Pak Budiman baru usai jogging di sekitar taman kota. Peluh membasahi tubuhnya. Mentari sudah mulai naik, sehingga panasnya mulai terasa menyengat.Â
Pak Budiman melangkah ke area taman yang banyak terdapat bangku dan aneka tanaman. Dia menarik nafas dalam-dalam sambil mengangkat tangannya. Dihembusnya nafasnya pelan-pelan untuk merenggangkan otot-ototnya setelah berolah raga tadi.
Pak Budiman merasa tubuh dan pikirannya segar setelah melakukan jogging. Segala keruwetan yang memenuhi otaknya amblas. Sehari- hari dia disibukkan oleh rutinitas di kantornya.
Pak Budiman melihat ada seorang anak kecil duduk sendirian di bangku dekat pojok taman. Bocah laki-laki itu pakaiannya tampak kumal seperti tak terurus. Sebenarnya sudah sejak tadi Pak Budiman melihat anak itu dari jauh, tapi belum sempat untuk mendekatinya.
Hati Pak Budiman terenyuh melihat bocah laki-laki yang nampak kurus dan kucel itu. Pak Budiman segera mendekati bocah itu.
"Kamu sendirian ya, Nak?" tanya Pak Budiman. Kemudian Pak Budiman duduk di sebelah bocah lelaki itu.
Bocah itu menatap Pak Budiman. Bibirnya melengkung ke bawah. Matanya tampak sembab seperti kurang tidur. Dia hanya mangggut-manggut lesu menjawab pertanyaan Pak Budiman.
Pak Budiman semakin kasihan melihat bocah itu. "Nama kamu siapa, Nak?tanya Pak Budiman lagi
"Adit." jawab anak itu
"Rumah kamu dimana? Kedua orang tua kamu di mana?"Â
"Aku tidak punya rumah. Kedua orang tuaku sudah meninggal dua tahun yang lalu," jelas Adit.
Hati Pak Budiman terasa lumer. Pak Budiman membayangkan betapa sulitnya kehidupan anak ini. Masih kecil sudah Luntang lantung cari makan sendiri tanpa memiliki rumah dan orang tua.
"Selama ini Adit makan dari mana? Kalau malam Adit tidur di mana?" tanya Pak Budiman lagi disertai perasaan sedih.
Mata Adit yang cekung berkaca-kaca mendengar pertanyaan Pak Budiman. "Selama ini aku makan dari mengumpulkan botol-botol bekas, Om. Kalau tidur di mana saja, yang penting terlindung dari hujan!" ujar Adit.
Pak Budiman geleng-geleng kepala. Dia benar- benar tidak tega melihat Adit.Â
"Adit sudah makan belum?" tanya Pak Budiman. Dia menatap wajah Adit. Pak Budiman yakin Adit pasti lapar. Dia bisa melihat dari raut wajah Adit.
"Belum,Om. Saya baru bisa beli makanan setelah menjual botol-botol bekas. Saat ini saya belum punya uang. Oleh sebab itu dari pagi saya  sudah nunggu di taman ini. Saya berharap ada pengunjung taman yang membuang botol-botol minuman bekas, agar saya bisa memungutnya."
"Ya sudah, Adit ikut Om cari makanan ya. Nanti kita makan," ajak Pak BudimanÂ
Adit merasa malu untuk ikut ajakan Pak Budiman." Tidak usah, Om. Saya sudah biasa kok belum  makan hingga jam segini."
"Kamu harus makan Adit! Nanti kalau kamu sakit bagaimana?"
Akhirnya Adit menuruti ajakan Pak Budiman. Dia memang lapar, tapi dia masih merasa malu dengan Pak Budiman yang baru dia kenal.Â
Pak Budiman membonceng Adit pakai motor menuju ke sebuah rumah makan yang sudah buka dari pagi. Dia ingin menyenangkan hati Adit. Pak Budiman tidak tega jika di jaman seperti ini masih ada anak-anak kecil yang hidup terlantar.Â
Pak Budiman merasa berdosa membiarkan Adit kelaparan, sedangkan dia bisa makan dengan lauk apa saja yang disukainya.Â
Pak Budiman ingat dengan salah satu ayat Al-Quran yang mengatakan celakalah orang-orang yang tak memberi makan anak yatim dan parkir miskin, walaupun mereka rajin sholat.
Pikir Pak  Budiman, ternyata masih banyak orang yang mendapat cobaan lebih berat daripada cobaan yang dialaminya. Cobaan yang diberi Allah kepadanya belum apa- apa dibandingkan dengan cobaan yang diterima oleh Adit.
Hingga kini Pak Budiman belum dikaruniai seorang  anak, walaupun dia sudah nikah selama sepuluh tahun.
Selama itu juga dia dan istrinya sudah berikhtiar kemana-mana. Dari mulai pengobatan dengan cara medis hingga alternatif, sudah dilakukan semua. Namun istrinya tidak kunjung hamil hingga sekarang. Pak Budiman dan istrinya masih tetap bersabar dan berdoa mengharap keajaiban dari Allah.
Ketika mereka tiba di rumah makan, Adit tampak canggung. Baru sekali ini Adit masuk rumah makan. Air liurnya hampir menetes melihat makanan yang leza-lezat yang terpajang di etalase rumah makan.
Alih-alih merasa lucu, justru Pak Budiman sedih melihat Adit tampak canggung.
Pak Budiman menyuruh Adit memilih sendiri menu makanan yang dia mau.Â
Setelah makanan dihidangkan oleh pelayan rumah makan, Adit makan dengan lahap. Tangannya tampak agak gemetar mengambil makanan yang tersedia di atas mejaÂ
"Kamu tinggal sama 0m saja ya, Dit?" ajak Pak Budiman
"Tidak usah Om. Adit tidak mau merepotkan Om dan keluarga Om." ujar Adit.
"Tidak ngerepotin kok, Adit. Om hanya tinggal berdua dengan istri di rumah. Om belum punya anak."
Adit hanya manggut- manggut menatap Pak Budiman. Dia tidak menyambung lagi kata-kata Pak Budiman. Sebagai anak-anak, dia memang tidak banyak tahu urusan orang dewasa.
"Oh ya, usai makan ini, Adit mau ke mana lagi?" tanya Pak BudimanÂ
"Saya mau balik ke taman lagi, Om. Biasanya saya sampai sore di tempat itu." jelas Adit.Â
Pak Budiman hanya manggut-manggut." Baiklah kalau begitu, nanti Om antar Adit ke taman lagi, ya? Adit setiap hari ada di situ, ya?" tanya Pak Budiman.
"Iya, Om."
"Iyalah, besok kalau Om tidak banyak tugas kantor, Om akan menemui kamu setiap hari di taman, ya?"
Usai makan Pak Budiman mengantar Adit ke taman lagi. Pak Budiman sangat senang karena sudah berbagi kebahagiaan kepada sesama.Â
****
"Dek, kita mengadopsi anak saja, ya?" tanya Pak Budiman kepada istrinya, ketika mereka usai makan malam di rumah.
Istrinya yang bernama Bu Narti menoleh ke arah Pak Budiman dengan sedikit heran. Selama ini suaminya itu tidak pernah mengutarakan keinginannya untuk mengadopsi anak.
"Mau mengadopsi  anak siapa, Bang?" Bu Narti balik bertanya.
Pak Budiman menceritakan kepada  Bu Narti dari mulai dia bertemu dengan Adit di taman hingga mengajak adit makan. Tidak lupa juga dia menceritakan kepada Bu Narti bahwa Adit anak Yatim.Â
"Kamu ini bagaimana sih, Bang! Abang kan baru kenal sama anak itu tadi pagi. Abang tidak tahu dari mana asal-usul anak itu. Kok, tiba-tiba Abang mau mengadopsinya!" kata Bu Narti. Dia belum setuju dengan usul Pak Budiman.
Pak Budiman merasa kecewa dengan istrinya. "Abang yakin dia anak baik, Dek. Abang sudah bertemu langsung dengan anak itu. Abang tidak tega melihatnya. Abang ingin menolong anak yatim, Dek. Hitung-hitung buat amal kita di akhirat nanti. Kita akan sekolahkan dia. Kita anggap saja sebagai anak kita sendiri. Dia tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini!" jelas Pak Budiman. Dia berharap istrinya berubah pikiran.
Bu Narti tidak mau berdebat dengan Pak Budiman. Selama ini mereka tidak pernah bertengkar soal anak, walaupun mereka tidak memiliki anak. "Yah, terserah kamu saja, Bang!" Bu Narti berangkat dari kursi makan. Dia langsung membereskan peralatan makan yang masih berada di atas meja untuk dicuci.
***
Hari ini Pak Budiman pulang dari kantornya lebih awal. Dia ingin menemui Adit di taman. Pak Budiman berharap Adit masih berada di tempat itu. Ketika Pak Budiman tiba, Adit sedang mengumpulkan botol-botol minuman bekas.Â
Wajah Adit tampak hitam dan berpeluh karena lama berjemur. Dia tersenyum malu ketika melihat Pak Budiman menghampirinya.
"Kamu sudah makan belum, Adit?" tanya Pak Budiman.
"Belum, Om," jawab Adit malu-malu.
"Mari ikut Om. Kita makan di tempat kemarin,Ya?"
Kali ini Adit langsung menuruti ajakan Pak Budiman. Dia merasa perutnya memang sudah bergejolak ingin diisi. Kali ini dia langsung menuruti ajakan Pak Budiman. Dalam hatinya dia yakin, Pak Budiman benar-benar ingin menolongnya. Adit pikir, mungkin ini rejeki dari Tuhan untuknya.
Namun Adit merasa heran, kali ini Pak Budiman tidak membawanya ke rumah makan. Pak Budiman membawanya ke sebuah rumah berlantai dua dan terkesan mewah. Halaman rumah itu luas dan terdapat kolam ikan dan tanaman hias.
"Mulai hari ini, Adit tidak usah tidur di sembarang tempat lagi. Adit juga tidak boleh memungut botol-botol plastik. Adit tinggal di sini saja. Minggu depan, Adit juga akan sekolah lagi. Semua kebutuhan Adit, Om akan tanggung semua. Om hanya berharap Adit menjadi anak yang Baik." jelas Pak Budiman.
Adit hanya melongo, dia tidak tahu apa yang mesti dikatakannya. Mata Adit berkaca-kaca, tapi hatinya merasa senang. Dia harus terima semua ini. Dia pasrah kemana pun Yang Maha Kuasa membawa nasibnya.
Saat Adit sedang tergugu, Bu Narti keluar dari dalam rumah mewah itu menyambut kedatangan mereka dengan senyum ramah.***
Penulis bernama Al Arudi. Saat ini tinggal di Pangkalpinang, Bangka  Belitung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H