Dwi kemudian pamitan pergi dulu, setelah membayar uang kopi dan camilan yang kita bertiga makan.
Setelah beberapa saat, Aku dan Nut kemudian keluar dari warung mengambil motor, untuk berkeliling menemui pentolan mahasiswa yang biasa unjuk rasa.
Tak seberapa lama menelusuri jalanan kota, tiba –tiba dari kejauhan mobil hitam memepetku dari samping. Terpaksa, aku menepi disebelah trotoar yang mulai rusak, sepi dan tak seorang pun lewat saat itu.
Tak disangka, beberapa orang bak preman keluar dari mobil hitam itu dengan menodongkan senjata kapada aku dan Nut. Kita berdua yang terbiasa dengan ancaman karena sering memimpin sebuah perjuangan, tak begitu kaget melihat orang-orang itu.
Tapi tetap, kita berdua mencoba untuk membuka pembicaraan perihal apa yang mereka inginkan sebenarnya. Apakah mereka ingin merampok kita, ataukah ada hal lain yang mereka inginkan. Kita berdua tak tahu itu.
“Angkat tangan kalian. Merunduk ditrotoar. Cepat, cepat.” Kata seseorang memakai baju hitam. Sepertinya ia adalah pimpinannya. Sedangkan yang lain dengan sigap memborgolku dan Nut. Tak lupa mereka juga menutup mulut kita dengan lakban hitam.
Kita berdua tenang-tenang saja. Karena menurut pengalaman, orang-orang ini pasti lah orang-orang suruhan yang ditugaskan untuk membungkam kita berdua sebagai aktivis mahasiswa. Setelahnya, kita dilepas begitu saja. Pikirku begitu.
Setelah cukup lama melakukan perjalan di dalam mobil dengan tangan diborgol, mulut dilakban dan mata ditutup dengan kain hitam. Mobil yang aku tumpangi akhirnya berhenti.
Aku dan Nut diseret keluar dari mobil, berjalan melewati rerimbunan.
‘dor’ suara tembakan terdengar tepat disebelahku, memekakkan telinga ditengah kesunyian.
“Beginilah nasib jika kamu ingin melawan pemerintahan di Negeri Milik Sendiri. kata seseorang yang suaranya sangat aku kenal.