“Ah nggak mungkin dia. Meskipun memang mirip, tapi dia jauh lebih cantik, bersih, dan putih, tak seperti dulu. Apa mungkin karena dia sudah lebih dewasa, jadi sudah bisa mendandani diri agar bisa lebih menarik perhatian kaum laki-laki.” pikirku.
Lirikanku saat memikirkannya terpojok oleh tatapannya yang tiba-tiba beralih dari buku kehidupan ke wajahku. Seketika, jantungku berdetak cepat seperti habis lari dari kejaran setan. Nafasku jadi berat, wajahku pun sedikit mulai memerah.
“Mas, gak usah sembunyi-sembunyi untuk memastikan kalau aku adalah orang yang sama, orang yang dulu kamu tatap sepanjang hari sampai seperti lupa waktu.”
Aku tersenyum sedikit malu padanya dan memberanikan diri untuk bertanya satu persatu apa yang ada dipikiranku.
Obrolan panjang, dari satu topik ke topik lainnya terus saling terucap dariku dan darinya. Selalu begitu, hampir setiap malam ketika dia datang nyelonong masuk kamar saat.
“oh ya. Kamu udah nikah?” tanyaku membuka obrolan ketika malam minggu kami berdua, malam ke lima setelah pertama kami berjumpa.
“Sudah lah mas. Aku punya anak 1. Sekarang tinggal sama neneknya?”
“Suamimu?”
“Dia meninggal dunia mas beberapa tahun yang lalu. Kalau mas gimana?”
“ Belum menikah. Masih sendiri saja.”
“Loh. Emang ada yang mas tunggu tah? Kok masih belum menikah.”