Mohon tunggu...
Roeslan Hasyim
Roeslan Hasyim Mohon Tunggu... Editor - Cerpen Mingguan

Penyiar Radio Mahardhika Bondowoso, Pengajar Prodi PSPTV dan Perfilman SMKN 1 Bondowoso

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menempuh Jalan Sunyi

13 April 2021   13:57 Diperbarui: 13 April 2021   14:05 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Iya, tidak apa-apa Nak. Sekali lagi bapak mengucapkan terima kasih sudah merawat saya selama ini. Tolong ini diterima dengan senang hati."

"Terima kasih banyak Bapak." ucapku pada bapak Tua yang pergi lalu menghilang di pertigaan jalan.

Aku merasa senang sekali, karena apa yang aku dan tetanggaku pikirkan ternyata salah. Orang Tua itu tidak membawa malapetaka seperti pak Moel, teman akrabnya. Terlebih lagi bapak Tua itu memberiku batu akik yang tertanam pada cincin emas yang sangat pas ukurannya dengan jari tengahku.

Sempat aku menanyakan harga cincin batu akik tersebut kepada beberapa penjual dan bahkan ke toko emas. Aku sangat terkejut, ternyata cincin dengan batu akik di atasnya terbuat dari emas dengan kadar 20 karat. Ditambah dengan batu akik yang sangat jarang sekali ditemukan dan jadi buruan para jutawan, sudah pasti harga keduanya jika dijual benar-benar bisa menghasilkan uang yang sangat banyak. Oleh sebab itu, aku tak sedikitpun berniat menjualnya. Apalagi, cincin itu bisa mendatangkan rejeki yang bertubi-tubi.

"Innalillahi wainnalillahirojiun." Suara pengumuman kematian terdengar. Satu persatu tetanggaku kemudian meninggal, bahkan setiap 3 hari sekali. Aku merasa cemas, aneh dan bertanya-tanya, apakah kematian tetanggaku berhubungan dengan cincin batu akik dan mantra yang aku baca agar bisa menjadi orang terkaya. Ataukah akibat bapak Tua itu tinggal di daerahku selama ini? Entahlah! Aku hanya bisa menerka-nerka ditengah cerca mulut tetangga yang menganggapku sakti madraguna, gila, memiliki sihir dan bahkan ada yang menyebutku pengganti pak Moel dan pak Tua itu, teman karib pak Moel. Bahkan tetanggaku yang hanya tersisa segelintir orang, berani menyebutku dengan jelmaan malaikat kematian.

"Kalau kaya tak punya tetangga, tak enak juga." gerutuku berjalan meninggalkan tempat aku tinggal hanya dengan baju hitam, sarung putih dan kopyah abu-abu yang melekat di kepala.

"Ooorang gilaaaa, oooorang gilaaaaaa." teriakan suara anak-anak dari kejauhan mengolok-ngolok diriku yang sedang berjalan meninggalkan kekayaan, tetangga dan kehidupan sosial, untuk mencari sebenar-benarnya arti kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun