Al Mufti Bhutasvara –Langit terasa pecah, dan kerikil-kerikil berjatuhan mengenai kepalaku, ubun-ubunku, pening kurasa. Apalagi ketika rintikan itu bersuara riuh sekali, hatiku berasa munek-munekingin menyingkrih segera dari keadaan. Petir juga tak kehilangan saling sambar-menyambar. Sambaran dari dua kutub berlawanan, ya! Kutub yang tak mungkin dipersatukan. Mereka kedua orang tua, saling bertengkar, dan aku di tengah-tengah mereka, menjadi perebutan, sikut-menyikut, tarik-menarik, seakan aku ingin berteriak dengan sekeraskerasnya, sayang tak sampai.
...suaraku hanya sampai pada kerongkongan...
Umurku masih tigabelas tahun, seumuran anak-anak Sekolah Dasar (SD) pada umumnya. Sebagaimana anak-anak SD biasanya, hidup dipenuhi boneka, bunga, permen, warna, kemerlap, harum-wangi, cerah, terang, dan hari-hari diisi hanya bermain, hanya bermain (hanya... ilusi). Betapa nikmat dan bahagianya menjadi anak-anak seperti aku, kadang orang dewasa mencemburui kami yang tak pernah merasa ada beban apapun, dan kadang (sebaliknya) kami yang mencemburui mereka yang serba-serbi bebas, bebas kemana-mana, pulang ke rumah kapan saja, berteman dengan siapa saja, berkendara. Ah! Rasanya ingin cepat-cepat saja dewasa, dan segera memiliki keluarga sendiri dan tidak lagi diatur-atur oleh orang tua. Sebal sekali aku mendengar kata ‘atur’, seakan berkuasa sekali, sampai tiada batasnya kekuasaan itu mengatur-atur seperti robot. Apalah daya, tak mampu ku mengelak.
Entah sejak hari apa, tanggal berapa, dan tahun berapa, dan memang aku tak peduli dengan hari, tanggal dan tahun, kupikir setiap hari adalah sama. Sama-sama muram. Muram dan gulita, karena orang yang mengatur-atur aku itu terbelah jadi dua. Kutub satu itu Bapak dan kutub lainnya adalah Ibu. Aku benar-benar tak tahu kapan terbelah, dua jenderal yang mengkomandoi aku. Jelasnya, sejak kudengar dari ruang bermainku bersama boneka-boneka kesayangan, barbie!Terutama, aku sayang sekali padanya. Kudengar dari situ bunyi pecahan beling, entah itu piring, gelas, mangkuk, aku tak tahu, aku tak bisa membedakan ini itu. 0rang tua hanya memakai telunjuk-telunjuk jari komando mereka untuk mengisyaratkan mengambil sesuatu, jadi tak tahu apa namanya itu. Memang begitu irit mereka bicara.
Tiba-tiba ada yang menggebrak pintu kamar, dan terlihat hitam, sosoknya jangkung, ketika ia mendekat kuketahui itu Bapak. Ditariknya tanganku dengan kasar, barbie-kujatuh!, terkulai di lantai, badanku terhuyung tak mampu melawan kekasaran tangan raksasa. Aku sedih karena diganggu bermain dengan barbie-kusayang. Telunjuk Bapak menutup bibirnya, tandanya aku disuru berhenti tersedan, dan diam saja. Aku tak peduli, malah melawan, sekeras-kerasnya aku menangis, dan terus berteriak: “Kembalikan Barbie-ku, kembalikan barbie-ku, lepaskan pak, lepaskan, aku masih mau bermain sama Barbie”.
“Sudah, diam! Ikut aku, manut saja”dan semakin tangan-tanganku dicengkeram kuat oleh tangan-tangan besar Bapak.
Ibu berhamburan dari belakang, yang tiada kukira kedatangannya yang begitu mendadak, sangat mendadak. Tangan kiriku direbut Ibu dari jeratan Bapak. Bapak kehilangan kontrol dan terhuyung miring. Ibu menyerobot seluruh tubuhku, didekapnya dengan kedua tangannya, dan menyembunyikan aku dibalik tubuh rampingnya. Di dekat Ibu aku seperti mendapat perlindungan tapi sementara, Bapak mencoba mengambil aku, Ibu mengelak, dan terus. Sampai akhirnya perang, dan petir yang saling sambar-menyambar itu terjadi, dari dua kutub yang tak mungkin di satukan. Perang lidah, silat lidah, aku tidak jelas mendengar mereka berucap-ucap apa, karena saking kerasnya, saking cepatnya
“.....Kamu Melawan....Turunkan Harum....Sini...” Kata Bapak, kasar
“...Tidak!,” Ibu memegangi aku erat-erat, “Harum masih kecil...kamu kasar padanya...butuh perhatian...butuh cinta...kasih”.
“Ikut Bapak saja pak, Bapak bisa membelikan kamu boneka Barbiesebanyak mungkin,” Hampir aku terbujuk, tapi Ibu menarik aku, “Ibumu tak punya uang, tak punya harta apa-apa, Bapak semua yang punya, ikut Ibumu kamu miskin, ikut Bapak kamu kaya, enak nak!, sini” Tangannya menggerayangi Ibuku untuk merebut aku di baliknya. Aku tidak bisa melihat jelas, hanya melihat di balik tubuh Ibu.
“Siapa yang merawat Harum kalau ikut kamu. Pasti nelangsa, dan disia-siakan. Kepada wanita pelancong dari Jepara itu kau berharap cinta dan perhatiannya kepada Harum. Bohong mas, tidak mungkin itu, mana ada perempuan Jepara itu peduli pada Harum. Hanya di depanmu saja wanita Jepara itu nampak sayang dan perhatian padamu dan Harum, tapi di balik semuanya itu kedok belaka”.