Mohon tunggu...
Roeslan Hasyim
Roeslan Hasyim Mohon Tunggu... Editor - Cerpen Mingguan

Penyiar Radio Mahardhika Bondowoso, Pengajar Prodi PSPTV dan Perfilman SMKN 1 Bondowoso

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Horor Malam Jumat Kliwon

24 Desember 2020   06:18 Diperbarui: 24 Desember 2020   20:01 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Nanti malem jumat kliwon, jangan lupa untuk datang ritual.” seru Edi padaku ketika kami berdua sedang duduk di tepian tebing menikmati rona senja ketika matahari mulai turun menapaki tangga di langit sebelah barat.

“Kamu sendiri datang kan Ed?”

“Iyalah datang, daripada aku dapat sial. Kan lebih baik ikut ritual saja. Ya itung-itung juga buat ketemu seseorang disana. Hehehe.”

“Heeeeem maunya. Sekali ritual, banyak sesaji yang dihabiskan.”

“Hahahaha. Iyalah. Kalau menurut Bahasa Indonesia, sekali mendayung dua tiga pulan terlampaui.”

“Yaaaaah. Kamu dari dulu memang selalu begitu. Setiap kali ritual, kalau tidak karena ketemu seseorang, daging ayam yang kamu makan atau bawa pulang. Ayo pulang, ini sudah gelap.”

Aku dan Edi memutuskan untuk pulang, meninggalkan ketinggian tepian tebing yang mulai dilahap gelap malam.

“Ed, kita langsung ke tempat ritual ya daripada pulang. Capek kan!”

“Owh, boleh. Itu ide yang bagus. Lagian aku juga sudah tak sabar mau bertemu seseorang disana.” ucap Edi tersenyum riang.

Kami berdua melanjutkan perjalanan turun dari tebing, tempat dimana orang-orang dimakamkan, tempat semua roh bersemayam. Sebuah tempat yang sangat dilarang untuk di datangi oleh siapapun, kecuali oleh ketua suku dan beberapa orang yang mendapatkan mandat dari para roh leluhur.

Bukan tanpa alasan mengapa Aku dan Edi suka sekali tebing itu. Tebing tempat banyak orang dimakamkan merupakan tempat paling indah untuk menikmati sore hari, menikmati rona jingga matahari yang begitu memukau. Bahkan bisa aku katakan tebing adalah puncak surga dunia. Ketika sore mulai datang, warna jingga yang menjadi latar dan menerangi hamparan rumput liar terbentang, beberapa pohon yang tumbuh besar dan binatang yang bermain, menyajikan lukisan alam yang tiada tandingannya. Apalagi ketika malam ritual datang, malam jumat kliwon, tebing itu seperti terkena sihir surga hingga siapapun yang datang pasti akan terpana melihatnya.

Selang beberapa menit menapaki jalan setapak, melintasi jurang terjal dan rerimbunan pohon tua, semak belukar, dengan hanya diterangi oleh cahaya obor remang-emang, kami mulai diganggu oleh beberapa makhluk halus penunggu hutan.

Badan telanjang tanpa kepala tiba-tiba muncul di hadapan kami berdua. Belum lagi, seorang wanita tua yang tiba-tiba menggantung diri di bawah pohon besar di sebelah jalan yang kami lewati. Sesaat setelahnya, pak tua sedang menenteng kepalanya yang tertusuk busur panah, bahkan ada anak-anak yang sedang bahagia memakan kakiknya sendiri.

Bukan itu saja, seringkali kami juga jumpai wanita muda cantik dan eksotis, namun ketika tepat berada di dekatnya, tubuhnya langsung berbau amis, banyak belatung yang memakan hatinya dan seketika terlihat oleh mata telanjang saja.

Bahkan roh-roh leluhur yang selama hidupnya melakukan kejahatan, sering menghantui perjalanan kami pulang. Mereka yang kami kenal atau sering kami dengar ceritanya dari para Tetua, seringkali berada di pundak kami “gendong” sambil membisikkan bisakan agar kami tak usah pulang, agar kami tetap tinggal di tebing dan dijanjikan dengan semua hal yang kami inginkan, bahkan kami dijanjikan surga oleh mereka.

Namun hal itu tak menakutkan bagi kami, karena kami sudah terbiasa dengan hal itu. Kami anggap itu hanya sebuah hiburan saja menemani perjalanan kami turun dari tebing.

Akan tetapi, malam ini terasa ada yang janggal sepanjang perjalanan kami dari tebing menuju tempat ritual yang biasa dilakukan di sepertiga malam saat semua orang tertidur lelap, menikmati indahnya mimpi yang menjadi hiburan bagi sebagian orang.

“Ed, kamu ngerasa ada yang aneh gak?”

“Iya. Kamu juga merasakannya kan?”

“Iya, sama.”

Aku dan Edi melanjutkan perjalanan ditengah-tengah gelapnya malam dan para binatang liar yang justru asyik bermain seperti berada dalam kondisi siang hari.

Bagi kami, itu hal yang sangat aneh. Karena kami paham betul perilaku binatang, baik yang aktif di siang hari dan nokturnal. Jangankan bermain, suara binatang malam tak sedikitpun terdengar di telinga. Justru suara-suara keributan binatang yang harusnya aktif disiang hari, mulai semakin terdengar keras dan terlihat dengan jelas oleh mata kami.

Bahkan satu hal yang membuat kami semakin merasakan keanehan. Jalan setapak yang terjal dan remang-remang karena cahaya obor yang kami bawa, justru terlihat semakin jelas, semakin terang bak siang ketika matahari tepat berada di tengah-tengah hamparan langit membiru.

Keanehan terus saja terjadi sepanjang perjalanan dan tak kami hiraukan, kami tetap berusaha tenang dan melanjutkan perjalanan menuju tempat ritual. Tepat di tengah perjalanan, pak tua muncul secara tiba-tiba memakai gamis hitam, kontras dengan warna terang yang menyelimuti jalan yang kami lewati.

“Ed ada orang di depan. Apa kita sapa saja?”

“Iya. Dia siapa ya. Baru pertama kali Aku melihatnya.”
“Sama, Aku juga.”

Berjalan beberapa langkah, kami tiba tepat di depan pak Tua bergamis hitam dengan kopyahnya berwarna putih.

“Permisi pak. Maaf sebelumnya. Kalau boleh tahu, bapak sedang apa disini sendirian?” tanyaku pada pak Tua.

“Saya lagi menunggu kalian lewat.”

“Menunggu kami!” seru Edi heran.

“Iya. Saya menunggu kalian.”

Mendengar jawaban itu, perasaan takut mulai muncul meskipun kami berdua berusaha tetap tenang.

Bukan tanpa alasan mengapa perasaan takut itu muncul. Kejadian tadi dan pak Tua ini seperti yang pernah diceritakan oleh para Tetua bahwa suatu saat setiap 109 tahun akan ada seseorang dari suku kami yang akan menjumpai Raja Roh para leluhur dengan gamis putih, kopyah putih dan malam akan jadi siang.

Menurut para Tetua, munculnya raja Roh ini akan memiliki dua kemungkinan. Kemungkinan Karena seseorang akan terpilih untuk menerima kekuatan mistis, semacam kesaktian untuk meneruskan tongkat kepemimpinan suku kami, atau justru mendapat hukuman karena melakukan pelanggaran adat.

Tentu kami berdua tidak berpikir bahwa kami akan terpilih, tapi lebih pada pelanggaran yang kami lakukan berdua selama ini. Sudah tak terhitung berapa banyak pelanggaran yang kami buat, bahkan bisa dikatakan sepanjang kami dinyatakan dewasa secara adat, sepanjang itu setiap aturan yang ada kami langgar dan tak kami indahkan. Itulah alasan mengapa kami takut. Bahkan menurut cerita, seseorang yang melanggar aturan adat dan bertemu raja roh, akan mengalami kematian yang sangat menyakitkan. Bahkan teriakan rasa sakit yang dirasakan juga bisa dirasakan oleh mereka yang hidup di alam baka.

“Ada gerangan apa bapak menunggu kami?” ucapku memberanikan diri.

“Ada hal yang harus saya lakukan untuk kalian berdua.”

“Apakah bapak Raja Roh yang sering diceritakan oleh para tetua.” sela Edi.

“Iya.”

“Tapi kenapa bapak berpakaian gamis hitam. Kan seharusnya bapak memakai gamis putih.” Ucap Edi seperti sedang protes bahwa seharusnya Raja Roh itu seperti gambaran yang disampaikan oleh para Tetua.

“Tidak usah banyak tanya."

Belum sempat kami berdua berbicara, Raja Roh menghilang dalam gelap, seketika pula pandangan kami pun jadi gelap.

***

Kami terbangun mendengar lolongan suara anjing yang begitu kuat. Kami heran, ketika melihat kami sudah berada di tumupukan kayu bakar di tempat ritual, tempat dimana para roh leluhur, para Tetua adat, dan warga adat melakukan upacara dan membaca mantra-mantra yang tak pernah kami dengar bahkan jika hanya sekali saja.

Aku merasa heran, mengapa aku dan Edi tiba-tiba saja berada di ini. Padahal  terakhir aku ingat, aku berada di tengah perjalanan.

Aku sempat berpikir bahwa pak Tua itu yang membawa kami dalam keadaan tidak sadar dan meminta para Tetua dan warga adat untuk melakukan ritual. Namun lagi-lagi aku bertanya-tenya perihal ritual apa yang dilakukan, karena tak sekalipun aku dan Edi pernah mengikuti ritual semacam ini.

Setelah tergeletak lemas di atas tumpukan kayu dan bara api sedangkan kondisi kami masih baik-baik saja, ritual kemudian dihentikan oleh pak Tua yang sempat kami jumpa di perjalanan.

“Baiklah. Ritual ini sudah selesai. Maka Alan dan Edi akan menjadi pengganti para Tetua selanjutnya. Namun, selama Tetua yang ada saat ini masih hidup, maka Alan dan Edi akan bergantian mati dan hidup sesuai dengan apa yang dipakainya dari hasil ritual ini.”

Aku tak paham maksud pak Tua itu, tapi satu hal yang pasti, ketika pagi datang maka seketika itu aku mati. Begitu juga ketika matahari terbenam di ufuk barat, aku hidup kembali dan Edi mati. Selalu saja begitu setiap hari sampai kami menyadari bahwa kekuatan pak Tua itu dibagi dua kepada kami, Aku dan Edi. Edi memakai gamis hitam sedangkan aku memakai kopyah putih.

“Pak Tua, kamu jahat. Kenapa aku harus hidup di malam hari saja dan ketika siang justru aku mati.” Seru Edi suatu ketika, disaat kami bertiga berada di dalam satu dimensi yang sama, malam jumat kliwon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun