Mendengar ucapan tersebut, spontan aku ketakutan. Karena apa yang dikatakan bapak ini benar adanya. Jika memang demikian, aku berpikir bahwa bapak ini juga memiliki kekuatan, atau semacam kesaktian yang sama dengan pak Moel. Terbukti bahwa dia tahu kalau pak Moel mengajak seseorang pergi dari dunia ini.
Kakiku semakin bergetar tak tertahan, keringat mulai membasahi sela-sela selangkangan dan ubun-ubun, Nafas terasa semakin berat, bahkan seringkali aku menghela nafas dalam dan perlahan, pikiranku pun mulai tak beraturan, hal-hal negatif terus saja mengalir bak air bah yang terus membajiri seluruh ruang di kepalaku.
"Ya Tuhan. Aku akan mati secepat ini. Apa kesalahanku sampai Engkau mengirim seseorang yang seperti pak Moel untuk membawaku pergi."
"Ya Tuhan..."
Pikiranku terus saja berkecamuk, jantungku bekerja keras memompa darah ke seluruh tubuh, hatiku pun bising dengan suara-suara saling serang, seperti sedang menyampaikan hak demokrasinya pada diri sendiri. Ada yang mengatakan bahwa mustahil ada seseorang yang bisa mengambil nyawa orang lain. Ada yang bersuara dengan meyakinkan bahwa pak Tua itu memiliki kekuatan yang setara dengan pak Moel dan tujuan yang sama, merampas kehidupan orang di dunia dan membawanya ke alam baka.
Di tengah-tengah perasaan yang campur aduk dan suara bising sang hati, aku berusaha untuk meninggalkan bapak Tua itu, meskipun aku tahu risiko kalau harus tiba-tiba pergi tanpa alasan yang masuk akal setelah mengobrol santai dengan seseorang yang dikenal bisa membaca hati dan pikiran seseorang, bahkan bisa menentukan kapan datangnya kematian orang yang dikehendakinya.
Pikiranku terus berputar untuk mencari alasan agar aku bisa meninggalkan bapak tua ini. Mencari alasan yang tak menyinggung perasaannya, agar aku tak dibawanya pergi dengan jalan yang sukar seperti yang sempat terdengar kabar bahwa seseorang yang lancang dan tak sopan kepada pak Moel, maka akan mendapatkan balasan kematian yang mengerikan dengan wajah menghitam, kulit tubuh terbakar dan teriakan minta tolong agar dikeluarkan dari api neraka saat nyawa sudah berada di ujung rongga tenggorakan memaksa keluar dari jasad yang fana di dunia yang tak nyata ini.
 "Pak, mohon maaf, harus saya tinggal dulu. Karena saya harus bekerja hari ini. Jadi saya pamit dulu bapak. Bapak boleh disini, asal tetap di Gazebo ini. Tidak boleh masuk ke rumah saya, di teras atau bahkan melewati pagar rumah saya yang tak berpintu ya pak. Kalau butuh sesuatu, tinggal bilang saja saat saya menghampiri bapak."
Aku kemudian meninggalkan bapak tersebut, bapak yang tak sempat aku tanyakan siapa nama dan asalnya dari mana karena perasaan takut dan pikiran tentang kematian yang terus menghantui seisi ruang kepala dan hati.
***
Beberapa hari berlalu, setiap pagi dan sore aku menghampiri bapak Tua yang tinggal di gazebo di depan pagar rumahku. Bukan karena aku merasa iba merawat bapak tersebut, tapi karena sudah berjanji untuk memenuhi kebutuhannya setiap hari selama masih di lingkunganku ini. Terlebih lagi tak seorang pun warga yang berani untuk mendekatinya, bahkan ketika sholat saja, banyak warga yang menjaga jarak beberapa meter dari pak Tua itu atau memilih sholat sendiri di rumah.