Mohon tunggu...
AL ARUDI
AL ARUDI Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Lebih baik menghasilkan tulisan yang buruk, daripada tidak menulis apa-apa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bik Anyun Penjual Keripik Singkong

30 Juli 2024   20:21 Diperbarui: 2 Agustus 2024   14:41 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wanita tua penjual keripik singkong (Gambar oleh congerdesign dari Pixabay)

Sebuah pantai di tepi laut, diapit oleh deretan pohon cemara melambai-melambai, terdapat sebuah warung sederhana yang menjual keripik singkong. Bik Anyun duduk di  balik meja kayu yang sudah usang. Dengan rambut yang mulai memutih dan tangan penuh keripik, dia menghabiskan hari-harinya menjajakan keripik singkong buatannya sendiri kepada pengunjung pantai.

Setiap pagi, Bik Anyun bangun sebelum matahari tersenyum untuk menyiapkan keripik yang segar. Tangannya yang kurus dan sudah keriput, mencuci singkong, mengupasnya dengan hati-hati, lalu mengirisnya tipis-tipis sebelum menggorengnya hingga crispy. 

Meski usia Bik Anyun sudah senja, semangatnya tak pernah pudar. Dia Juga tidak pernah mengeluh, ketika pembeli sepi. Bagi Bik Anyun rezeki sudah diatur oleh Allah. Dia selalu tersenyum ketika menyapa pelanggan yang datang.

Sayangnya, di balik senyumnya yang tulus, ada duka yang tersimpan di hati Bik Anyun. Dua anaknya, Wiwin dan Yuni, hidup dalam kemewahan dan jarang mengingat sosok ibunya. 

Bik Anyun tak mengharapkan  harta anaknya. Kebahagian bagi Bik Anyun, Jika kedua putrinya itu meluangkan waktu untuk mengunjunginya. Di usianya yang sudah tujuh puluh delapan  tahun, hidupnya tidak dipenuhi tuntutan materi lagi. Hanya kedatangan kedua putrinya itulah yang mampu meredam kerinduannya.

Perasaan Bik Anyun baru kemarin dia melepaskan payu daranya untuk menyusui kedua putrinya itu. Tak terasa saat ini kedua putrinya itu sudah hidup menjauh darinya. Bahkan kedua putrinya seperti melupakannya, karena mereka disibukkan oleh mencari uang.
****
Wiwin dan Yuni tinggal di sebuah rumah besar di tengah kota, dikelilingi oleh barang-barang mahal dan mobil keluaran baru. Kehidupan mereka yang berkecukupan membuat mereka sangat sibuk dengan pekerjaan dan kesenangan masing-masing, sehingga mereka tidak peduli dengan kehidupan Bik Anyun yang sederhana di tepi pantai.

Suatu hari, Wiwin dan Yuni merencanakan liburan ke pantai yang sama. Mereka bersemangat menghabiskan waktu, bersenang-senang, dan menikmati kebersamaan. Namun, dalam perjalanan itu, mereka sama sekali tidak sadar bahwa warung keripik ibunya berada di pantai yang mereka datangi. 

Ketika mereka tiba, suara tawa dan riuhnya ombak seolah membuat mereka melupakan apa yang ada di sekitar. Mereka sangat asyiknya menikmati hembusan angin dan nyanyian burung camar. Mereka tak sadar sebuah mata tua dan hampir keriput menatap mereka penuh rindu  dari balik warung sederhana.

“Wiwin, lihat! Ada keripik singkong di sana! Wajah penjualnya seperti orang tua yang pernah kita lihat. Ayo kita coba!” seru Yuni bersemangat. Tiba-tiba mata Yuni menatap ke warung ibunya.

Wiwin hanya mengangguk sambil sibuk dengan ponselnya. “Tunggu sebentar, saya ingin memposting foto ini ke media sosial.” kata Wiwin. Jari dan matanya terpusat penuh ke layar gawainya.

Yuni mendekati warung. Dia mengabaikan Wiwin yang asyik dengan ponsel-nya. Ketika dia memegang sebungkus keripik singkong yang masih hangat, dia melihat sosok wanita tua di balik meja. Matanya terbelalak, mengenali wajah yang sudah lama tidak dia lihat.

“Ibu!” seru Yuni, terkejut sekaligus bingung.

Bik Anyun menoleh, dan seolah tak percaya, kedua mata tuanya membesar. Yuni? Anakku?” suaranya bergetar. Wajahnya yang sudah berkedut senyum sumringah. 

Sejenak, kebahagiaan melingkupi mereka, namun kebahagiaan itu tersisih oleh rasa canggung. 

Wiwin yang masih asyik dengan ponselnya pun ikut melirik. Dia pun teringat, sering sekali ibunya mengajak mereka berkunjung, tetapi mereka selalu beralasan sibuk.

“Ya ampun, Ibu. Sudah lama sekali kita tidak bertemu,” Yuni mengucapkan kata-kata tersebut dengan sedikit rasa bersalah.

Bik Anyun tersenyum morat-marit, namun hatinya berbunga-bunga. Dia tak pernah merasa benci dengan kedua anaknya itu. Kedatangan kedua anaknya merupakan obat penawar rindu baginya. Benarlah kata pepatah: Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah. “Ibu tidak apa-apa, Nak. Yang penting kalian baik-baik saja.” ujar Bik Anyun tersenyum. 

Namun, Wiwin tidak terlalu tertarik dan segera kembali ke ponselnya. “Yuni, ayolah kita ambil foto untuk diunggah. Ibu, terima kasih ya untuk keripiknya!” seru Wiwin, sambil memposisikan kamera.

Kejadian ini tidak luput dari perhatian Bik Anyun. Dia merasakan betapa anak-anaknya terpisah dari kehidupannya. Senyumnya tak lagi tulus; ada getir yang dijamin di balik setiap keripik yang dia goreng. Alih-alih berbincang dan berbagi cerita, Wiwin dan Yuni lebih memilih mengabadikan momen untuk media sosial.

Setelah beberapa hari di pantai, Wiwin dan Yuni kembali ke kehidupan mereka yang sibuk. Bik Anyun kembali melanjutkan rutinitasnya, tetap menjajakan keripik singkong di tepi pantai, berharap suatu hari anak-anaknya akan mengingatnya bukan hanya sebagai penjual keripik, tetapi juga sebagai ibu mereka.
***
Waktu berlalu, dan suatu hari , Wiwin mendapatkan sebuah pesan di ponselnya. Sebuah foto dari Yuni mengingatkan mereka tentang liburan di pantai beberapa waktu yang lalu. Pada foto itu, tampak Bik Anyun tersenyum di samping mereka, dengan keripik singkong di tangan.

“Coba, kita ajak Ibu ke rumah kita!” saran Yuni. 

Namun, Wiwin meragukan gagasan itu. Dia berpikir, apa yang bisa dilakukan Ibu di rumah mereka yang megah?

Namun, setelah beberapa kali berdiskusi, mereka setuju untuk mengundang Bik Anyun ke rumah.

Hari itu tiba. Ketika Bik Anyun datang, rumah megah itu terlihat asing baginya. Saat melangkah masuk, berbagai barang mahal dan lampu kristal seolah menyilaukan matanya. Namun, dia berusaha tersenyum. Bik Anyun merasa canggung memasuki rumah mewah itu. Kaki tuanya yang sudah keriput gemetar menapaki lantai keramik bergaya Eropa. “Wow, cantik sekali!” seru Bik Anyun tulus.

Wiwin dan Yuni berusaha memperlakukan ibu mereka dengan baik, tetapi percakapan mereka lebih banyak berputar pada kegiatan mereka yang sibuk mencari uang. Bik Anyun merasa seperti tamu di rumah anaknya sendiri.

Akhirnya, setelah beberapa jam, Bik Anyun meminta izin untuk pulang. “Ibu masih ada yang harus dikerjakan di warung.” jelas Bik Anyun dengan wajah menyimpan kekecewaan.

"Iya,Bu!" jawab Wiwin dan Yuni hampir berbarengan dengan nada datar. Mereka tidak bangkit dari tempat duduknya. Mereka hanya membiarkan Bik Anyun melangkah sendiri ke luar.

Bik Anyun pulang dengan menumpang angkot. Tidak ada basa-basi sedikit pun kedua putrinya untuk mengantarnya pulang. Padahal ada dua buah mobil bagus yang menganggur di garasi rumah anaknya itu.

Namun Bik Anyun ikhlas dengan perlakuan kedua putrinya. Pikir Bik Anyun kedua putrinya sedang sibuk. Sebab sedari tadi Wiwin dan Yuni hanya bicara soal bisnis mereka.

Dalam perjalanan pulang, dia merenung. Dia mulai menyadari bahwa harta dan kemewahan yang dimiliki anak-anaknya tidak membatasi hubungan mereka.  Sebab kedua putrinya itu masih menerima kedatangannya, walaupun mereka acuh. Dia rindu saat-saat ketika mereka duduk bersama, menikmati keripik singkong, dan berbagi tawa.

Setiba di rumah Bik Anyun berpikir. Dia mencari cara bagaimana untuk mengukur rasa sayang kedua putrinya itu kepadanya. Terlintas di kepala wanita tua itu untuk berpura-pura sakit. Dia ingin mengabarkan kepada kedua putrinya itu, bahwa dia sakit.
Tapi, "Akh, bagaimana nanti kalau aku sakit  beneran?" gumam Bik Anyun. Akhirnya dibatalkannya rencana itu. 

Tiba-tiba bibir keriputnya senyum sumringah. Sebuah cara melintas di kepala Bik Anyun. Dia yakin cara itu akan membuat kedua putrinya akan datang kembali menemuinya.

***

Beberapa minggu setelah kunjungan Bik Anyun, Wiwin dan Yuni menerima pesan dari Bik Anyun. Pesan itu dibawa oleh seseorang yang kenal dengan kedua putri Bik Anyun. Orang yang membawa pesan itu masih bertetangga dengan Bik Anyun. 

“Aku akan membuat pesta keripik singkong di pantai. Kembalilah ke asal kita. Ayo datang!” Isi pesan Bik Anyun yang ditulisnya di kertas. Bik Anyun tidak punya ponsel.

Terkejut, Wiwin dan Yuni terenyuh. Mereka berdua sepakat untuk datang, kali ini bukan untuk berphoto, tetapi untuk merasakan cinta yang terkubur di dalam keluarga mereka.

Hari pesta pun tiba. Suara tawa dan gelak kebahagiaan menggema di sepanjang pantai. Wiwin dan Yuni membantu Bik Anyun menggoreng keripik, menceritakan kenangan indah masa kecil mereka.

Bik Anyun melihat anak-anaknya dan merasa semua hal telah kembali ke tempatnya. Mereka tidak lagi dipisahkan oleh kesibukan hidup, namun dipersatukan oleh kasih sayang dan keripik singkong yang mengingatkan mereka akan cinta yang tulus.

Pada akhirnya, keripik singkong bukan hanya sekedar makanan; tetapi menjadi jembatan yang menghubungkan kembali tali kasih antara Bik Anyun dan anak-anaknya. Dan di tepi pantai, di bawah cahaya matahari senja, mereka menemukan bahwa keluarga adalah segalanya.

"Nanti kita akan kembangkan keripik singkong buatan Ibu. Warung Ibu akan kita bangun lebih modern. Kita buat kemasan keripik singkong Ibu seindah mungkin, agar pembeli tertarik," kata Wiwin sambil menatap Bik Anyun dan Yuni

"Ada yang lebih penting. Mulai saat ini Ibu tidak boleh lagi jualan keripik singkong. Ibu harus tinggal bersama kami. Kita akan membayar orang untuk menjaga toko keripik singkong milik Ibu!" ujar Yuni sambil memeluk ibunya.

Bik Anyun dan Wiwin tersenyum sambil manggut-manggut. Mereka berdua sangat setuju dengan ide Yuni. 

Kemudian Wiwin dan Yuni bersimpuh di kaki ibunya. Mereka menyesal telah menyia-nyiakan ibunya dulu. Air mata mereka berdua berderai di kaki ibunya.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun