Mohon tunggu...
Alamsyah M. Djafar
Alamsyah M. Djafar Mohon Tunggu... -

Menulislah hingga masa dimana kita tak bisa lagi menulis. http://alamsyahdjafar.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Anak Lantai

5 Mei 2011   08:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:03 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Bayinya bagaimana sekarang?” tanyaku lagi kepada isteriku
“Di lantai!!!”
“Hah!!!”
“Di lantai mana?”
“Dekat pintu ini”

Dalam situasi mencekam itu, untung saja seorang ibu muda beranak satu yang tinggal bersebelahan datang dan langsung masuk ke dalam rumah untuk menolong . Entah apa yang dilakukan. Aku tak bisa melihat ke dalam.

Tangis si bayi itu sudah tak lagi terdengar. Juga suara ibunya.

Kebingunganku kian menjadi-jadi. Jangan-jangan? Ah, aku makin yakin saja cerita orang bahwa perjuangan sang ibu saat melahirkan itu adalah situasi di titik hidup dan mati. Dan mereka yang meninggal akibat melahirkan itu karena tak mendapat pertolongan semestinya. Terkadang, mereka meninggal karena miskin.

Beruntung, para tetangga mulai berdatangan. Sebagian masuk ke dalam rumah. Sebagian bergeromb0l di depan pintu. Kedatangan mereka membuat tanggung jawabku untuk menolong terbagi.

“Kasih teh hangat biar kuat!!!,” saran seorang ibu yang ada di depan pintu.
Isteriku langsung pergi ke dapur rumah kami untuk menjerang teh. Tak lama sudah keluar lagi dengan membawa gelas berisi teh hangat yang diminta. Kali ini ia amat sigap. Kalau menjerang teh adalah pengalaman barunya, mungkin saja ia juga gugup dan mematung lagi.

“Ada Baskom?” teriak salah seorang ibu yang berkerumun di depan pintu.
“Untuk apa?” tanyaku
“Untuk ari-ari!”

Kini aku yang sigap mengambil baskom.

“Bagaimana?,” tanyaku ingin tahu kondisi terbaru.
“Bayinya sudah dipindah ke atas kasur”
“Syukur”
“Tapi, tali pusarnya belum di potong. Tunggu bidan!!!”

Tak lama suara motor makin dekat. Lelaki penjemput itu akhirnya datang sambil membonceng seorang bidan perempuan yang membawa kotak peralatan. Aku taksir usianya di atas 35 tahun. Pelan-pelan bidan yang mengenakan baju warna putih berkerah hijau muda itu turun dari motor lantas memberi salam. Wajahnya tersenyum, ceria, seperti fajar yang kian terang, seolah tak pernah terjadi sesuatu yang mencekam. Aku -- juga para tetangga yang tengah berkumpul itu kukira—gembira. Ah, tapi mengapa kedatangannya mirip polisi-polisi kita dalam sinetron-sinetron yang seringkali datang terlambat?

“Rupanya si bayi memang tak mau merepotkan. Lahirnya ingin di lantai!” kata isteriku pada perempuan paruh baya tetangga kami. Yang diajak bicara tersenyum. Wajahnya lebih ceria sekarang []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun