Mohon tunggu...
Alan Daka
Alan Daka Mohon Tunggu... Akuntan - Cuma mau nulis.

Dream it, taste it, make it happen..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mahar

2 Oktober 2016   13:49 Diperbarui: 2 Oktober 2016   14:16 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu terasa lama bagi aku, waktu yang dinanti tinggal menyisakan 2 hari lagi. Aku begitu sudah tertambat oleh sosoknya. Perangainya tidaklah menawan, tapi sangat bersahaja. Wawasanya luas, visi pernikahannya jelas, kesemua karena kesamaan keyakinan. Rambutnya lebat hitam pekat, semuanya terpahat sempurna.

Tetiba ada perubahan mahar pernikahan. Ayah menginginkan 22 batik yang dijual dari kerabatnya di Semarang. Entah atas dasar apa ayah menambah maharnya, ibu dan ayah pun saling adu argumen, hanya saja ayah tetap berkeinginan seperti itu. Keinginannya pun disampaikan langsung ke mas Akmal oleh ayah, sepertinya mas Akmal juga berkeberatan.

Mas Akmal minta waktu 1 jam untuk berpikir, kalau dia sanggup dia akan berangkat sore ini sepulang dari tempat kerjanya. Kalau tidak sanggup semua dibatalkan. mendengar pernyataan tegas mas Akmal rasanya seperti terpukul di ulu hati, karena kekerasan ayah untuk dipenuhi harus terucap kata batal yang menyakitkan. Waktu pun sudah mendekati keinginan mas Akmal untuk berpikir, lalu pesan singkat masuk ke ponsel ayah untuk meminta alamat yang dimaksud.

Akhirnya mas Akmal berangkat sepulang lembur kerja jam 11 malam. Waktu terasa menyiksa, itu yang bisa aku terka dari perasaan mas Akmal. Aku menyebut namanya dalam doa, memohon segalanya dimudahkan dan dilancarkan. Waktu pun sudah menandakan pergantian hari, artinya besok semuanya akan dihelat, semuanya akan menjadi awal dari buku yang ditulis bersama. Aku sulit rasanya untuk tertidur, hanya bisa berbolak balik dalam tempat peristirahatan.

Mentari meninggi, pergulatan dengan kesibukan untuk besok pun dimulai. Semua berjalan lancar hingga kini, mas akmal juga sudah sampai tujuan tadi subuh dan langsung pulang menuju Jakarta. Sore nanti mugkin dia sudah bisa sampai rumahnya. Mentari semakin menyengat, panas didapur tak tertahankan. Aku coba membaringkan badan beristirahat sejenak.

Tak terasa hari sudah sore, ibu dan keluarga masih sibuk di dapur. Aku mencoba mencari keberadaan ayah. Lalu ku dapati dia dalam keadaan wajah menempel kelantai, tapi beliau bukan hendak beribadah. Ini bukan posisi sujud menyembah, Isak tangisnya kian terdengar, bahkan air matanya semakin deras keluar begitu melihatku. Ada apa ini pikirku, tak biasanya ayah seperti ini. Apakah ini tangis bahagia atau takut karena dia harus melepaskan anak perempuannya.

Dia memelukku sembari mengatakan.

"Maafkan ayah, ayah salah, ayah egois, semua karena ayah." ucapnya dengan terbata-bata

"Kenapa ayah?" tanya ku segera

"Akmal kecelakaan, dia tewas ditempat akibat menabrak pembatas jalan. Ayah dapat kabar dari pamannya yang barusan sambil memarahi dan menyalahkan ayah." Ucap ayah

Aku cuma bisa menangis & tertunduk lemas, memohon ampun atas ayah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun