Mohon tunggu...
Alamsyah M. Djafar
Alamsyah M. Djafar Mohon Tunggu... -

Menulislah hingga masa dimana kita tak bisa lagi menulis. http://alamsyahdjafar.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Anak Lantai

5 Mei 2011   08:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:03 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tolooooong !!! Tolooooong!!! Tolooong !!! Teriak seorang perempuan paruh baya memecah pagi. Pukul lima. Teriakan bercampur tangisan mirip lolongan panjang serigala betina di hutan tak bertuan itu membangunkanku tiba-tiba. Juga isteriku. Sambil mengerjap mata, aku kumpulkan kesadaran, mencari tahu apa yang terjadi. Kulihat isteriku sudah berdiri di balik jendela kamar, mengibas gorden, membuka jendala, lalu melongok keluar. Dari balik gorden yang tersingkap itu kulihat perempuan paruh baya itu mondar-mandir di depan rumah, dan masih berteriak-teriak minta tolong. Tolooooong!!!! Tolooooong!!! Tolooong !!!! Perempuan itu tetangga kami.

Buru-buru ku raih jaket yang tergantung di balik pintu dan langsung menghambur keluar. Isteriku sudah lebih dulu. Baru keluar dari pintu rumah, perempuan itu menodongku.

“Pak, tolong pak, anak saya mau melahirkan!!!” katanya setengah berteriak sembari menunjuk rumah di sebelah  Selatan dan berjalan ke rumah yang ditunjuk itu. Ia masih menangis. Persis di depan rumah yang pintunya terbuka, ia langsung menutup mata dan berlari kearahku, dan tiba-tiba berjongkok sambil menutup mata. “Saya lemas pak. tidak tahan melihatnya!!!”

“Ya, bu, tenang …tenang saja,” hiburku

Aku masuk ke dalam rumahku, dan keluar lagi dengan menuntun sepeda motor. Niatnya membawa anak perempuannya yang akan melahirkan itu ke bidan terdekat agar segera mendapat pertolongan persalinan. Padahal aku sendiri sebetulnya tak tahu di mana lokasi bidan terdekat di tempat ini. Sungguh aku belum pernah menghadapi situasi macam ini.

Di depan rumah yang ditunjuk perempuan paruh baya tetanggaku itu, bocah perempuan lima tahun ku lihat menangis kencang. Matanya terus memandang ke dalam rumah. “Mama!!! Mama!!!”

“Bayinya sudah mau keluar!!!” teriak isteriku yang wajahnya pucat pasi. Ia berdiri mematung, menancap bumi, persis di depan rumah yang ditunjuk perempuan paruh baya tetanggaku. Tangis bocah perempuan itu makin kencang.

Aku tambah bingung. Kalau bayi sudah separuh keluar, jelas tak mungkin lagi membawanya dengan sepeda motor. Satu-satunya jalan, memanggil bidan datang ke sini. Si perempuan paruh baya tetangga kami tadi sudah tak ada. Mungkin meminta pertolongan ke tetangga lain.

Dari dalam rumah, terdengar teriakan si ibu muda mengejan. Aku makin bingung. Aku laki-laki, tak punya pertalian saudara. Tak mungkin masuk melihat dan menolongnya. Lagi pula, kalau sudah di dalam pun aku tak tahu apa yang bisa kulakukan untuk menolongnya? Aku tak memiliki keahlian membantu persalinan.

Isteriku masih terlihat bingung, gugup. Di depan rumah itu dia mematung mirip tiang listrik. Dia belum pernah melahirkan dan memang tak punya pengalaman menghadapi orang yang sedang melahirkan.

“Ke dalam!!!” perintahku
“Ngapain?”

Seperti mendapat serangan balik tak terduga, pertanyaan itu tak bisa ku jawab segera. Ngapain ya? Aku terdiam beberapa saat.

“Apa saja yang bisa kamu lakukan!!!”

“Aku juga bingung harus bantu apa?” kata isteriku lagi

Owek!!! Owek!!!

Suara itu kian mengintimidasi dan membuat suasana pagi yang dingin itu gerah.

Tolong bayiku!!!! Teriak si ibu. Suaranya memelas, pelan tak bertenaga, dikuras usahanya mengeluarkan si jabang bayi. Setelah itu tak lagi kudengar suaranya.

Kebingungan bertambah berkali-kali lipat. Jantungku berpacu lebih kencang.

“Bantu angkat bayinya!!!” teriaku lagi pada isteriku yang masih saja di depan pintu itu.
“Tali pusarnya masih tersambung dengan ibunya!!!”

Isteriku tetap tak bergerak dari posisi semula.

Rupanya bayinya sudah keluar dari rahim dan tali pusarnya masih belum diputus.

Sialnya bidan yang ditunggu-tunggu belum juga tiba. Lelaki penjemput bidan yang tadi meminjam sepeda motorku rasanya juga belum lama keluar.

“Bayinya bagaimana sekarang?” tanyaku lagi kepada isteriku
“Di lantai!!!”
“Hah!!!”
“Di lantai mana?”
“Dekat pintu ini”

Dalam situasi mencekam itu, untung saja seorang ibu muda beranak satu yang tinggal bersebelahan datang dan langsung masuk ke dalam rumah untuk menolong . Entah apa yang dilakukan. Aku tak bisa melihat ke dalam.

Tangis si bayi itu sudah tak lagi terdengar. Juga suara ibunya.

Kebingunganku kian menjadi-jadi. Jangan-jangan? Ah, aku makin yakin saja cerita orang bahwa perjuangan sang ibu saat melahirkan itu adalah situasi di titik hidup dan mati. Dan mereka yang meninggal akibat melahirkan itu karena tak mendapat pertolongan semestinya. Terkadang, mereka meninggal karena miskin.

Beruntung, para tetangga mulai berdatangan. Sebagian masuk ke dalam rumah. Sebagian bergeromb0l di depan pintu. Kedatangan mereka membuat tanggung jawabku untuk menolong terbagi.

“Kasih teh hangat biar kuat!!!,” saran seorang ibu yang ada di depan pintu.
Isteriku langsung pergi ke dapur rumah kami untuk menjerang teh. Tak lama sudah keluar lagi dengan membawa gelas berisi teh hangat yang diminta. Kali ini ia amat sigap. Kalau menjerang teh adalah pengalaman barunya, mungkin saja ia juga gugup dan mematung lagi.

“Ada Baskom?” teriak salah seorang ibu yang berkerumun di depan pintu.
“Untuk apa?” tanyaku
“Untuk ari-ari!”

Kini aku yang sigap mengambil baskom.

“Bagaimana?,” tanyaku ingin tahu kondisi terbaru.
“Bayinya sudah dipindah ke atas kasur”
“Syukur”
“Tapi, tali pusarnya belum di potong. Tunggu bidan!!!”

Tak lama suara motor makin dekat. Lelaki penjemput itu akhirnya datang sambil membonceng seorang bidan perempuan yang membawa kotak peralatan. Aku taksir usianya di atas 35 tahun. Pelan-pelan bidan yang mengenakan baju warna putih berkerah hijau muda itu turun dari motor lantas memberi salam. Wajahnya tersenyum, ceria, seperti fajar yang kian terang, seolah tak pernah terjadi sesuatu yang mencekam. Aku -- juga para tetangga yang tengah berkumpul itu kukira—gembira. Ah, tapi mengapa kedatangannya mirip polisi-polisi kita dalam sinetron-sinetron yang seringkali datang terlambat?

“Rupanya si bayi memang tak mau merepotkan. Lahirnya ingin di lantai!” kata isteriku pada perempuan paruh baya tetangga kami. Yang diajak bicara tersenyum. Wajahnya lebih ceria sekarang []

Kamis, 28 April 2011, Depok, Bantaran Kali Ciliwung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun