Mohon tunggu...
Taufiqillah Al-Mufti
Taufiqillah Al-Mufti Mohon Tunggu... -

Jl. Jonggring Saloko, Madukoro, Semarang Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Luka itu Harum

30 Juni 2016   00:15 Diperbarui: 30 Juni 2016   00:39 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Iya nak,” Ia cium jidatku, juga berkali-kali pada pipiku, “Anakku manis”, dan aku digiring ke ranjang, dan menyelimuti aku. Dan menempatkan Barbiedisisiku pas.

*

Di rumah sendiri, memang tidak terbiasa bagi aku. Ketika semua dilakukan serba berdua dengan Ibu maka sekarang aku lakukan sendiri: menyapu rumah, mengepel, mengelap. Waktuku bermain dengan Barbieyang biasanya jauh lebih lama kini berkurang dan semakin sedikit. Tidak seperti nasib anak-anak seusiaku pada umumnya yang kebanyakan memiliki jatah waktu bermain lebih banyak bahkan masih menuntut lebih. Aku seperti mencampakan Barbietapi bukan itu maksudku, andai ia mampu berbicara, mungkin ia akan menggaruk-garuk kepalaku menuntut aku untuk bermain dengannya. Tapi ia hanya menggaruk sebatas pada fikiranku saja dan itu sulit kulepaskan.

Ketika ditanya Ibu bekerja apa, ia selalu mengelak dan menjuntai senyum. Aku sendiri tidak tahu maksud dari senyumannya. Tapi kadang ketika ia pulang dari kerja, ia membawa setumpuk pakaian kotor yang bukan miliknya. Katanya itu milik majikannya. Mulai sedikit kupahami kalau Ibu bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Selalu aku pijiti bagian-bagian tubuh Ibuku yang pegal dan lemas. Ia mesti menolak tawaran dan pertolonganku. Sayang, aku paksa, dan Ibu nurut dan berkata terimakasih. Ibuku ini adalah saudaraku yang tersisa. Berkat ia dan Bapak sialan itu membuatku terbebas dari jerat yayasan yatim piatu dan menjadi anak-anak normal dengan memiliki orang tua. Maka sepatutnya kujaga sekuat-kuatnya.

Beberapa tahun Ibu bekerja sebagai pembantu rumah tangga membuat aku terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah semuanya sendiri. Tapi seiring waktu selalu ada saja tamu-tamu asing di rumah kami yang berdatangan. Kadang mengaku saudara, salesman,pejabat kelurahan. Dan tak jarang mereka menyelonong masuk dan melihat-lihat seisi rumah. Aku masih lugu dan menganggap baik-baik saja yang diperbuat mereka. Diam saja aku. Tapi sepulangnya Ibu ke rumah, aku dimarahi, karena Ibu menuduh itu calon-calon maling. Untung ada kau nak, coba sepi, amblas barang-barang.

Sejak saat itu aku selalu memasang sikap waspada jika berada di rumah, terutama ketika sendiri, karena konsentrasi pada keamanan rumah terpusat dan tergantung seberapa peka aku. Maka setiap orang asing yang datang akan serta merta aku curigai dan tak jarang aku tuduh mereka maling. Sayang mereka melihat aku sebatas anak kecil dan menertawakan aku dengan keluguanku. Padahal aku mencoba serius. Dikira ini sedang bermain pura-puraan. Ah sialan!Yang jelas rumah beres dan aman terkendali.

Sampai suatu saat ada beberapa orang muda yang menghampiri ke rumah. Mereka menjinjing boneka Barbiebaru kesukaanku. Sebelumnya mereka berkata akan memberikan hadiah Barbiejika aku bersedia melepaskan pakaianku, hah benar saja!.Tapi demi Barbiesegala cara bisa dilakukan. Tapi ada sebersit panggilan hati  ‘Jangan lakukan Harum, Ibu melarang!’yang menolak ajakan membuka pakaian tadi. Dengan berat hati dan merelakan hadiah Barbieitu. Mereka tidak menyerah terus membujuk aku supaya melepaskan pakaianku. Entah apa yang diinginkan mereka padaku, tapi mereka minta lepas. Dan katanya hanya sekedar melepas juga tidak sulit dan hadiahnya Barbiemasak tidak diterima, apa sudah tidak sayang lagi pada Barbie.Terkejut saja aku karena rombongan pemuda itu mengetahui kesukaanku pada Barbie.Siapa yang menunjukan itu pada mereka, aku tak tahu. Dan benar saja, hatiku luluh karena Barbieitu.

Mula-mula kulepaskan kaos, celana, kaos dalam, celana dalam, sampai aku telanjang bulat. Pemuda-pemuda tadi menggerayangi tubuhku. Lamat-lamat menjilati bagian-bagian intim tubuhku. Lalu terasa ada sesuatu yang dimasukan. Aku kesakitan. Dan aku memberontak, tapi percuma karena tangan, kepala, dan kaki dipegang erat-erat oleh mereka. Aku benar-benar pasrah. Tubuhku sudah selayaknya bangkai yang dikoyak-koyak oleh patukan burung-burung gagak. Menjerit kesakitan aku. Ini semacam aku dianiayanya tetapi tidak dipukul dan ditendang. Aneh sekali perlakuan seperti ini. Selain kesakitan aku juga tergelitik. Tak lama aku dibiarkan tergeletak lemas, terkulai di atas lantai, lalu dijatuhkan begitu saja Barbiedi sisiku, sontak kusambar dan kupeluk erat. Pemuda-pemuda tadi pergi dan lari terbirit-birit. Beberapa tetangga memergoki dan mencurigai tingkah mereka.

Aku di dalam rumah bersama Barbie, menangis

*

Badanku bergetar-getar dan mataku berkunang-kunang, memandang kosong ke depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun