Aku merasa heran, mengapa aku dan Edi tiba-tiba saja berada di ini. Padahal terakhir aku ingat, aku berada di tengah perjalanan.
Aku sempat berpikir bahwa pak Tua itu yang membawa kami dalam keadaan tidak sadar dan meminta para Tetua dan warga adat untuk melakukan ritual. Namun lagi-lagi aku bertanya-tenya perihal ritual apa yang dilakukan, karena tak sekalipun aku dan Edi pernah mengikuti ritual semacam ini.
Setelah tergeletak lemas di atas tumpukan kayu dan bara api sedangkan kondisi kami masih baik-baik saja, ritual kemudian dihentikan oleh pak Tua yang sempat kami jumpa di perjalanan.
“Baiklah. Ritual ini sudah selesai. Maka Alan dan Edi akan menjadi pengganti para Tetua selanjutnya. Namun, selama Tetua yang ada saat ini masih hidup, maka Alan dan Edi akan bergantian mati dan hidup sesuai dengan apa yang dipakainya dari hasil ritual ini.”
Aku tak paham maksud pak Tua itu, tapi satu hal yang pasti, ketika pagi datang maka seketika itu aku mati. Begitu juga ketika matahari terbenam di ufuk barat, aku hidup kembali dan Edi mati. Selalu saja begitu setiap hari sampai kami menyadari bahwa kekuatan pak Tua itu dibagi dua kepada kami, Aku dan Edi. Edi memakai gamis hitam sedangkan aku memakai kopyah putih.
“Pak Tua, kamu jahat. Kenapa aku harus hidup di malam hari saja dan ketika siang justru aku mati.” Seru Edi suatu ketika, disaat kami bertiga berada di dalam satu dimensi yang sama, malam jumat kliwon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H