Mohon tunggu...
Alan Daka
Alan Daka Mohon Tunggu... Akuntan - Cuma mau nulis.

Dream it, taste it, make it happen..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mahar

2 Oktober 2016   13:49 Diperbarui: 2 Oktober 2016   14:16 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sang pusat tata Surya sudah pada puncak tertingginya, menjalani tugas membagi cahaya yang tak ada habisnya. Para pemimpi bertebaran keluar ruangan,  mencari asupan yang dinginkan.

Lorong panjang lantai dua kususuri, hendak kembali ke kelas mengambil yang terlupa. Padahal umurku baru 22 tahun, tapi entah kenapa sekarang lupa seolah jadi kawan baruku. Segera kumasuki kelas yang tak tertutup, lalu kuhampiri meja tempat aku tadi belajar. Ternyata benar ponselku tertinggal dilaci meja. Kubuka ponselku, lalu kulihat ada dua panggilan tak terjawab. Ternyata dari temanku, mas Fadlan. Segera ku hubungi dia.

"Assal....." seru salamku

"Anna nanti sore datang ke kelas saya ya, ga pake ga, nanti ditunggu pokoknya." serunya yang memotong salamku.

"Kenapa sih mas, saya salam aja sampai dipotong. Emang ada apa?" Jawabku dengan agak kesal.

"Aku sudah dapatkan kriteria pria yang kamu cari, langsung perkenalan saja nanti, Mia juga sudah saya minta untuk menemani kamu kok" jawabnya dengan langsung menutup pembicaraan.

Hatiku tidak karuan, akhirnya pertemuan yang ditunggu sudah didepan mata. Kakiku tetiba terasa gontai dan lemas, tak lagi mampu menopang badan karena grogi ini. Aku cuma bisa terduduk dikelas yang sunyi, sembari berusaha memupuk keberanian dan mengendalikan grogi.

Tidak terasa waktu rehat sudah habis, mata kuliah kedua sudah akan dimulai. Tapi aku harus menjalankan kewajiban ku dulu, tak apalah  jika harus kena marah nanti. Mata kuliah kedua ini serasa lain dari yang lainya, konsentrasiku terpecah antar belajar dan memikirkan pertemuan nanti.

Detik jam juga terasa berputar lebih cepat dari biasanya, aku tak mengharapkan ini. Aku masih butuh waktu mengendalikan perasaan, kenapa waktu serasa tak mengerti. Grogi iya, tapi aku juga takut tak sesuai yang diinginkan. Tak terasa kelas pun dibubarkan, segera ku menuju tempat pertemuan.

Terlihat dari kejauhan Mia menunggu didepan kelas, lalu dibawanya aku masuk kedalam kelas. Tapi tak kutemukan lelaki selain mas Fadlan, siapa sebenarnya sosok pria itu. Mas Fadlan? 

"Tunggu dulu ya, teman saya masih dalam perjalanan." Seru mas Fadlan.

Lalu aku mengambil duduk berhadapan dengan mas Fadlan, dengan ditemani Mia disisi kiri ku. Detak jantungku terasa semakin tak karuan, nafas yang kuhirup juga seolah tak memenuhi kebutuhan paru-paru.

"Assalammualaikum" salam dari seorang pria diujung pintu.

"Akhirnya datang juga" jawab mas Fadlan.

Lelaki itu duduk disebelah kanan mas Fadlan, berhadapan dengan Mia yang menemaniku. Lalu perkenalan dimulai dengan dipandu dua temanku. Diawal aku kerap dibantu Mia dalam menjawab karena masih grogi, seiring pembicaraan aku sudah mulai bisa menjawab pertanyaanya langsung meski tanpa menatapnya karena malu. Banyak sekali pertanyaan yang terlontar baik dari lelaki itu ataupun aku, baik yang bersifat umum sampai politik.

Sepertinya dia sedang mencaritahu batas wawasanku, terkadang ada beberapa perbedaan pendapat yang membuat debat. Justru Mia dan mas Fadlan terlihat menahan tawa sampai muka memerah melihat aku yang tampil ngotot saat debat. Tapi lelaki itu justru menimpali dengan senyum dan tenang. Akhirnya pertemuan itu berujung dengan kata sepakat.

Selesai pertemuan itu aku hendak berburu waktu mengabarkan orang tua. Sesampai dirumah pun aku langsung menghadap mereka dan memohon pada mereka. Tampak wajah terkejut tergambar jelas dari wajah mereka, lalu kucoba untuk menjelaskan pada mereka sehingga mereka bisa paham dan menerima keinginanku.

Lalu kukabarkan mas Fadlan untuk meminta lelaki itu secara formal datang melangsungkan pertemuan keluarga. Tidak perlu waktu lama, mas Fadlan juga mengabarkan bahwa lelaki itu siap datang dua hari lagi. Lalu kerepotan dan kewalahan menyelimuti rumah, pertemuan besar hendak dilakukan dirumah yang sederhana ini.

Persiapan sudah siap pada hari yang ditentukan, sanak keluarga juga sudah berkumpul menyambut sang pelamar. Aku cuma bisa memejamkan mata, sembari berdoa pada Sang Pencipta mohon izin-Nya. Ketenangan serasa menyelimuti raga, jiwa yang grogi ini tak sadar tertidur pulas sejenak. 

Ponakanku masuk, memberitahu bahwa calon pelamar sudah datang. Tak lama berselang pun aku dipanggil keluar. Dibuka oleh seorang pemuka agama, maka acara dimulai. Wali pihak lelaki mengenalkan beberapa keluarga yang datang, lalu juga diperkenalkannya sang calon dari pihak lelaki.

"Nama anak saya ini Syarif Akmal....." seru sang wali

Lalu ketika kesempatan ayah untuk berbicara, beliau banyak menanyakan pada Sang calon pria tentang banyak hal. Kadang ada beberapa pertanyaan yang bersifat dilema dalam memilih, terkadang ketika mas Akmal tersudut dengan pertanyaan ayah. Aku cuma bisa tertunduk dan memejamkan mata. Tapi atas izin-Nya, akhirnya waktu telah disepakati dan mahar cukup seperangkat alat ibadah. Pernikahan kami akan dilaksanakan 1 bulan lagi, kehidupan baru pun menanti.

Waktu terasa lama bagi aku, waktu yang dinanti tinggal menyisakan 2 hari lagi. Aku begitu sudah tertambat oleh sosoknya. Perangainya tidaklah menawan, tapi sangat bersahaja. Wawasanya luas, visi pernikahannya jelas, kesemua karena kesamaan keyakinan. Rambutnya lebat hitam pekat, semuanya terpahat sempurna.

Tetiba ada perubahan mahar pernikahan. Ayah menginginkan 22 batik yang dijual dari kerabatnya di Semarang. Entah atas dasar apa ayah menambah maharnya, ibu dan ayah pun saling adu argumen, hanya saja ayah tetap berkeinginan seperti itu. Keinginannya pun disampaikan langsung ke mas Akmal oleh ayah, sepertinya mas Akmal juga berkeberatan.

Mas Akmal minta waktu 1 jam untuk berpikir, kalau dia sanggup dia akan berangkat sore ini sepulang dari tempat kerjanya. Kalau tidak sanggup semua dibatalkan. mendengar pernyataan tegas mas Akmal rasanya seperti terpukul di ulu hati, karena kekerasan ayah untuk dipenuhi harus terucap kata batal yang menyakitkan. Waktu pun sudah mendekati keinginan mas Akmal untuk berpikir, lalu pesan singkat masuk ke ponsel ayah untuk meminta alamat yang dimaksud.

Akhirnya mas Akmal berangkat sepulang lembur kerja jam 11 malam. Waktu terasa menyiksa, itu yang bisa aku terka dari perasaan mas Akmal. Aku menyebut namanya dalam doa, memohon segalanya dimudahkan dan dilancarkan. Waktu pun sudah menandakan pergantian hari, artinya besok semuanya akan dihelat, semuanya akan menjadi awal dari buku yang ditulis bersama. Aku sulit rasanya untuk tertidur, hanya bisa berbolak balik dalam tempat peristirahatan.

Mentari meninggi, pergulatan dengan kesibukan untuk besok pun dimulai. Semua berjalan lancar hingga kini, mas akmal juga sudah sampai tujuan tadi subuh dan langsung pulang menuju Jakarta. Sore nanti mugkin dia sudah bisa sampai rumahnya. Mentari semakin menyengat, panas didapur tak tertahankan. Aku coba membaringkan badan beristirahat sejenak.

Tak terasa hari sudah sore, ibu dan keluarga masih sibuk di dapur. Aku mencoba mencari keberadaan ayah. Lalu ku dapati dia dalam keadaan wajah menempel kelantai, tapi beliau bukan hendak beribadah. Ini bukan posisi sujud menyembah, Isak tangisnya kian terdengar, bahkan air matanya semakin deras keluar begitu melihatku. Ada apa ini pikirku, tak biasanya ayah seperti ini. Apakah ini tangis bahagia atau takut karena dia harus melepaskan anak perempuannya.

Dia memelukku sembari mengatakan.

"Maafkan ayah, ayah salah, ayah egois, semua karena ayah." ucapnya dengan terbata-bata

"Kenapa ayah?" tanya ku segera

"Akmal kecelakaan, dia tewas ditempat akibat menabrak pembatas jalan. Ayah dapat kabar dari pamannya yang barusan sambil memarahi dan menyalahkan ayah." Ucap ayah

Aku cuma bisa menangis & tertunduk lemas, memohon ampun atas ayah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun