Namun aku tidak boleh egois. Sebagai suami aku harus melindungi dan menjaga istriku dari semua hal yang membuat dia tidak nyaman dan  ketakutan.
Aku akan berusaha mengeluarkan guci itu dari rumahku. Tapi bagaimana caranya? Jika dipecah dan dibuang, aku merasa tidak tega. Lagi pula itu sama saja dengan tidak menghargai pemberian Tono.
Terpikir olehku untuk menjual guci itu. Semua teman di kantor, teman masa kecil, teman masa sekolah, bahkan teman baru kenal aku tawarin semuanya. Tapi tidak satu pun di antara mereka yang tertarik membeli guci itu.
***
Pagi ini hari Minggu, aku libur bekerja. Istriku mengajak pergi ke pasar tradisional untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Istriku mengajak berhenti di sebuah toko kelontong milik orang keturunan Tionghoa.
Istriku membeli tepung terigu curah untuk membuat kue. Tepung terigu curah itu, oleh pemilik toko ditaruh dalam guci yang mirip dengan guci di rumah aku. Aku tertarik untuk bertanya perihal guci itu kepada pemilik toko.
"Guci ini bagus ya, Ko!" kataku sambil memegang pinggir mulut guci wadah tepung terigu itu
"Wah, guci ini sudah ratusan tahun umurnya. Guci tua ini sudah turun temurun dari kakek buyut kami," jelas pemilik warung dengan dialek Tionghoa sambil tersenyum kepada aku.
Aku manggut-manggut. Aku percaya apa yang dikatakan pemilik warung. "Aku juga punya guci seperti ini, Ko, di rumah," ucapku.
"Jika benar guci yang Abang punya sama persis seperti ini, aku akan beli dua puluh  juta!" ujar pemilik warung dengan serius.
Mata aku terbelalak mendengar penuturan pemilik toko. Bagiku yang bekerja hanya sebagai karyawan biasa, uang dua puluh juta sangatlah besar nilainya. Tanpa basa-basi lagi, aku langsung menjual guci tua yang aku punya kepada pemilik toko itu.
Ternyata ucapan pemilik toko sembako di pasar tradisional itu tidak main-main. Keesokan harinya dia datang ke rumahku. Setelah meneliti keaslian guci tua itu, uang dua puluh juta masuk ke kentongku.