Mohon tunggu...
Roeslan Hasyim
Roeslan Hasyim Mohon Tunggu... Editor - Cerpen Mingguan

Penyiar Radio Mahardhika Bondowoso, Pengajar Prodi PSPTV dan Perfilman SMKN 1 Bondowoso

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perjumpaan yang Tak Seharusnya

20 Desember 2020   07:15 Diperbarui: 20 Desember 2020   07:44 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Sepertinya kita pernah berjumpa. Kapan ya?” kata seseorang, menyapaku, bertemu tanpa sengaja di meja resepsionis ketika melakukan reservasi di sebuah hotel tua, tempatku biasa menghabiskan waktu senggang ketika mendapatkan pekerjaan di kota tetangga tak jauh dari tempatku tinggal, hanya berkisar 3-5 jam perjalanan saja.

Tak menimpali ungkapan orang yang tak aku kenal, aku hanya tersenyum saja membalas apa yang ia katakan. Aku pikir, itu hanya de javu-nya saja. Karena setiap orang bisa saja mengalami de javu dimana saja disaat yang tak tertuga.

“Mas, tolong KTP-nya.” kata seorang petugas resepsionis dengan senyuman manis, menebar senyum pada setiap pengunjung hotel yang melakukan reservasi.

“Ini mas, sudah selesai.”

Aku berlalu begitu saja menuju kamar tempatku bermalam. Suara samar-samar adzan magrib mulai aku dengar dari kejauhan, ditengah aku menikmati kesendirian di kamar. Sendiri memikirkan tentang kehidupan yang aku jalani. Bahkan tak jarang aku juga memikirkan bangsa ini dengan segala permasalahannya.

“Ah sudahlah. Sudah adzan magrib. Waktunya sholat.” Bisikku pada diri sendiri, menuju musholla tempat para Monotheisme melewati waktu bersama Tuhan meskipun sebentar.

***

Berjalan menuju kamar, beberapa langkah kemudian, aku bertemu kembali dengan dia, seseorang yang mengalami de javu itu.

“Mas, di kamar berapa?” tanyanya.

“ 36B lantai 2.”

“Owh, kita bersebelahan ya. Aku di kamar 37B, lantai 2. Bisa ini kita nongkrong bareng.” sahutnya seperti ia memang benar-benar mengenalku.

Tanpa permisi tanpa tanya apakah aku setuju, ketika aku membuka pintu kamar hotel, dia langsung masuk begitu saja.

“Wow, meskipun kita di hotel yang sama. Tapi kenapa kamarmu terasa berbeda. Apakah karena aku bersamamu ya.” Sambil tertawa bahagia seakan dia tak punya rasa sungkan terhadapku.

Kamar hotel tempatku bermalam ini, memiliki dua kamar terpisah di dalamnya. Ada juga ruang tamu kecil sekaligus dapur minimalis yang bisa digunakan sewaktu-waktu butuh untuk sekedar membuat secangkir kopi atau mie instan dikala lapar mulai menyerang perut keroncongan.

Dia, dengan nyaman duduk di ruang tamu kamarku. Duduk, membuka sebuah buku yang sempat aku baca semalam. Buku yang selalu setia menemaniku, dimanapun aku berada.

Ya, itu buku catatan harianku. Buku yang berisi tentang keluh kesah seorang manusia terhadap kehidupan dunia ini. Dunia yang penuh dengan tipu daya, tentang dunia yang adil hanya bagi mereka yang punya kuasa, uang dan kolega, buku yang juga berisi tentang siapa saja yang pernah hadir dalam hidupku. Buku itu tebal sekali, cukuplah untuk membuat catatan kecil kehidupanku sendiri yang telah lalu.

“Kamu benar-benar lupa ya sama aku.” Terdengar seperti memastikan bahwa aku mengenalnya.

“Aku tak mengenalmu.”

“Eeeem. Benarkah?”

“Iya, aku benar-benar tak mengenalmu.”

“Tapi inget nggak sama wajahku ini?”

“Mana mungkin aku ingat, jika baru kali ini bertemu.”

“Tapi, tak apa kan jika aku duduk disini, menghabiskan malam bersamamu?”

Mendengar pertanyaan tersebut, tentu terasa aneh bagiku. Kala seseorang yang tak aku kenal tiba-tiba meminta sesuatu yang tak biasa bagiku. Berada dalam satu kamar, ya meskipun kamar tempat menginapku juga bisa disebut rumah. Tapi terasa benar-benar aneh saja. Aku tak tahu harus berkata apa, menjawabnya dengan cara apa. Aku hanya diam saja, bukan memikirkan jawaban apa yang harus aku katakan padanya, tapi aku sibuk mencari tahu siapakah gerangan wanita ini.

“Ah, sudahlah tak usah menjawab pertanyaanku tadi. Dan tak usah memikirkan hal yang aneh – aneh. Aku disini, hanya butuh teman ngobrol sepanjang malam saja mas.” serunya.

***

Aku sebenarnya tak suka jika ada yang menyentuh buku itu, apalagi sampai membaca setiap tulisan yang ada pada tiap lembaran buku yang aku sebut ‘Buku Kehidupan’ itu. Entah mengapa, kali ini sungguh sangat berbeda. Aku tak mengenalnya, tapi justru aku merasa dekat denganya. Bahkan, secercah niat pun tak pernah muncul dalam benak sanubari untuk mengambil buku kehidupanku dari tangan wanita yang tak ku kenal itu.

 “Kamu ingat nggak, dulu kita sebenarnya pernah berjumpa loh?” sela wanita itu ditengah kami sedang membisu.

Aku diam saja membaca cerpen online dari sebuah media.

“Kita dulu pernah saling tatap loh mas. Waktu itu di dermaga dekat musholla, di pantai yang sering dijamah banyak orang.” Serunya

Aku tetap diam saja, tak menanggapinya. Tapi aku juga tak bisa menyuruhnya pergi. Entah apa karena memang aku dan dia ada keterikatan hati atau mungkin karena aku juga butuh teman bicara. Entahlah! Karena diriku kali ini tak seperti biasanya.

“Mas, coba diingat-ingat. Waktu itu mas duduk di teras musholla tepi pantai. Mas duduk memandangku yang sedang asik bermain di dermaga.” serunya padaku seakan ia benar-benar akrab.

Sejenak terlintas dalam pikiranku apa yang dia katakan memang benar. Tapi apa iya, dia adalah orang yang sama. Orang yang membuatku membujang sampai diusia yang seharusnya sudah memikirkan tentang masa depan anak-anak.

“Ah nggak mungkin dia. Meskipun memang mirip, tapi dia jauh lebih cantik, bersih, dan putih, tak seperti dulu. Apa mungkin karena dia sudah lebih dewasa, jadi sudah bisa mendandani diri agar bisa lebih menarik perhatian kaum laki-laki.” pikirku.

Lirikanku  saat memikirkannya terpojok oleh tatapannya yang tiba-tiba beralih dari buku kehidupan ke wajahku. Seketika, jantungku berdetak cepat seperti habis lari dari kejaran setan. Nafasku jadi berat, wajahku pun sedikit mulai memerah.

“Mas, gak usah sembunyi-sembunyi untuk memastikan kalau aku adalah orang yang sama, orang yang dulu kamu tatap sepanjang hari sampai seperti lupa waktu.”

Aku tersenyum sedikit malu padanya dan memberanikan diri untuk bertanya satu persatu apa yang ada dipikiranku.

Obrolan panjang, dari satu topik ke topik lainnya terus saling terucap dariku dan darinya. Selalu begitu, hampir setiap malam ketika dia datang nyelonong masuk kamar saat.

“oh ya. Kamu udah nikah?” tanyaku membuka obrolan ketika malam minggu kami berdua, malam ke lima setelah pertama kami berjumpa.

“Sudah lah mas. Aku punya anak 1. Sekarang tinggal sama neneknya?”

“Suamimu?”

“Dia meninggal dunia mas beberapa tahun yang lalu. Kalau mas gimana?”

“ Belum menikah. Masih sendiri saja.”

“Loh. Emang ada yang mas tunggu tah? Kok masih belum menikah.”

“Kamu hampir tiap malam baca buku harianku yang penuh dengan curhatanku. Tapi kamu belum tahu jawaban dari pertanyaanmu sendiri.” balasku.

Dia tertawa cengengesan bahagia.

“Emang kenapa mas?”

Aku ambil buku kehidupan itu, lalu aku berikan padanya.

“Coba dibuka halaman yang aku beri tanda merah itu.”

Dia kemudian membuka buku itu. Perlahan dia membacanya dengan wajah yang seiring waktu terus berubah. Semula yang ia tampak bahagia, mengetahui bahwa dia adalah cinta pertamaku. Namun perlahan, wajahnya mulai berubah menjadi, seperti tampak khawatir dengan apa yang menjadi keputusanku yang aku tulis dalam buku itu.

“Maafkan aku mas. Aku tak bermaksud untuk membuatmu hidup sendiri sampai saat ini. Aku tak tahu kalau kamu jatuh hati padaku. Meskipun kamu jatuh hati pada pandangan pertama padaku. Bukan berarti kamu harus terus menungguku.” Serunya.

“tapi tak masalah kan. Toh terbukti sekarang kamu menjanda dan aku masih sendiri saja. Artinya Tuhan setuju dengan keputusannku untuk tidak menikah selain dengan dirimu.”

“Apa mas serius ingin menikah denganku?”

“Iya. Kenapa?”

Kami berdua terdiam, tak ada yang melanjutkan sepatah kata obrolan yang semula akrab saling bicara.

“Papaaaaaa” suara teriakan seorang wanita mengagetkanku.

“Paaaa, ayo pa. Sholat magrib dulu. Lanjutkan saja nulis cerpennya nanti setelah selesai sholat isya.” seru istriku memastikan agar aku sholat lebih awal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun