Mohon tunggu...
Taufik Alamsyah
Taufik Alamsyah Mohon Tunggu... Guru - Buruh Kognitif
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang tenaga pengajar yang hanya ingin mencurahkan pemikiran dan emosional dalam diri ke ranah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Betawi dari Masa ke Masa

11 Januari 2024   20:50 Diperbarui: 11 Januari 2024   20:56 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam sejarah Jakarta, kota ini sudah beberapa kali mengubah namanya. Mulai dari Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia dan sekarang menjadi Jakarta. Perubahan ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya ialah faktor kekuasaan. Siapa pasukan perang yang berhasil menaklukan kota Jakarta dahulu, berhak kuasa mengubah namanya sesuai keinginan pemimpin perang tersebut. 

Dari hasil perubahan-perubahan namanya, Jakarta menjadi kota yang kaya akan sebuah kesenian dan kebudayaan karena telah didiami oleh banyak suku dan etnis dari pelosok Indonesia akibat dari kebijakan setiap penguasa yang menaklukan kota Jakarta.

Kaum Betawi telah mengalami beberapa periodesasi, mulai dari awal kedatangan Belanda ke Batavia pada saat itu, sampai proklamasi kemerdekaan. Periodesasi sejarah masyarakat Betawi membentuk kepribadian kaum Betawi dalam sistem kemasyarakatan, sehingga membuat pengaruh terhadap kebudayaan dan kesenian masyarakat Betawi. Masa periodesasi masyarakat Betawi dapat dijabarkan sebagai berikut:

Periodesasi masyarakat Betawi sebelum tahun 1527

Daerah yang sekarang dikenal dengan nama Jakarta memiliki sejarah yang cukup panjang. Dari hasil penggalian arkeologi di berbagai tempat, terutama di sepanjang sungai Ciliwung, dapat dipastikan bahwa daerah itu sudah mulai dihuni orang sejak sekitar tiga ribu tahun yang lalu. 

Salah satu kerajaan tertua di Indonesia, Tarumanegara, kekuasaanya antara lain meliputi daerah sini juga. Setelah Tarumanegara runtuh, dan muncul kerajaan Sunda beberapa abad kemudian, daerah Jakarta bahkan merupakan pintu utama hubungan dagang dan politik kerajaan itu dengan yang lain. Pada masa itu daerah tersebut dikenal dengan nama Kalapa, dan setelah jatuh ke tangan Islam dalam tahun 1527, namanya diganti menjadi Jayakarta

Periodesasi masyarakat Betawi (1527-1619)

Jayakarta ialah pengganti kota sebelumnya, yaitu Sunda Kelapa. Kota ini semakin terkenal di kalangan pelaut, dikarenakan kota ini menyajikan sebuah panorama perdagangan rempah-rempah yang sangat baik kualitasnya dan sangat dibutuhkan oleh para pelaut-pelaut dari benua Eropa. Mereka datang untuk memburu rempah-rempah dan dijual ke negaranya. 

Pada abad 16 dan 17 orang-orang eropa yang terdiri atas pedagang-pedagang Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda akhirnya berdatangan ke wilayah nusantara untuk barang-barang dagangan tersebut. Kedatangan orang Barat di Indonesia terlantang oleh kesulitan mereka memperoleh rempah-rempah yang waktu itu dipersulit oleh orang Turki di Laut Tengah, akibat pertentangan agama Kristen dan Islam.

Demikian berawal dari kepentingan dagang, bangsa Eropa mulai ekspansi ke pelabuhan-pelabuhan penting. Salah satu bangsa yang mulai menggencarkan serangan ke pelabuhan-pelabuhan sentral ialah bangsa Portugis. 

Portugis setelah menaklukan pelabuhan seperti Malaka, Maluku, Jakarta pada tahun 1511, maka pada tahun 1522 D' Albuquerque mulai mengincar Kalapa dengan mengirim utusan ke penguasa pelabuhan itu untuk mendapatkan izin mendirikan sebuah benteng di Kalapa. Penguasa Kalapa menerima perjanjian dengan Portugis itu karena mengharapkan bantuan dari ancaman kerajaan Islam dari Jawa yang sudah menguasai sebagian besar pantai utara Jawa Barat, mulai dari Cirebon hingga ke Banten.

Namun, sebelum orang Portugis sempat mendirikan benteng, Sunda Kelapa sudah terlebih dahulu ditaklukan oleh tentara muslim dibawah naungan Fatahillah. Kekuatan Jawa Barat yang semakin berkembang yaitu Kesultanan Banten di sebelah barat Sunda Kelapa telah mengirimkan seorang Panglima bernama Fatahillah. Untuk menaklukan kota ini dan mengubahnya menjadi negara bawahan Banten. Ia berhasil mengusir armada Portugis, lalu mengganti nama pelabuhan ini menjadi Jayakarta, atau "kemenangan dan kejayaan".

Di bawah Kerajaan Banten, Jayakarta tidak sebesar Sunda Kelapa. Kota ini berdiri dari 1619 ketika Belanda menghancurkanya. Tidak lama setelah kejatuhanya, catatan Belanda mendeskripsikan Jayakarta sebagai sebuah kota dengan penduduk sekitar 10.000 orang yang dibangun di tepi barat Kali Ciliwung. 

Jayakarta memiliki reputasi sebagai kota perbekalan, tempat kapal-kapal dapat berlabuh di pelabuhanya yang bagus dan mendapatkan air minum yang bersih, kayu untuk perbaikan kapal, dan arak yang diproduksi oleh orang Cina yang menetap disana. Pelabuhan ini juga menjadi tempat singgah dari pedagang-pedagang India, Cina, Inggris, Belanda, dan pulau-pulau lain di nusantara untuk menunggu pergantian angin musim di sana.

Periodesasi masyarakat Betawi pada tahun (1619-1942)

Setelah takluknya Fatahillah oleh Belanda, maka Belanda mendirikan sebuah kota untuk menopang perekonomian dalam membantu persaingan dagang internasional. Belanda kala itu sedang memperebutkan sebuah kemerdekaan dari Spanyol, oleh karena itu pemerintah Belanda mengupayakan sebuah gerakan yang berbasis ekonomi. Belanda segera mengalihkan perhatianya ke Jayakarta, atau Jacatra, sebagaimana mereka menyebutnya sebagai lokasi yang berpotensi dijadikan markas besar. 

Menurut Susan Blackburn, ada beberapa alasan mengapa Belanda mengincar Jayakarta. Adapun alasan terseput ialah, pertama, seperti Banten, pelabuhan ini dekat dengan Selat Sunda yang sering dilalui oleh kapal-kapal Belanda dalam perjalanan melintasi Samudera Hindia dari dan ke Eropa melewati Tanjung Harapan; kedua, walaupun merupakan bawahan Banten, penguasanya-Pangeran Jayakarta sudah tidak lagi tunduk pada Banten dan berupaya membangun kekayaan dan kemandirian dengan cara menarik para pedagang dari Banten. Pada 1610, sebuah kontrak ditandatangani antara Belanda dan Pangeran Jayakarta yang mengizinkan VOC untuk membangun gudang-gudang di tepi timur Kali Ciliwung.

Belanda membangun kota Batavia tidak sembarangan, pihak Belanda mengusahakan Batavia menjadi kota duplicate dari Amsterdam.Fasilitas-fasilitas telah dibangun oleh Belanda. Di tengah-tengah hutan, orang Belanda membangun jalan-jalan dan kanal-kanal yang sama seperti di negrinya. Belanda sangat memeperhitungkan sekali setiap aspek-aspek bangunan yang akan dibangunya. 

Mulai dari kantor dewan sampai ke gudang-gudang. Belanda juga tak melewatkan membangun fasilitas-fasilitas yang sangat baik kualitasnya yaitu dengan membangun sarana-sarana transportasi darat maupun dari sungai. Seorang Jerman bernama Christopher Fryke yang mengunjungi Batavia pada 1680-an menganggap tempat tersebut lebih indah daripada Amsterdam.

Walaupun kekuasaanya sangat besar, VOC tidak mampu memberikan kesan Eropa yang sangat kuat terhadap kota ini. Agak mengherankan bahwa dengan sangat sedikitnya dengan jumlah orang Eropa yang ada, kota ini mampu terlihat seperti kota Eropa. Catatan-catan pada masa itu mencatat sejumlah besar kelompok etnis yang berbeda, tetapi tidak ada yang mendominasi. Sensus penduduk di dalam dinding kota pada 1673 menunjukkan hasil tersebut.

Disimpulkan bahwa wilayah Jakarta adalah wilayah yang terbuka untuk masyrakat dari manapun. Batavia adalah kota dimana masyrakat dari suku dan ras dari Indonesia maupun luar Indonesia dapat bergabung dan hidup di wilayah yang kita kenal Jakarta ini. Inilah cikal bakal Jakarta adalah kota dimana berkumpulnya masyarakat-masyarakat dari wilayah-wilayah seantero Indonesia hidup berdampingan dengan etnis Betawi. Mengapa orang-orang yang yang non Jakarta asli datang ke Jakarta pada saat itu? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang timbul sampai saat ini.

VOC adalah serikat dagang internasional, yang bertujuan untuk mengeksploitasi bahan rempah-rempah untuk dijual ke luar negri. Untuk meminimalisir keuangan, maka diambilah pekerja-pekerja yang disiksa secara ekonomi yaitu masalah upah kerja yang mencekik leher pekerja, maka diambilah para pekerja-pekerja dari Indonesia timur. 

Mengapa? Karena Indonesia timur secara letak geografis tidak terlalu jauh dari wilayah Batavia, dibanding dengan pekerja-pekerja dari India dan China yang membutuhkan waktu beberapa bulan, sedangkan Indonesia timur hanya memerlukan waktu dua minggu. Masyarakat Batavia sangat kompleks kehidupanya meliputi banyaknya etnis-etnis yang hidup berbarengan dengan etnis Betawi.

Etnis China misalnya, China adalah adalah negara yang populasinya sangat banyak di Indonesia. China datang ke Indonesia sejak zaman kerajaan. Disinilah orang-orang China mulai dari berdagang sampai menjadi budak. Belanda juga mengimpor pekerja dari China, akan tetapi setelah perkerjaanya sudah selesai, orang-orang China enggan balik ke negaranya, banyak yang menetap di Jakarta dan mencari tempat yang nyaman dan strategis untuk perkembangan bisnis dan juga kelangsungan hidupnya. 

Hal ini juga serupa untuk etnis-etnis Indonesia lainya, para pekerja yang diperjakan oleh Belanda katakanlah orang-orang Makassar, Ambon dan wilayah-wilayah Indonesia timur lainya juga menarik perhatian Belanda. Alasanya ialah, orang-orang timur Indonesia adalah orang-orang yang giat dalam bekerja secara fisik, selain itu letak geografis yang jauh antara Batavia dan wilayah Indonesia timur guna menghambat persatuan dan kesatuan yang mengancam eksistensi perdagangan Belanda. Kita tahu, mengapa Belanda enggan memperkerjakan orang-orang Jawa, salah satu alasanya ialah ketakutan Belanda jika orang-orang Jawa bersatu dan itu dapat membahayakan Belanda di Batavia.

Periodesasi masyarakat Betawi tahun 1942-1980

Sejarah Jakarta periode 1942-1949 adalah titik kebingugan, kuasa atas kota Jakarta dari berpindah dari satu pihak ke pihak lain, bahkan masa dimana kota ini pernah dikuasai tiga pihak dalam waktu bersamaan. 

Pada era inilah Batavia diganti, menjadi Jakarta. Pada tahun ini juga Jakarta dikuasai oleh Jepang. Jepang mengambil alih Jakarta dan langsung melakukan reorganisasi di Jakarta. Selain merubah nama dari Batavia ke Jakarta, Jepang juga mengupayakan penghapusan pengaruh Belanda. Salah satu aksi Jepang ialah menggusur patung pendiri Batavia yaitu Jan Pieterszoon Coen dari kehormatanya di Waterlooplein. Selain itu jalan-jalan dengan nama eropa pun diubah menjadi nama Jepang atau Indonesia. Misalnya, Van Heutsz Boulevard menjadi jalan Imamura dan Oude Tamarindelean menjadi jalan Nusantara.

Setelah kemerdekaan, Jakarta tetap menjadi kota penting bagi perkembangan Indonesia. Selain menjadi kota diplomasi, Jakarta juga menjadi basis para transmigran untuk mengadu nasib di Jakarta. Menurut Stephen Wallace yang terdapat didalam buku Muhadjir, komponen atau lapisan terbaru bahasa dan budaya Betawi berlatar adanya migrasi besar-besaran yang dilakukan secaraindividu yang melanda kota Jakarta. 

Migrasi itu memuncak sesudah masa kemerdekaan Indonesia, setelah Jakarta menjadi ibukota Republik Indonesia. Perpindahan penduduk secara individu menempatkan etnis penduduk asli, kaum Betawi, menjadi bagian kecil masyarakat Jakarta dewasa ini. Kelompok-kelompok etnis pendatang baru bersama kelompok etnis Betawi, membentuk masyarkat metropolitan, dengan bahasa Betawi yang diperbarui sebagai alat komunikasi antar kelompok penduduk Jakarta.

Pada akhir abad 19 penduduk asli Betawi terdiri atas 72. 241 orang atau 65% dari seluruh penghuni kota Batavia berjumlah 110.669 orang. Pada tahun 1930 penduduk asli berkembang menjadi 653.400 jiwa. Pada tahun tersebut kelompok etnis Sunda dan Jawa mulai merupakan kelompok yang cukup besar mendampingi penduduk asli. Komposisi penduduk saat ini terdiri atas 64,0% penduduk asli Betawi, 24,0% kelompok Sunda dan 9,2% asal Jawa.

Migrasi besar-besaran sejak Jakarta menjadi ibukota Republik Indonesia telah mengubah secara drastis komposisi penduduk Jakarta. Pada tahun 1961 penduduk asli Betawi mengecil persentasenya dari 64% menjadi hanya 22,9% saja, persentase penduduk Sunda dan Jawa masing-masing naik menjadi 32,8% dan 25,4%.

Dalam pada itu berbagai kelompok penduduk luar pulau Jawa mulai bermunculan juga. Pada tahun 1961 seluruh penduduk Jakarta sudah mencapai 2.906.500 jiwa. Sensus penduduk tahun 1971 dan tahun 1980 tidak memberikan informasi tentang kelompok etnis, melainkan menurut tempat kelahiranya untuk tahun 1971 dan menurut bahasa yang dipakai sehari-hari untuk tahun 1980. Dengan demikian penduduk Jakarta saat itu hanya dapat dibagi menjadi dua kelompok: kelahiran Jakarta dan pendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun