak di Gezebo saja. Lalu, kalau ambil wudhu dimana ya Nak?" tanya bapak tua itu dengan sopan.

"Bapak bisa mengambil wudhu di kamar mandi umum, di sebelah gazebo itu, kamar mandi yang dibuat oleh warga. Supaya ketika dalam kondisi darurat, orang-orang bisa memanfaatkannya dengan baik, termasuk untuk mandi dan wudhu. Karena warga disini, sesekali suka sholat di gazebo itu. Atau bapak bisa mengambil wudhu di kamar mandi Masjid, tak jauh dari sini kok pak. Oy, nama bapak siapa ya?"

"Saya teman seperjuangan pak Moel." sahutnya tanpa menyebutkan nama.

*

Ada alasan yang sangat mendasar mengapa aku dan warga sekitar tempat aku tinggal tidak berani menerima pak Moel sebagai tamu semestinya yang bisa masuk rumah, kemudian dijamu sebaik mungkin, sesuai dengan ajaran agama yang aku yakini.

Santer terdengar kabar dari desa tetangga bahwa pak Moel adalah sosok yang aneh dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Ada yang menyebutnya sakti madraguna, ada yang menyebutnya dengan sebutan 'orang gila', ada juga yang mengatakan bahwa pak Moel sedang zabab, sebuah istilah yang mengartikan bahwa seseorang sedang mengalami proses penyatuan diri dengan Tuhan dan hanya dipahami oleh segelintir orang.

Namun, bukan karena sebutan tersebut yang membuat banyak orang takut. Tapi karena siapapun yang didatangi pak Moel, entah dalam hitungan hari, sudah pasti salah satu anggota keluarganya akan mati.

Tentu kabar tersebut menjadi kabar yang menyeramkan bagi sebagian orang, bahkan sangat menakutkan bagi mereka yang memiliki anggota keluarga yang sakit. Sudah pasti & sangat jelas, jika didatangi pak Moel, kematianpun juga datang menghampiri. Ya semacam malaikat maut, meskipun tak seorang pun yang berani mengatakan bahwa pak Moel adalah malaikat maut atau jelmaannya.

Kematian terakhir, terjadi tak jauh dari rumahku. Kalau tidak salah, hampir 9 hari yang lalu. Karena aku masih ingat, hari terakhir, malam tahlilan yakni malam ke 7, pak Moel juga ikut serta mendoakan kematian orang yang dia kunjungi setelah hampir dua minggu pak Moel tidur di teras rumah tetanggaku itu. Namun, tanpa alasan yang pasti, setelah selesai malam ke tujuh tahlilan, pak Moel hilang begitu saja. Meskipun sebenarnya banyak warga bertanya-tanya perihal keberadaan pak Moel, tapi semua warga merasa sangat senang dan berharap bahwa pak Moel tidak kembali lagi.

**

Dua minggu sejak pak Moel tak terdengar kabarnya, aku dikagetkan dengan suara dengkur seseorang tertidur pulas di teras rumah ketika adzan subuh sedang berkumandang.

"Bapak, Pak...Bapak...Pak, maaf mengganggu. Sekarang sudah subuh pak, mungkin bapak mau sholat terlebih dahulu." Aku memegang pundaknya dan sedikit memberikan guncangan agar bapak yang tidur di teras tanpa ijin ini, bisa bangun dan meninggalkan rumahku.

"Owh iya. Maaf ya Nak. Bapak numpang tidur tanpa permisi terlebih dahulu. Maklumi saja ya Nak, bapak baru dari perjalanan jauh, kelelahan dan terpaksa tidur di teras ini."

"Baik bapak. Tidak masalah kok pak. Hanya saja, sekarang sudah subuh, lebih baik bapak sholat subuh dulu kemudian melanjutkan tidur lagi nanti di gazebo depan rumah, di luar pagar rumah ini bapak." pintaku dengan sopan.

Selesai sholat subuh, aku mengajak bapak tadi untuk makan terlebih dahulu di gazebo sambil lalu berbincang-bincang dan mencari informasi terkait gerangan apa yang membuat bapak ini harus tinggal di jalanan.

"Saya teman pak Moel Nak. Kalau tidak salah, dia pernah kesini." serunya.

Aku menghela nafas perlahan, nafasku pun terasa semakin berat mendengar nama orang yang disebut adalah orang terakhir yang bertamu ke lingkunganku ini dan merenggut nyawa tetangga yang sedang dalam kondisi prima. Dia datang tak diundang pergi pun tak diantar, hanya menyisakan kematian dan tangisan keluarga yang ditinggalkan.

"Maaf pak. Maksud bapak?"

"Iya. Pak Moel yang memakai sarung hitam, baju hitam lengan panjang dan kopyah hitam."

"Selalu memegang tasbih hitam juga pak?" tanyaku penasaran untuk memastikan bahwa apa yang aku pikirkan adalah sebuah kesalahan.

"Iya benar Nak. Terakhir dia datang ke daerah ini, ke rumah itu dan mengajak salah satu anggota keluarganya pergi." menunjuk ke rumah tetanggaku.

Mendengar ucapan tersebut, spontan aku ketakutan. Karena apa yang dikatakan bapak ini benar adanya. Jika memang demikian, aku berpikir bahwa bapak ini juga memiliki kekuatan, atau semacam kesaktian yang sama dengan pak Moel. Terbukti bahwa dia tahu kalau pak Moel mengajak seseorang pergi dari dunia ini.

Kakiku semakin bergetar tak tertahan, keringat mulai membasahi sela-sela selangkangan dan ubun-ubun, Nafas terasa semakin berat, bahkan seringkali aku menghela nafas dalam dan perlahan, pikiranku pun mulai tak beraturan, hal-hal negatif terus saja mengalir bak air bah yang terus membajiri seluruh ruang di kepalaku.

"Ya Tuhan. Aku akan mati secepat ini. Apa kesalahanku sampai Engkau mengirim seseorang yang seperti pak Moel untuk membawaku pergi."

"Ya Tuhan..."

Pikiranku terus saja berkecamuk, jantungku bekerja keras memompa darah ke seluruh tubuh, hatiku pun bising dengan suara-suara saling serang, seperti sedang menyampaikan hak demokrasinya pada diri sendiri. Ada yang mengatakan bahwa mustahil ada seseorang yang bisa mengambil nyawa orang lain. Ada yang bersuara dengan meyakinkan bahwa pak Tua itu memiliki kekuatan yang setara dengan pak Moel dan tujuan yang sama, merampas kehidupan orang di dunia dan membawanya ke alam baka.

Di tengah-tengah perasaan yang campur aduk dan suara bising sang hati, aku berusaha untuk meninggalkan bapak Tua itu, meskipun aku tahu risiko kalau harus tiba-tiba pergi tanpa alasan yang masuk akal setelah mengobrol santai dengan seseorang yang dikenal bisa membaca hati dan pikiran seseorang, bahkan bisa menentukan kapan datangnya kematian orang yang dikehendakinya.

Pikiranku terus berputar untuk mencari alasan agar aku bisa meninggalkan bapak tua ini. Mencari alasan yang tak menyinggung perasaannya, agar aku tak dibawanya pergi dengan jalan yang sukar seperti yang sempat terdengar kabar bahwa seseorang yang lancang dan tak sopan kepada pak Moel, maka akan mendapatkan balasan kematian yang mengerikan dengan wajah menghitam, kulit tubuh terbakar dan teriakan minta tolong agar dikeluarkan dari api neraka saat nyawa sudah berada di ujung rongga tenggorakan memaksa keluar dari jasad yang fana di dunia yang tak nyata ini.

 "Pak, mohon maaf, harus saya tinggal dulu. Karena saya harus bekerja hari ini. Jadi saya pamit dulu bapak. Bapak boleh disini, asal tetap di Gazebo ini. Tidak boleh masuk ke rumah saya, di teras atau bahkan melewati pagar rumah saya yang tak berpintu ya pak. Kalau butuh sesuatu, tinggal bilang saja saat saya menghampiri bapak."

Aku kemudian meninggalkan bapak tersebut, bapak yang tak sempat aku tanyakan siapa nama dan asalnya dari mana karena perasaan takut dan pikiran tentang kematian yang terus menghantui seisi ruang kepala dan hati.

***

Beberapa hari berlalu, setiap pagi dan sore aku menghampiri bapak Tua yang tinggal di gazebo di depan pagar rumahku. Bukan karena aku merasa iba merawat bapak tersebut, tapi karena sudah berjanji untuk memenuhi kebutuhannya setiap hari selama masih di lingkunganku ini. Terlebih lagi tak seorang pun warga yang berani untuk mendekatinya, bahkan ketika sholat saja, banyak warga yang menjaga jarak beberapa meter dari pak Tua itu atau memilih sholat sendiri di rumah.

****

Hari ini adalah hari ke sepuluh, hari yang aku anggap sial, hari yang sangat tidak beruntung bagiku karena pak Tua itu dengan sengaja masuk ke dalam rumah saat pintu terbuka ketika aku selesai menyapu. Dengan perasaan kalut dan takut, terpaksa dengan berat hati aku memintanya untuk duduk di ruang tamu.

"Silahkan duduk bapak."

"Terima kasih ya Nak."

"Ada yang bisa saya bantu bapak?"

"Tidak ada Nak. Saya hanya mau pamit pergi dan mengucapkan terima kasih sudah memberi makan dan minum setiap hari."

"Owh iya bapak, sama-sama. Terima kasih banyak. Tapi..."

"Tapi.... Bapak tidak akan mengajak saya pergi kan?"

Pak Tua itu tersenyum padaku, sepertinya ia ingin membantah apa yang menjadi beban pikiranku selama lebih dari seminggu ini.

"Nak, tenang saja. Saya tidak akan membawamu pergi. Saya datang kesini hanya ingin mengubah stigma buruk orang-orang tentang pak Moel atau orang sepertinya, termasuk orang seperti saya. Saya juga ingin agar warga disini sadar bahwa kematian itu ditangan Tuhan, bukan ditangan seseorang. Kalaupun ada orang asing bertamu kemudian ada salah satu anggota keluarganya yang meninggal, itu karena kebetulan saja."

"Owh... oh baik bapak. Maafkan pikiran buruk saya selama ini kepada bapak."

"Iya, tidak apa-apa Nak. Sekali lagi bapak mengucapkan terima kasih sudah merawat saya selama ini. Tolong ini diterima dengan senang hati."

"Terima kasih banyak Bapak." ucapku pada bapak Tua yang pergi lalu menghilang di pertigaan jalan.

Aku merasa senang sekali, karena apa yang aku dan tetanggaku pikirkan ternyata salah. Orang Tua itu tidak membawa malapetaka seperti pak Moel, teman akrabnya. Terlebih lagi bapak Tua itu memberiku batu akik yang tertanam pada cincin emas yang sangat pas ukurannya dengan jari tengahku.

Sempat aku menanyakan harga cincin batu akik tersebut kepada beberapa penjual dan bahkan ke toko emas. Aku sangat terkejut, ternyata cincin dengan batu akik di atasnya terbuat dari emas dengan kadar 20 karat. Ditambah dengan batu akik yang sangat jarang sekali ditemukan dan jadi buruan para jutawan, sudah pasti harga keduanya jika dijual benar-benar bisa menghasilkan uang yang sangat banyak. Oleh sebab itu, aku tak sedikitpun berniat menjualnya. Apalagi, cincin itu bisa mendatangkan rejeki yang bertubi-tubi.

"Innalillahi wainnalillahirojiun." Suara pengumuman kematian terdengar. Satu persatu tetanggaku kemudian meninggal, bahkan setiap 3 hari sekali. Aku merasa cemas, aneh dan bertanya-tanya, apakah kematian tetanggaku berhubungan dengan cincin batu akik dan mantra yang aku baca agar bisa menjadi orang terkaya. Ataukah akibat bapak Tua itu tinggal di daerahku selama ini? Entahlah! Aku hanya bisa menerka-nerka ditengah cerca mulut tetangga yang menganggapku sakti madraguna, gila, memiliki sihir dan bahkan ada yang menyebutku pengganti pak Moel dan pak Tua itu, teman karib pak Moel. Bahkan tetanggaku yang hanya tersisa segelintir orang, berani menyebutku dengan jelmaan malaikat kematian.

"Kalau kaya tak punya tetangga, tak enak juga." gerutuku berjalan meninggalkan tempat aku tinggal hanya dengan baju hitam, sarung putih dan kopyah abu-abu yang melekat di kepala.

"Ooorang gilaaaa, oooorang gilaaaaaa." teriakan suara anak-anak dari kejauhan mengolok-ngolok diriku yang sedang berjalan meninggalkan kekayaan, tetangga dan kehidupan sosial, untuk mencari sebenar-benarnya arti kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun