Menurut Romo Sandyawan Sumardi, penggusuran warga Kampung Pulo dengan cara-cara kekerasan merupakan kilmaks arogansi AHOK yang lebih berpihak pada kelas sosial menengah ke atas dan rela mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.
Romo Sandyawan Sumardi juga mengungkapkan bahwa perjuangannya bersama Ciliwung Merdeka untuk membela warga Kampung Pulo lebih berat dibandingkan saat ORBA. Menurut Romo Sandyawan Sumardi, saat ORBA yang mereka lawan hanyalah pemerintah, sedangkan saat ini, selain melawan pemerintah mereka juga harus melawan kelas social menengah ke atas yang mendukung AHOK.
Bahkan stigma-stigma negative yang dilancarkan secara sistematis oleh kelas menengah ke atas pendukung AHOK melalui media social lebih sadis dibandingkan penggusuran di era ORBA.
Romo Sandyawan Sumardi pun menceritakan bahwa sejak awal warga Kampung Pulo menolak dengan cara kekerasan karena mereka sadar tidak akan pernah menang melawan pemerintah jika menggunakan “otot”. Karenanya, Romo Sandyawan Sumardi meminta kepada 60 pakar dari berbagai disiplin ilmu untuk melakukan kajian secara historis, ekonomi, geologis dan sosial budaya di Kampung Pulo. Hingga lahirlah konsep Kampung Susun sebagai solusi penataan Kali Ciliwung.
Sayangnya, pemprov selalu menolak berdialog dengan warga. Padahal menurut Romo Sandyawan Sumardi, ketika masih menjadi anggota DPR dan hendak mencalonkan diri jadi gubernur melalui jalur independent, AHOK pernah datang ke Kampung Pulo tanpa ada permintaan dari warga. Begitu juga saat kampanye Pilgub 2012, Jokowi-AHOK juga datang ke Kampung Pulo untuk meminta dukungan. Saat itu Warga Kampung Pulo menyambut Jokowi-AHOK dengan suka cita dan diberi jamuan ala kadarnya, teh manis dan singkong rebus.
Bahkan dalam pertemuannya dengan masyarakat miskin di beberapa perkampungan kumuh, Jokowi-AHOK pernah menjanjikan akan memberikan sertifikat kepada warga yang telah tinggal minimal 20 tahun.
Saat kampanye Jokowi-AHOK berjanji tidak akan menggusur pemukiman kumuh bahkan akan mempermudah sertifikasi lahan untuk warga di perkampungan di Jakarta yang sudah menghuni lebih dari 20 tahun seperti dikutip oleh Gatra.com (20/9/2012).
Hingga akhirnya pada tanggal 24 Juli 2015, Romo Sandyawan mencegat Ahok di Balai Kota minta beraudiensi. Ciliwung Merdeka pun memaparkan konsep Kampung Susun yang mereka buat. Ahok pun setuju dengan gagasan tersebut dan berjanji akan menindaklanjutinya. Salah satu angin surga yang diberikan adalah tanah warga akan diukur untuk diganti sebesar 1,5 kali lipat dalam ‘Kampung Susun’ yang kelak dibangun di Kampung Pulo.
Sayangnya, janji politisi hanyalah janji kosong. Dasar lidah tak bertulang. Pada pertemuan tanggal 4 Agustus 2015, Ahok menganulir rencana Kampung Susun. Ia bersikukuh tetap akan merelokasi warga ke rumah susun yang dibangun pemprov. Lebih menyakitkan lagi, Ahok bahkan menuding warga Kampung Pulo sebagai warga liar yang menduduki tanah negara.
Sayangnya, meskipun telah menuding warga Kampung Pulo sebagai warga liar yang menduduki tanah negara, hingga detik ini AHOK tak mampu menunjukkan bukti bahwa Kampun Pulo adalah tanah negara. Klaim AHOK harus dibuktikan karena sesuai pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 yang telah diubah dengan pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Negara/Daerah, mewajibkan instansi pemerintah, bahwa barang milik negara/daerah berupa tanah harus disertifikatkan. Selama ini AHOK hanya menuduh, tapi faktanya AHOK juga tidak pernah menunjukkan sertifikat bahwa tanah Kampung Pulo merupakan tanah negara.
Bunyi Pasal 43 ayat 1: