Bahkan satu hal yang membuat kami semakin merasakan keanehan. Jalan setapak yang terjal dan remang-remang karena cahaya obor yang kami bawa, justru terlihat semakin jelas, semakin terang bak siang ketika matahari tepat berada di tengah-tengah hamparan langit membiru.
Keanehan terus saja terjadi sepanjang perjalanan dan tak kami hiraukan, kami tetap berusaha tenang dan melanjutkan perjalanan menuju tempat ritual. Tepat di tengah perjalanan, pak tua muncul secara tiba-tiba memakai gamis hitam, kontras dengan warna terang yang menyelimuti jalan yang kami lewati.
“Ed ada orang di depan. Apa kita sapa saja?”
“Iya. Dia siapa ya. Baru pertama kali Aku melihatnya.”
“Sama, Aku juga.”
Berjalan beberapa langkah, kami tiba tepat di depan pak Tua bergamis hitam dengan kopyahnya berwarna putih.
“Permisi pak. Maaf sebelumnya. Kalau boleh tahu, bapak sedang apa disini sendirian?” tanyaku pada pak Tua.
“Saya lagi menunggu kalian lewat.”
“Menunggu kami!” seru Edi heran.
“Iya. Saya menunggu kalian.”
Mendengar jawaban itu, perasaan takut mulai muncul meskipun kami berdua berusaha tetap tenang.
Bukan tanpa alasan mengapa perasaan takut itu muncul. Kejadian tadi dan pak Tua ini seperti yang pernah diceritakan oleh para Tetua bahwa suatu saat setiap 109 tahun akan ada seseorang dari suku kami yang akan menjumpai Raja Roh para leluhur dengan gamis putih, kopyah putih dan malam akan jadi siang.