1. Mengetahui Sumber Agama Islam
Setiap muslim wajib mengetahui bahwa sumber utama keyakinan (aqidah) dan hukum agama adalah al-Qur'an dan as-Sunnah, bukan cerita bohong omong kosong yang dikarangkarang, bukan pula sekedar apa kata orang atau siapa saja yang mengaku/diyakini sebagai wali kemudian kita membeo dan menyebarluaskannya.Â
Nabi bersabda, "Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya: kitab Allah dan Sunnah rasulNya." [Hadits Shahih. Riwayat Imam Malik dan lainnya]
2. Meyakini Agama Islam Telah Sempurna
Allah berfirman, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai
Islam itu menjadi agamamu." [QS. Al-Maidah, 5: 3]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsirnya, "Ini nikmat Allah terbesar kepada umat ini, yaitu Allah menyempurnakan agama mereka untuk mereka. Sehingga mereka tidak membutuhkan agama apapun selainnya, dan mereka tidak membutuhkan seorang Nabipun selain Nabi mereka. Oleh karena inilah Allah menjadikan beliau sebagai penutup seluruh para Nabi dan (Allah) mengutus beliau kepada seluruh manusia dan jin.Â
Tidak ada yang halal kecuali apa yang beliau halalkan. Tidak ada yang haram kecuali apa yang beliau haramkan. Tidak ada agama kecuali apa yang beliau syari'atkan. Segala sesuatu yang beliau beritakan, maka hal itu haq dan benar (sesuai kenyataan), tidak ada kedustaan padanya dan tidak ada kesalahan". [Tafsir al-Qur'nil 'Azhim]
Karena Islam telah dinyatakan sempurna oleh Allah di saat Nabi Muhammad dan para shahabahnya masih hidup, maka tidak boleh lagi ada satu pun manusia setelahnya yang boleh menambahkan sesuatu atau mengurangi sesuatu sekecil apapun di dalam agama ini dan mengatakan itu bagian dari Islam apalagi sampai berani mengatakan sesuatu tersebut memiliki keutamaan yang sejatinya Allah dan RasulNya tidak pernah terangkan baik di dalam kitabNya maupun hadits RasulNya.
3. Nabi Telah Menunaikan Amanah
Nabi Muhammad bersabda, "Tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allah perintahkan kepada kamu kecuali aku telah memerintahkannya. Dan tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allah larang kepada kamu kecuali aku telah melarangnya. [Hadits Shahih Riwayat Imam asy-Syafi'i, al-Baihaqi, al-Khathib al-Baghdadi. Silsilah ash-Shahhah, 4/416417]
Nabi Muhammad bersabda, "Tidaklah tersisa sesuatupun yang akan mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah dijelaskan kepada kamu." [Hadits Shahih Riwayat Imam asySyafi'i dalam arRislah]
Nabi Muhammad telah terangkan semua hal di dalam agama ini baik perkara yang terkecil sampai perkara yang terbesar. Baik tata cara cebok atau menyingkirkan duri dari jalan sampai perkara jihad dan pengaturan suatu negara. Jadi mustahil jika masih ada perkara yang belum beliau jelaskan di dalam agama ini. Telah berdusta orang yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad belum menunaikan amanah menyampaikan risalah secara sempurna.Â
4. Konsekuensi Kesempurnaan Islam
Setelah kita mengetahui kesempurnaan Islam, maka di antara konsekuensinya adalah kita cukup mempelajari agama Islam ini, kemudian mengamalkannya, mendakwahkannya, dan bersabar dalam semua hal di atas. Kita tidak boleh membuatbuat dan menambahkan perkara baru apapun ke dalam agama ini, sebagaimana kita tidak boleh menguranginya sedikit pun.
Nabi Muhammad bersabda, "Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami padanya, maka amalan itu tertolak." [HR. Muslim, no. 1718]
Imam Malik bin Anas rahimahullah (beliau adalah guru dari Imam asy-Syafi'i rahimahullah) berkata, "Barangsiapa membuat perkara baru dalam Islam, dia memandangnya sebagai kebaikan, maka sesungguhnya dia telah menyangka bahwa Nabi Muhammad telah mengkhianati risalah (tugas menyampaikan agama), karena Allah telah berfirman, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu. (QS. al-Maidah, 5 :3). Oleh karena itu, apa saja yang pada hari itu tidak menjadi agama, pada hari ini pun juga tidak menjadi agama". [Kitab al I'tishm, 2/64, karya Imam AsySytibi]
5. Memahami AlQur'an Dan Hadits Dengan Bimbingan Ulama
Kita tidak dapat serta merta mempelajari Agama Islam ini secara otodidak hanya dengan membaca buku-buku kemudian mengambil kesimpulan tersendiri dan menyimpulkan sepihak. Hal ini dikarenakanan, para ulama Islam dari semenjak generasi awal umat ini telah benar-benar memberi perhatian khusus untuk menjaga Agama Islam sebagaimana mestinya, yakni Agama Islam yang dipahami dan diamalkan oleh Nabi Muhammad dan para shahabatnya di zaman itu. Sehingga keberadaan para ulama tidak bisa dinafikan dalam usaha memahami agama ini dengan benar.
Para Ulama yang pertama kali dijadikan rujukan untuk memahami agama adalah para ulama dari generasi sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in, karena mereka adalah manusia terbaik dari kalangan umat ini.Â
Raslullah bersabda, "Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi'in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi'ut tabi'in). [HR. AlBukhari]. Maka dari itu, dalam merujuk agama haruslah jelas silsilah keilmuannya.Â
Tidak sembarang orang dapat diambil keilmuan Islamnya karena hanya orang-orang yang diakui kompetensinya dari sisi track record akademisnya atau kepada siapa saja dia berguru. Kesalahan fatal dalam hal ini dapat mengakibatkan siapa saja yang berusaha mempelajari Islam akan mendapatkan informasi yang salah tentang Islam. Akibatnya, radikalisme dan terorisme adalah sebagai salah satu dari sekian bentuk pelanggaran terhadap hal ini.
6. Memahami Jalan Keluar Perselisihan
Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri (Ulama dan umaro') di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [QS. An-Nisaa',
4: 59]
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat di atas, "Allah memerintahkan orang-orang yang beriman agar  mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada kepada Allah dan RasulNya, jika mereka adalah orang-orang yang beriman. Dan Dia memberitakan kepada mereka, bahwa hal itu lebih utama bagi mereka di dunia ini, dan lebih baik akibatnya di akhirnya." Lebih lanjut beliau menjelaskan, "Mengembalikan kepada Allah adalah mengembalikan kepada kitabNya, mengembalikan kepada RasulNya  adalah mengembalikan kepada diri beliau  di saat hidup beliau, dan kepada  Sunnahnya (Hadits) setelah wafat  beliau."
Di akhir penjelasan Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah tentang ayat di atas, beliau menegaskan dengan berkata, "Allah menjadikan mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada kepada Allah dan RasulNya termasuk kewajiban dan konsekuensi (tanda adanya) iman, maka
jika itu tidak ada, iman pun hilang. [Diringkas dari I'lamul Muwaqqi'in 2/47 48 karya Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyah]Â
Oleh karena itu, sikap seorang mukmin adalah menerima dengan  sepenuh hati. jika telah datang kepadanya ayat dari kitab suci al-Qur'an,  atau hadits shahih dari Nabi Muhammad , dengan pemahaman yang benar dari  para ulama yakni sejak zaman para shahabat Nabi, tabi'in, tabi'ut tabi'in, dan para imam kaum muslimin yang mengikuti jejak  mereka bi-ihsan (dengan baik dan benar). Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.
Sumber referensi:
Tulisan Ustadz Abu Isma'il Muslim Atsari yang dimuat majalah AsSunnah Edisi 08/Tahun XV/1433H/2012M
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H