"Oke, Bang. Tidak masalah, asal Abang mau kawin dengan aku!" katanya. Mulutnya tersenyum lebar.
"Dasar perempuan aneh!" gumamku. Aku meninggalkan warung kopi tanpa menoleh kepada Sari.
Walaupun aku sudah mengajak Sari bertemu setiap Sabtu dan Minggu pagi, tapi itu hanya basa-basi. Aku berharap tidak pernah bertemu lagi dengan Sari yang aneh itu. Lebih baik aku melajang dari punya istri perempuan aneh.
Namun aku tidak menyangka, ternyata pertemuan kami terus berlanjut. Aku mencoba untuk menghindari pertemuan itu. Tapi semakin aku ingin menghindar, justru perasaan ingin bertemu semakin kuat.
Semua hal yang aku anggap aneh tentang Sari, justru membuat aku tertantang untuk lebih dekat dengannya. Aku pikir dia berbeda dengan wanita yang pernah aku temui.
Setiap kali kami bertemu, Sari selalu mengajak aku menikah. Akhirnya aku putuskan untuk membiarkan takdir berjalan secara alami.
Seiring dengan berjalannya waktu, aku dan Sari menikah. Pernikahan kami hanya dirayakan dengan sederhana. Resepsi hanya dihadiri Saudara dan tetangga serta teman-teman dekat.
Selama sebulan kami menikah tingkah aneh sari semakin menjadi-jadi. Dia sering tertawa sendiri. Terkadang dia ngomel sendiri. Bahkan dia sering marah-marah tak jelas penyebabnya.
Sebelum kami menikah, keanehan tingkah lakunya tidak separah setelah menikah. Aku semakin bingung karena tidak tahu apa yang terjadi dengan Sari.
"Praaaak!" Sari melempar piring yang ada di atas rak, hingga pecah berkeping-keping di atas lantai dapur. Padahal dia sendiri yang menyusun piring itu setelah dicuci usai makan malam tadi.
Aku buru-buru pergi ke dapur untuk memastikan apa yang terjadi. Aku lihat Sari menangis sambil duduk menyender di dinding dapur. Tangannya ditumpangkan di atas lutut