Biarkan ayam itu melengkingkan suaranya, jika perlu hingga putus pita suaranya. Menembus celah-celah jendela, menusuk tajam gendang telinga. Ini semua salahmu yang belum juga datang dalam kehidupan. Mungkin jika sesosok wanita sudah hadir menemani dan selalu membangunkan lebih cepat sebelum ayam itu menarik pita suaranya, aku akan menyiapkan segayung air dan menyiram saat suaranya mulai terdengar.Â
Aku benci suara ayam anyway, tidak tahu mengapa. Sama dengan kebanyakan, selalu ada hal-hal yang dibenci seseorang tanpa alasan yang jelas. Dan biarlah seperti itu.Â
Ini pagi yang cerah, namun awan tidak banyak berkeliaran menutup cahaya terik negeri khatulistiwa ini.Â
Beruntungnya, aku tinggal tidak jauh dari kantor. Hanya 15 menit maka sampai. Kupikir aku yang paling awal, namun ternyata dimeja paling ujung yang dihuni atasanku sudah didatangi sang penghuni. Aku pun belum memulai apapun sejak lima menit aku disini, masih membuka situs berita untuk memantau perkembangan politik yang mengerikan. Politik memang mengerikan, bahkan aktivis UI yang terkenal Soe Hok Gie menganologikan "Politik itu lumpur kotor."Â
Tapi ternyata politik itu terjadi dalam konteks yang beragam. Dunia kerja pun ada, dan buatku itu memang menjijikan.
Dua rekan kerjaku yang lain masuk hampir bersamaan, Beno dan Haris. Seperti biasa kami pun memulai hari dengan hening, mungkin ini bisa bertahan hingga dua jam. Setelah itu pasti ada salah satu diantara mereka  yang membuka mulutnya, lalu mulai berbicara yang tidak berfaedah dan disambut oleh yang lain meski dalam keadaan terpaksa. Aku hanya akan menjadi yang menjawab, soalnya kasihan kalau tidak ada yang menanggapi.
"Aduh mules nih perut." Ucap Beno memulai ocehan pertama hari ini.
"Yauda boker sana." Jawabku singkat dan terpaksa.
Aku menurunkan tingkat stres dengan tidak melihat jam yang mungkin sudah bergerak lebih cepat, meski aku tahu dikomputer kamu hanya perlu melihat dipojok kanan bawah. Bahkan ponsel pun aku non-aktifkan agar tidak ada sesuatu hal lain mengganggu. Â Saat ini aku ingin sekali menjadi penguasa waktu yang bisa menahannya atau mempercepat semauku. Melepas memikirkan waktu yang tersisa, atau bahkan deadline yang tinggal hari ini saja.
Satu jam lagi waktu istirahat, dan biasanya diwaktu seperti ini para cacing atau Kyubi dalam perutku sudah meronta meminta asupan. Tapi kali ini tidak, mereka cukup bersahabat dan bisa mengerti keadaan. Atau justru mereka sudah mati jauh didalam sana, entahlah aku tidak peduliÂ
"Bay, coba periksa transaksi tanggal 20 deh?" tanya Haris yang baru saja duduk sepulangnya dari kamar kecil.
"Emang kenapa?" jawabku mengulur waktu agar masih bisa melanjutkan pekerjaanku saat ini.
"Coba lihat dulu aja bay, gua rasa ada yang aneh." Kata Haris yang sekarang mendadak buatku cemas.
"Yauda tunggu gua cari berkasnya dulu biar lebih jelas." Kataku cepat sambil mencari kardus berisi file digudang.
Aku bergegas menuju gudang, bahkan sesekali aku berlari kecil agar cepat menuju gudang. Biasanya jika Haris sudah meminta seperti ini, dia melihat ada kesalahan yang mungkin terjadi. Belum juga terbukti, ini sudah membuat butir-butir keringat sudah mengumpul dikepalaku. Mendadak ruangan kantor seperti tidak menggunakan AC sama sekali, terasa gerah. Oh ini ternyata karena aku sudah terlalu cemas.
Sekilas kulihat dari berkas itu tidak ada yang salah, beberapa kali aku coba lihat dan baca lagi tidak ada yang salah. Tidak menunggu lama aku langsung menuju Haris untuk memberikan file ini.
"Ini ris berkasnya." Kataku dengan desah nafas yang makin tak karuan sambil melihat teman-teman sekitar yang sedang sibuk sendiri.
"Aduh bay, lu lihat ini?" tanya Haris pelan sambil menunjukan selembar kertas dari file yang kubawa.
"Oh ini harusnya potong pajak ya?" kataku dengan pucat pasi membayangkan setelah ini akan terjadi apa.
"Gimana sih bay, masa ini salah." Ucap Haris memulai kebiasaanya sambil berdiri dari tempat duduknya.
"Aah gimana sih kayak anak baru aja." Tambah Haris dengan menaikan volume suaranya yang mungkin bisa didengar ruangan sebelah.
"Memangnya lu tidak periksa ya?" tanya Haris yang makin menyudutkan.
Mukaku pasti sudah berubah menjadi tomat atapun apel yang merah begitu segar dan menggoda ingin disantap. Belum lagi keringat yang dari tadi sudah berkumpul diujung-ujung rambut mulai berjatuhan.
"Ini nanti di edit, masih bisa dirubah kok." kataku singkat sambil meninggalkanya dengan wajahnya yang tersenyum sarkas.
Sudah jadi kebiasan Haris jika sudah melihat hal-hal seperti ini. Entah mengapa dia memiliki hobi yang buruk sekali untuk orang lain. Haris memang pintar dan memiliki penalaran yang cukup baik, diapun cukup terliti terhadap pekerjaannya. Tapi yang barusan itu seperti ditebas dengan katana, tebasannya begitu dalam dan mematikan.
Akupun mencoba menata perasaanku kembali. Jujur saja butuh beberapa saat untuk bisa cukup tenang melanjutkan pekerjaan, walau kejadian tadi belum sepenuhnya bisa dilupakan. Tapi aku saat ini ada tanggung jawab yang harus aku selesaikan hari ini, berhubung juga aku bukan penguasa waktu. Maka aku tidak istirahat agar semua bisa selesai tepat waktu.
Laporan ini sebentar lagi selesai dan aku pun masih belum istirahat. Kutinggal sebentar tempatku dan menuju pantri untuk membuat secangkir kopi kedua hari ini, biar lebih fresh lihat angka-angka dikomputer. Ketika sampai kembali dimeja, ternyata ponselku berbunyi. Ada telepon masuk dari vendor Sosial Betty yang selalu memasok ketersediaan alat tulis kantor disini.
"Siang pak Bayu?" jawab Bima bagian keuangan Sosial Betty.
"Siang pak Bima, apa kabar? ada apa nih pak?" tanyaku hangat karena kopi yang barusan kuseruput.
"Ini pak, mau konfirmasi ada kelebihan pembayaran." kata Bima.
"Lebih bayar? Tanggal berapa ya pak?" tanyaku cepat.
"Tangga 24 pak, saya mau proses refund untuk besok makanya saya konfirmasi dulu." Jelas pak Bima.
"Ok baik pak terima kasih ya pak Bima, maaf jadi repotin." Kataku cepat sambil mengakhiri pembicaraan.
Aku ingat tanggal 23 dan 24 itu aku tidak masuk karena ada urusan luar kota, dan pembayaran itu kuserahkan ke Haris. Â Berkas pembayaran itu pasti masih dipegang oleh Beno, dia dari bagian keuangan yang mengurus pembayaran ke Bank. Aku akan mengambilnya untuk kuperiksa ditempatku. Dan ternyata benar saja, ternyata Haris salah membuat pengajuan. Mungkin dia salah ketik kalkulator atau salah lihat saat mengerjakan.
"Loh bay, itu tagihan dari Sosial Betty kan?" tanya Haris yang kebetulan lewat dibelakangku.
"Oh iya ris, yang kemarin lu kerjain waktu gua pergi itu." Jawabku dengan memutar kursiku searah dengan badannya.
"Terus kenapa ada di lu?" tanya Haris dengan wajah yang tampak bingung.
"Tadi minjem dari Beno, cuma mau lihat aja." Jawabku dengan perasaan senang.
"Tapi aman kan? Tidak ada masalah?." tanyanya lagi untuk memastikan keadaan.
"Aman ris, tenang saja." jawabku Gembira karena telah menjaganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H