"Setelah itu aku terhenyak dari tidurku. Aku lihat tubuhku berkeringat. Jantungku berdebar!" cerita istriku ketika kami berkumpul kembali di meja makan.
"Itu karena Ibu melarang aku menaruh ikan dalam guci itu!" Anakku membalas cerita ibunya sambil tertawa kecil.
Mataku membulat menatap ke arah anakku. Aku tidak suka anakku berkata seperti itu kepada ibunya. Biar bagaimanapun seorang anak tidak boleh melawan ibu.
Anakku langsung terdiam sambil senyum dikulum. Tampaknya dia mengerti dengan isyarat mata yang aku kirim kepadanya.
"Mimpi itu hanya bunga tidur, Dek! Mungkin karena adek tidak suka dengan kehadiran guci tua itu, sehingga sampai terbawa ke alam mimpi!" Aku  menatap istriku yang sedang menyantap makan malam di atas meja.
"Kamu selalu begitu, Bang! Tidak pernah sekalipun Abang langsung menerima kata-kata aku. Selalu ada saja alasan Abang! Abang ingin kalau aku cepat mati, ya? Supaya Abang bisa kawin lagi!" ucap istriku dengan nada tajam.
Aku hanya geleng-geleng kepala sambil menatap istriku. Aku menyambar gelas berisi air minum di hadapanku. Setelah air minum melewati kerongkongan, aku tinggalkan meja makan. Aku tidak mau berdebat dengan istriku, apalagi di depan anakku
Namun ternyata mimpi yang dialami istriku tidak hanya sekali. Hampir setiap malam istriku mengalami mimpi yang sama. Setiap kali kami berkumpul, selalu saja istriku mengomel perihal kehadiran guci tua itu.
Karena capek menghadapi omelan istriku, akhirnya aku putuskan untuk mengembalikan guci tua itu kepada Tono, tetanggaku yang telah memberikan guci itu. Aku menemui Tono di rumahnya yang baru.
Tono menolak mengambil guci itu. Tono beralasan, barang yang sudah diberi tidak boleh diambil kembali. Sudah puluhan tahun Tono sekeluarga menyimpan guci itu, tidak pernah mereka  bermimpi seperti yang dialami istriku.
Aku pikir apa yang dikatakan Tono benar. Aku sendiri tidak pernah merasa ada masalah aneh dengan guci itu. Dan aku juga tidak pernah bermimpi macam-macam berkaitan dengan guci tua itu.