“Ah, bakalan terasa berat obrolan malam ini” seruku dalam hati sambil menyesap sebatang rokok rakyat ditemani secangkir kopi Arabica yang memiliki rasa asam menggoda tapi juga berbahaya bagi lambung manusia yang tak biasa meminumnya. Sama halnya dengan Negeri Milik Sendiri saat ini, aku rasakan ada sebagian kecil yang menikmati Bangsa ini bak kopi Arabica. Tapi aku pikir, masih lebih banyak rakyat yang merasakan asamnya ketidakadilan social bagi seluruh rakyat Negeri Milik Sendiri, khususnya masyarakat yang tak kuasa, tak berharta dan tak punya kolega.
“Negeri ini sedang tak baik baik saja.” Nut memulai pembicaraannya.
“Memang kenapa?” sahut Dwi di sebelahnya.
Nut menjulurkan tangannya ke sebuah meja, mengambil secangkir kopi yang sedari tadi sudah menunggu pemiliknya untuk dijamah dan dinikmati sepuasnya. Glek, suara tegukan kopi hitam Arabica melewati kerongkongan Nut yang mulai kehausan.
“Alhamdulillah. Nikmat sekali kopi ini. ” katanya
“Eeeem, gimana ya. Aku harus memulainya dari mana?” terhenti sejenak dengan bola mata bergerak ke atas, menatap langit-langit warung tempat kita bertiga nongkrong, seakan Nut masih berpikir untuk memulai obrolan tentang negeri ini.
“Aku tadi sempat baca sebuah berita online. Ada sebuah media yang mengungkapkan bahwa KPK saat ini sudah mulai tak bertaji, ya bisa disebut omponglah, kayak singa tua yang hanya terlihat garang dimata, tapi sebenarnya tak bisa berbuat apa-apa. Hanya menunggu kematiannya saja.” Sahutku menyela Nut yang masih sibuk dengan pikirannya yang masih berputar-putar mencari jawaban.
“Memangnya kenapa dengan KPK?” balas Dwi
“Kamu tahu kan, semenjak pengesahan Undang-Undang No 29 tahun 2029 tentang perubahan kedua atas no 15 tahun 2012 tentang KPK, KPK tak pernah terdengar lagi beritanya mengenai tangkap tangan para pejabat negara atau wakil rakyat” kataku
“Iya, bener. Aku sepakat tentang itu. Sepertinya memang KPK tak lagi berkutik semenjak saat itu.” sahut Nut.
Dwi sedikit melakukan pembelaan terhadap aset bangsa tersebut dengan mengatakan bahwa KPK saat ini mungkin terkendala covid 19 untuk melakukan tangkap tangan pejabat atau wakil rakyat.
Tapi Nut tak sependapat dengan apa yang dikatakan Dwi. Ia mengatakan bahwa seharusnya KPK saat ini benar-benar bekerja dengan maksimal karena banyak dana besar sedang digelontorkan untuk kepetingan masyarakat banyak. Mulai dari dana untuk covid itu sendiri, untuk mengangkat ekonomi bangsa melalui banyaknya suntikan dana terhadap masyarakat kecil namun disisi lain ada kesemrawutan data penerima.
Bisa jadi saat ini justru ada oknum penyelenggara yang suka memanipulasi data untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Belum lagi, diluar sana masih banyak yang meragukan kerja pemerintah terhadap penangangan pandemic global ini. Mulai dari carut marutnya penerima bantuan, bahkan aturan dalam penggunaan masker dan penerapan physical distancing yang tak adil.
Bagi masyarakat kecil, aturan tersebut harus tegas dilaksanakan. Tapi pada sisi lain, justru aturan tersebut seakan tak berlaku. Contoh kasus, baru-baru ini seorang anggota wakil rakyat menggelar hajatan dengan acara musik koploan hingga mengundang banyak massa datang dan tak mengindahkan aturan penerapan masker dan jaga jarak. Bahkan konser tersebut telah mendapatkan izin dari kepolisian setempat.
Aku pikir-pikir memang benar apa yang disampaikan Nut. Seharusnya KPK saat ini, bekerja lebih keras lagi, ya minimal sebagai pengawas bagi mereka penyelenggara negara yang kecipratan dana untuk menuang anggaran kepada rakyat jelata.
Tapi sayangnya, KPK memang tak bisa bergerak bebas seperti dulu. Dimana kala itu, KPK bebas melakukan penyadapan sesuai dengan pasal 22. KPK bisa melakukan penyadapan cukup hanya dengan perintah penyadapan yang diteken pimpinan KPK, di dukung Direktorat Monitor KPK dan diawasi Pengawas Internal KPK dan diaudit oleh pihak ketiga.
Sedangkan saat ini, penyadapan harus dilakukan sesuai dengan pasal 22B dan pasal 67B. Kedua pasal ini mengharuskan proses penyadapan dilakukan izin tertulis dari dewan pengawas atas dasar permohonan dari pimpinan KPK. Setelah itu, usul penyadapan harus ke penyelidik dan diteruskan kepada direktur penyelidikan, lalu deputi penindakan dan terakhir komisioner KPK. Membayangkan saja sudah terasa rumit.
Belum lagi tentang penggeledahan. Penggeledahan yang juga harus dilakukan dengan izin tertulis dewan pengawas. Kondisi ini tentu bisa memperlambat kinerja KPK. Bayangkan saja, saat ingin melakukan penggeledehan dalam kondisi darurat untuk mencari barang bukti menunggu izin terlebih dahulu, Sudah pasti barang bukti yang dicari dilenyapkan terlebih dahulu.
“Bang, kalau ngobrolin negara ini tolong berhati-hati saja ya. Bisa jadi abang tiba-tiba lenyap tanpa data.” seru penjual nasi sambil tersenyum seakan menggodaku.
“Baik mbak. Tenang saja. Aman kok.” Kataku tanpa penuh curiga melihat pemilik warung yang sudah aku kagumi selama ini. Karena selain memang ramah, seperti sudah terbiasa dengan SOP dalam melayani, seperti pelayan pelayan coffee atau tempat pijat yang selalu penuh senyum menggoda.
“Lantas apa yang harus dilakukan. Jika memang benar keadaannya demikian?” Nut menyela.
“Tak perlu melakukan apa-apa. Cukup kita berprasangka baik saja kepada pemerintah atau oknum-oknum yang menjadi buruh untuk rakyat atas nama Negara.” sambung dwi.
“Tapi, klo keadaan seperti ini terus, kan gak baik untuk bangsa.” balasku pada dwi.
“Keadaan yang seperti apa maksudmu?” Dwi.
“ Ya kondisi bangsa saat ini. Selain memang kinerja KPK yang mulai diragukan kualitas. Ditambah lagi pimpinan baru KPK seakan memang sudah disetting sedemian rupa agar mereka semua yang suka nyolong uang negara tak tersentuh hukum. Bahkan bisa bebas dengan nyaman.” Balasku lagi
“ Itu hanya pikiranmu saja.” kata Dwi.
“Eh wi. Emang bener loh. Bangsa ini seakan mati suri. Buktinya, para mahasiswa saja sekarang tak berani bersuara. Bahkan untuk kasus covid yang tak sepaham, dimeja hijaukan. Tuh, contohnya, orang yang tinggal di pulau sakti.” kata Nut.
Semua terdiam sebentar, seakan memikirkan obrolan apa selanjutnya yang dibahas. Disaat bersamaan, pemilik warung dengan wajah cantik bak polwan yang sedang pamer kecantikan di jalan, sibuk dengan smartphonenya yang ada dalam genggaman. Entah gerengan apa yang dilakukan, kita bertiga santai saja memikirkan bangsa ini dan obrolan apa yang harus diungkap ditengah tongkrongan ngopi malam.
“Bagaimana klo kita kembali menggerakkan rekan-rekan kita para mahasiswa untuk lebih kritis terhadap kinerja KPK. Ya tentu juga, untuk mengkritisi pemerintahan saat ini. Terutama dalam penanganan masalah korupsi dan penanganan covid yang aturannya suka berbeda antara satu menteri dan menteri lainnya. Seperti tak satu komanda dibawah petinggi negeri. Miris kan.” Kata Nut seperti memprovokasi.
“Apa sih yang didapat dengan demo – demo gitu. Salah-salah, kalian yang ditangkap.” kata pemilik warung.
“Kita sebagai anak muda kan harus kritis agar bangsa ini tak mengalami krisis seperti kasus tahun 2008.” aku menimpali apa yang dikatakan pemilik warung.
“Iya betul. Kalau kita tidak bergerak. Siapa lagi yang mau mengkritisi pemerintahan ini. Ayolah, kita ajak rekan rekan mahasiswa kita untuk mengkritisi pemerintahan.” sahut Nut.
“Baiklah. Aku akan menghubungi pentolan para mahasiswa di masing-masing kampus. Besok malam kita ketemu di tempat biasa untuk musyawarah sebelum kita akhirnya berkoar-koar dijalan agar suara kita didengar.” ungkapku.
Dwi kemudian pamitan pergi dulu, setelah membayar uang kopi dan camilan yang kita bertiga makan.
Setelah beberapa saat, Aku dan Nut kemudian keluar dari warung mengambil motor, untuk berkeliling menemui pentolan mahasiswa yang biasa unjuk rasa.
Tak seberapa lama menelusuri jalanan kota, tiba –tiba dari kejauhan mobil hitam memepetku dari samping. Terpaksa, aku menepi disebelah trotoar yang mulai rusak, sepi dan tak seorang pun lewat saat itu.
Tak disangka, beberapa orang bak preman keluar dari mobil hitam itu dengan menodongkan senjata kapada aku dan Nut. Kita berdua yang terbiasa dengan ancaman karena sering memimpin sebuah perjuangan, tak begitu kaget melihat orang-orang itu.
Tapi tetap, kita berdua mencoba untuk membuka pembicaraan perihal apa yang mereka inginkan sebenarnya. Apakah mereka ingin merampok kita, ataukah ada hal lain yang mereka inginkan. Kita berdua tak tahu itu.
“Angkat tangan kalian. Merunduk ditrotoar. Cepat, cepat.” Kata seseorang memakai baju hitam. Sepertinya ia adalah pimpinannya. Sedangkan yang lain dengan sigap memborgolku dan Nut. Tak lupa mereka juga menutup mulut kita dengan lakban hitam.
Kita berdua tenang-tenang saja. Karena menurut pengalaman, orang-orang ini pasti lah orang-orang suruhan yang ditugaskan untuk membungkam kita berdua sebagai aktivis mahasiswa. Setelahnya, kita dilepas begitu saja. Pikirku begitu.
Setelah cukup lama melakukan perjalan di dalam mobil dengan tangan diborgol, mulut dilakban dan mata ditutup dengan kain hitam. Mobil yang aku tumpangi akhirnya berhenti.
Aku dan Nut diseret keluar dari mobil, berjalan melewati rerimbunan.
‘dor’ suara tembakan terdengar tepat disebelahku, memekakkan telinga ditengah kesunyian.
“Beginilah nasib jika kamu ingin melawan pemerintahan di Negeri Milik Sendiri. kata seseorang yang suaranya sangat aku kenal.
Itu suara dwi, yang biasa nongkrong bersama aku dan Nut di warung kopi, pikirku.
Dooor...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H